Ranup Lampuan

Aceh student Association in Taiwan

Likok Pulo

Memperknalkan marwah bangsa dan budaya adalah kewajiban bagi kami, walau jauh dari negeri "Indatu"

Halal Bihalal Idul Adha 2012

Kebersamaan di hari yanng mulia adalah kebahagian yang tak terkira hidup di negeri orang

Edventure

Merasakan apa yang belum pernah ada di negeri sendiri adalah cita-cita dari setiap individu

Taipei 101

"If you can dream it, you can do it" Bermimpilah setinggi-tingginya.

Saturday, January 19, 2013

Mengagumi Budaya Antre di Taiwan

OLEH AMNA AFGANURISFA, Mahasiswi Magister Psikologi di Asia University dan Asisten Dosen Psikologi pada FK Unsyiah, Taichung-Taiwan.

MAU belajar antre? Belajarlah ke Taiwan! Ah terlalu berlebihan. Apa lebihnya budaya antre di Negeri Formosa ini sehingga pantas ditiru? 

Taiwan, selain dikenal memiliki keunggulan dalam riset dan inovasi produk informatika, seperti IPhone dan IPad dan jenis branded lainnya, ternyata dikenal juga sebagai queueing master (master antre).  

Antrean di negeri ini terjadi secara otomatis. Orang Taiwan mengantre di mana pun, kapan pun, dan dalam hal apa pun. 

Budaya antre membentuk barisan panjang ke belakang terbentuk dengan sendirinya di berbagai tempat di Taiwan tanpa perlu diatur dan diarahkan oleh ketua baris-berbaris atau aparat negara. 

Banyak orang Indonesia yang takjub akan tingginya kesadaran orang Taiwan dalam mengantre. Malah, banyak di antara orang kita yang saat di Indonesia punya kebiasaan menyerobot atau memotong antrean, justru ikut berubah jadi disiplin saat berada di Taiwan. Ini bukan cerita fiksi, tapi fakta. Anda malu sendiri jika tak mengantre di Taiwan.

Saya sendiri sering kagum dengan budaya antrean ini. Ada contoh paling membuat saya terkesan saat saya sedang berbelanja di sebuah minimarket, Seven-Eleven. Saya amati saat seorang teman saya dari Amerika Serikat sedang mengantre saat hendak membayar di kassa, tapi tiba-tiba dia ke luar sebentar dari barisan antrean menuju mobil karena lupa membawa uang di tasnya. Lalu dia hampiri saya yang berdiri agak jauh darinya, saat dia kembali ke kasir dan mengantre lagi dari belakang. Tapi teman saya itu langsung dicegat oleh seseorang dalam barisan tersebut. Ia dipersilakan lagi untuk masuk ke posisi sebelum dia ke luar dari barisan tadi. Orang tersebut malah minta maaf karena dia merasa telah menyerobot tempat si Amerika tadi. 

Seandainya negara kita seperti ini, oh indahnya hidup ini.  Selain Taiwan, di Asia juga terdapat negara yang memiliki budaya antre yang sangat baiki. Di antaranya Jepang, Hong Kong, dan Korea Selatan. Apakah hanya negeri ini saja? Tentu tidak, contoh pengalaman kecil saya ketika singgah di Singapura. Orang-orang Singapura juga memiliki kesadaran antre yang sangat tinggi dan berdisiplin, sekilas bak tentara. 

Seandainya Indonesia belajar budaya antre ini 0,01% saja dari Taiwan atau Singapura, mungkin kesemrawutan, aksi serobot-menyerobot, dan kebiasaan main terabas yang menyebabkan orang lain marah-marah atau kecewa, tidak perlu lagi terjadi. 

Taiwan touch my heart more. Harapan saya dan harapan kita semua, semoga Aceh bersama Indonesia jauh lebih baik ke depan dan mampu mengubah warganya merasa betah di negaranya sendiri. Semoga.

Catatan ini juga dipublish di Serambi Indonesia(online).

Wednesday, January 16, 2013

Nyamannya Perpustakaan Modern

OLEH AMELIA IMRON IKOB, Penerima Beasiswa Pemerintah Aceh Program Taiwan 2012 di National Cheng Kung University, Tainan-Taiwan.

SEJAK September 2012 saya menempuh pendidikan S-2 pada Program International MBA (IMBA) di National Cheng Kung University (NCKU), Tainan, Taiwan, atas biaya Pemerintah Aceh. Banyak hal menarik saya temui di Taiwan, termasuk mengamati keseriusan teman-teman dalam belajar. Mereka sanggup menghabiskan waktu berjam-jam membaca, mencari referensi, atau mengerjakan tugas di perpustakaan.

Karena penasaran seperti apa pustaka yang membuat mereka betah duduk lama, saya pun berkunjung ke pustaka tersebut. Ternyata, saat ini saya pun telah menjadi salah satu fans dari pustaka dimaksud.

Modern dan nyaman, itulah kesan saya saat berkunjung pertama kali ke Perpustakaan Induk (Main Library) NCKU. Kesan pengap, buku-buku tua, dan lusuh yang mungkin selama ini ada di kepala kita saat mendengar kata pustaka, terbantahkan langsung ketika kita menginjakkan kaki di gedung berarsitektur modern ini. 

Pustaka yang buka dari pukul 08.20-22.00 ini terdiri atas tujuh lantai. Dua lantai bawah tanah, lima lantai ke atas. Selain koleksi buku yang lengkap, setiap lantai di perpustakaan ini dilengkapi dengan meja belajar dan membaca, ruang diskusi, ruang fotokopi dan terima telepon, serta sambungan internet yang sangat cepat. Penyejuk ruangan berfungsi sangat baik, membuat suasana sangat nyaman.

Bila ingin mencari buku dan koleksi lain di pustaka, pengunjung dapat mempergunakan akses komputer yang tersedia di setiap lantai. Jangan khawatir bila Anda tak mengerti bahasa Mandarin, karena setiap petunjuk yang ada di pustaka ini menggunakan dua bahasa: Inggris dan Mandarin. Petugas perpustakaan, rata-rata adalah mahasiswa NCKU, juga sigap membantu bila memang diperlukan. Mereka ramah dan mau menunjukkan letak rak buku yang Anda cari atau mengunduh file yang Anda inginkan ke email Anda. 

Ada dua hal yang sangat menarik dari perpustakaan ini. Pertama, adanya “rak bergerak”. Bentuk rak ini sebenarnya hampir sama dengan rak buku lain, tapi kemampuannya untuk bergerak itu yang bikin menarik. Dengan menekan tombol, rak besar ini dapat bergeser ke kanan dan kiri sesuai arah tombol yang kita tekan. 

Pertama melihat rak ini, saya berpikir bagaimana bila ada orang yang sedang berada di tengah rak sementara orang lain menekan tombol, apakah tidak membuatnya terjepit? Ternyata tidak, rak ini dilengkapi dengan alat sensor pada bagian bawah rak, sehingga siapa pun yang berada di bagian tengah ketika rak bergerak dapat menginjak alat tersebut dan seketika rak akan berhenti. Sangat modern!

Hal menarik kedua adalah adanya sistem perpustakaan berupa website yang dapat diakses dari mana saja, bahkan dari rumah sekalipun. Selain dipergunakan untuk mencari katalog buku, artikel, jurnal atau sumber lain yang diperlukan, Anda juga dapat mengetahui apakah buku/sumber yang Anda cari tersebut tersedia atau tidak untuk dipinjam. Jika ternyata buku yang Anda inginkan sedang dipinjam, maka Anda dapat memesan untuk meminjamnya pada tanggal yang tersedia. Tentunya Anda harus pergi ke perpustakaan untuk mengambil buku tersebut. Begitu pula untuk jurnal dan e-thesis, Anda dapat bebas mengunduhnya melalui website ini dan gratis! 

Saya sering berkunjung ke sini untuk belajar atau berdiskusi dengan kelompok bila ada tugas. Setiap meja bacanya dilengkapi dengan lampu dan adaptor listrik. Sedangkan untuk ruang berdiskusi, perpustakaan menyediakan ruangan khusus kedap suara. Dengan jumlah minimal empat orang dan menunjukkan student ID, Anda dapat memesan ruangan yang dilengkapi dengan white board dan spidol. Orang lain pun tidak terganggu dengan suara dari diskusi Anda. 

Cuma, pengunjung di sini sangat memperhatikan ketenangan. Jadi, jangan coba-coba bicara (kecuali berbisik) atau menerima telepon selain di ruangan yang ditentukan. Mata semua pengunjung bakal tertuju kepada Anda atau bahkan mereka akan mengomeli Anda.

Nyaman dan modern. Itulah dua hal yang menjadi kunci perpustakaan ini. Saya percaya, dengan fasilitas seperti ini pustaka akan menjadi tempat favorit untuk dikunjungi. Bila mau, kita pun di Aceh dapat membuat pustaka seperti ini dan rasanya tak akan ada orang yang menolak bila diajak ke pustaka. Cuma, apakah kita mau? 

Artikel ini juga dipublish di Serambi Indonesia(online)

Monday, January 14, 2013

Bus di Taichung, Kok Bisa Gratis?

MUSLEM DAUD, penerima sharing beasiswa Universitas Pendidikan Taichung (NTCU) dan Pemerintah Aceh, Taichung. 

SAAT ini saya telah menjadi mahasiswa program doktor di Universitas Pendidikan Negeri Taichung (NTCU) Taiwan, dengan program studi Evaluasi Pendidikan dan Statistik. Sejak datang ke kota terbesar ketiga di Taiwan ini beberapa bulan lalu, banyak saya temukan hal menarik, baik dalam dunia pendidikan, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah bus kota yang tidak dipungut bayaran alias gratis.

Bus kota kok bisa gratis? Barangkali Anda tak percaya dan. Itu jugalah yang ada di pikiran rekan-rekan saya di provinsi lain di Taiwan ketika saya sampaikan hal ini. Kebanyakan mereka menyatakan hal itu tak mungkin terjadi, karena yang punya bus akan bangkrut. 

Beberapa kawan penasaran dan ingin membuktikan sendiri. Makanya pada Hari Raya Idul Adha lalu, banyak rekan saya yang datang ke Taichung untuk membuktikannya. Ternyata, benar. Bus kota di Taichung memang gratis. 

Calon penumpang hanya disyaratkan membeli kartu bus kota seharga kira-kira Rp 30.000 dan dapat dipakai selamanya. Secara teknis, kartu tersebut digunakan untuk naik dan turun bus kota dengan sistem digitalisasi yang langsung terhubung dengan computer center dinas perhubungan dan si pemilik armada.

Uniknya, bus kota gratis tersebut melayani seluruh jalur yang ada untuk semua jam kerja, mulai pukul 6.30 pagi hingga 10.30 malam. Hal ini berbeda dengan beberapa kota lainnya seperti di Singapura, Malaysia, atau Australia yang hanya menggratiskan beberapa jalur turis/pariwisata atau hanya dilakukan pada jam-jam tertentu saja. Jalur-jalur dimaksud seperti dari pusat kota menuju pantai atau dari pusat kota menuju museum, atau sekadar berkeliling kota (loop bus). 

Di samping itu, hampir bisa dipastikan penumpangnya adalah para turis atau masyarakat yang hanya ingin jalan-jalan atau memang rumah mereka dilalui moda trasportasi tersebut. Dengan demikian, jelas sekali perbedaannya dengan keberadaan bus kota di Taichung yang berlaku untuk semua jalur dan jam kerja.

Sementara itu, armada bus yang melayani rute-rute yang bagus dengan tingkat emisi buang rendah, ber-AC dan dilengkapi monitor tentang informasi halte yang akan dilalui serta dikemudikan oleh sopir berpakaian seragam yang rapi. Kondisi armada yang baru lebih menjadi daya tarik di mana penataan kursi dan spatial penumpang yang sangat lapang. Dilengkapi pula dengan sistem hidrolik yang bisa membuat badan bus miring, sehingga memudahkan penumpang naik dan turun dari armada tersebut di halte tujuan. 

Kondisi ini menjadikan bus sangat nyaman bagi semua lapisan masyarakat, mulai dari anak-anak hingga manula, pekerja atau mahasiswa. Ini sangat berbeda dengan gambaran rata-rata bus kota di Jakarta seperti Mayasari, Kopaja, metromini, dan lainnya. Di samping itu, bus-bus tersebut umumnya berbadan besar seukuran bus yang biasa melayani rute Banda Aceh-Medan.  

Lalu pertanyaannya kok bisa gratis? Setelah saya lakukan serangkaian observasi dan himpun jawaban, ternyata ini memang salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi kemacetan lalu lintas. Di Taichung sangat banyak mobil pribadi dan sepeda motor yang memadati jalanan, sehingga kemacetan tak dapat dihindari, apalagi di musim hujan yang memperlambat jalannya mobilisasi kendaraan bermotor.

Sebelum diterapkan kebijakan ini, dilakukan dialog antara pengusaha dan pemerintah yang salah satu keputusannya adalah tidak memungut bayaran untuk penumpang yang berpergian dalam jarak 8 km. Pemerintah menyubsidi pengusaha bus untuk menutupi defisit karena penumpang yang digratiskan itu.

Sebagai penumpang yang bepergian lebih dari 8 km, tentunya dapat turun dan naik bus lain dengan rute yang sama untuk sampai ke tujuan. Setelah diterapkan kebijakan untuk menggratiskan bus kota, banyak masyarakat memilih untuk menggunakan bus kota sebagai sarana transportasi mereka untuk berbagai keperluan di dalam kota, baik untuk pergi ke kantor, mengantar anak ke sekolah, pergi sekolah, pergi belanja, dan lain-lain. Mahasiswa Indonesia pun terbantu dengan kebijakan ini, baik untuk pergi kuliah ataupun pergi ke masjid yang letaknya agak jauh dari universitas masing-masing.

Hasil lain yang sangat tampak tidak ada lagi kemacetan di kota berpenduduk sekitar 3 juta jiwa ini. 

Melihat kemacetan lalu lintas Kota Banda Aceh sekarang ini, layaklah jika pemerintah memikirkan kiat untuk menurunkan tingkat kemacetan dengan mengadopsi cara Taichung ini.

Tulisan ini juga dipublish di Serambi Indonesia (online)

Saturday, January 12, 2013

Belajar Hemat Energi dari Taiwan

NURHAYATI, Mahasiswa Teknik Kimia, National Cheng Kung University, Tainan-Taiwan
   
BUKAN hal baru sebenarnya jika negara yang luas wilayahnya kecil lebih mudah dalam pengembangan teknologi-teknologi terbaru. Beberapa negara seperti Singapura, Brunei Darussalam, termasuk Taiwan telah membuktikannya. 

Selain unggul dalam hal pengembangan bidang semikonduktor, Taiwan juga menaruh perhatian penuh pada pengembangan energi terbarukan (renewable energy). 

Negara ini telah menargetkan sekitar 14,9% kapasitas terpasang dari kapasitas total energi yang dibutuhkan untuk penggunaan energi terbarukan pada 2025.

Padahal, jika dilihat dari luas lahan yang tersedia, Indonesia (terutama di luar Pulau Jawa) memiliki sejumlah lahan kosong yang belum termanfaatkan.

Sekarang ini, Taiwan mengalokasikan sekitar 20.000 hektare dari lahan yang tersedia untuk keperluan agrikultur, di sana mereka juga mengembangkan energi matahari (solar power) dan energi angin (wind power). Bahkan karena keterbatasan lahan, Biro Energi Taiwan merencanakan pengembangan sekitar 1 juta panel surya untuk atap, 1.000 turbin untuk wind power, baik di laut maupun di darat. Jika proposal ini berjalan sesuai prediksi, maka energi terbarukan ini akan mampu menopang kehidupan sekitar 8,9 juta jiwa warga Taiwan dengan energi yang dibangkitkan sekitar 35,6 miliar kWh per tahunnya.

Menariknya lagi, Pemerintah Taiwan mendukung penuh program pengembangan energi terbarukan ini. Sejauh ini negeri Formosa telah memasang empat turbin angin dengan daya masing-masing 660 kW di Miliaw, dua unit dengan daya masing-masing 1.750 kW di kawasan Hsinchu, dan empat unit lainnya dengan daya masing-masing 600 kW di Pulau Penghu. 

Begitu pula dengan hydropower (sumber daya dari air), dengan total kapasitas terpasang mencapai 4.305,1 GWh pada tahun 2008. Selain itu energi panas, energi surya, dan energi biomasa telah banyak dikembangkan di negara ini. 

Saya pribadi yang saat ini fokus pada pengembangan energi terbarukan melalui aplikasi disiplin bioteknologi, memastikan perlunya pemetaan kebutuhan energi di Indonesia dan dibarengi dengan pengembangan kapasitas sumber daya manusia (SDM) untuk dapat mengoptimalkan pengembangan proyek energi terbarukan. 

Saya beranggapan bahwa kendala terbesar dalam pengembangan proyek ini adalah sebagian besar masyarakat masih cenderung apatis dan menaruh harapan yang sangat kecil terhadap pengembangannya. Hal tersebut mengakibatkan rendahnya partisipasi masyarakat yang berujung pada sulitnya mengembangkan proyek energi terbarukan, seperti halnya di Aceh dan Indonesia pada umumnya.

Padahal, meningkatkan konsumsi energi rumah tangga dan komersial, telah menjadikan Indonesia sebagai net importer energy. Kebutuhan akan minyak bumi terus meningkat (37%-43,5%), begitu pula dengan gas bumi (61,7%) dan listrik (64,2%), sedangkan produksinya terus menurun (mencapai 8,53%). 

Masyarakat umumnya tidak sadar bahwa kita dalam krisis energi saat ini, sehingga pemborosan energi tidak bisa lagi ditolerir.

Indonesia, khususnya Aceh, memang masih memiliki stok sumber daya alam (dalam hal ini bahan bakar fosil) yang masih dapat dikategorikan berlimpah hingga dua generasi ke depan. Tapi harus diwaspadai juga prediksi para ahli bahwa pada tahun 2051, produksi minyak bumi akan mengalami penurunan hingga 70% dari total produksi saat ini. 

Minyak bumi, sebagaimana kita ketahui, menyumbang hingga 34% dari total energi utama dunia. Sedangkan gas alam akan mengalami penurunan produksi pada tahun 2045, sedangkan batu bara hanya mampu bertahan hingga tahun 2100.

Dalam banyak studi, Indonesia, tak terkecuali Aceh, menyimpan ribuan energi terbarukan untuk menangani krisis energi, seperti energi matahari, energi biomasa, hydropower (sumber daya air), energi angin, energi panas bumi (geotermal), hidrogen, biodiesel (yang sampai saat ini masih dalam tahap pengembangan dan belum maksimal), bioetanol dan gasifikasi batubara. Namun, kesemuanya itu hampir sebagian besar hanya sebatas wacana dan sedikit sekali pengembangan yang  telah dilakukan. 

Tulisan ini juga dipublish di Serambi Indonesia(Online)

Wednesday, January 9, 2013

Menjadi Duta Investasi Aceh di Taiwan

KHAIRUL RIJAL DJAKFAR, Ketua Majelis Wali Mahasiswa Aceh di Taiwan, Asia University, Taichung.

TAIWAN pada awalnya adalah negara agraris yang bertransformasi menjadi negara industrialis di samping Jepang, Korea, dan Hong Kong (Cina) yang dikenal sebagai Empat Macan Asia. Berbeda dengan tiga negara lainnya yang didukung oleh konglomerasi, keberhasilan Taiwan justru ditopang dari sektor usaha kecil dan menengah, bahkan menjadi penyumbang terbesar perekonomian Taiwan. 

Kelebihan yang lain, Taiwan unggul dalam riset dan inovasi produk. Walaupun Apple mendesain dan memasarkan, tapi IPhone dan IPad diproduksi oleh Taiwan melalui perusahaannya di Cina. Produk elektronik asli Taiwan seperti Asus, Acer, D-Link, dan lain-lain juga sudah terkenal di Indonesia. Inovasi produk menjadikan Taiwan unggul dalam produksi kemasan (packaging) dan menciptakan nilai tambah (value added), sehingga faktor konsumen membeli bukan lagi karena kebutuhan, tapi justru lantaran tertarik pada kemasannya. 

Taiwan juga mengembangkan sektor pertanian dan perikanan dengan melakukan inovasi benih padi dan bibit ikan, sehingga mereka temukan jenis unggulan. 

Tak heran jika para petani dan peternak ikan di Taiwan bisa panen berkali-kali dalam setahun dengan kualitas terbaik. Sektor jasa juga menjadi fokus pemerintah seperti sistem jaminan kesehatan, pariwisata, dan investasi. Dengan biaya murah perusahaan asing bisa membuka kantor perwakilan di Taiwan dan izin operasi selama dua tahun. 

Selain itu, Taiwan adalah negara ke-5 dengan cadangan devisa terbesar di dunia dan peringkat 13 sebagai negara pemilik cadangan emas terbesar. Artinya, Taiwan memiliki modal besar dalam memajukan negaranya, termasuk berinvestasi di negara lain. 

Saat ini, karena biaya ekonomi tinggi di Cina dan kekurangan tenaga kerja di Vietnam, maka banyak pengusaha Taiwan menjadikan Indonesia sebagai lahan investasi baru.

Dalam kaitan ini, mahasiswa Aceh yang tergabung dalam Ranup Lampuan (Ikatan Mahasiswa Aceh di Taiwan) dengan struktur kewalian dan saat ini hampir 100 orang yang studi di Taiwan, siap menjadi duta dan fasilitator Aceh dengan pihak Taiwan. Kami putra-putri Aceh di sini terdiri atas beragam disiplin ilmu serta aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan. 

Sebagai langkah awal, kami sudah bentuk cluster-cluster yang memetakan potensi Taiwan yang bisa dikembangkan di Aceh dan sebaliknya, di samping juga terus menjalin komunikasi dengan pemangku kepentingan di Aceh.

Hasil diskusi tentatif per cluster menyimpulkan bahwa ada program pendidikan dari Pemerintah Taiwan melalui universitas setiap tahunnya yang sifatnya hibah ke negara lain. Syaratnya mudah. Tempat yang dituju cukup menyediakan tempat seperti sekolah atau kampus untuk terlaksananya program tersebut. 

Di sisi lain, pemberdayaan dan pelayanan rumah sakit dan puskesmas yang ada di Aceh layak mencontoh model Taiwan yang sangat teratur dan murah melalui program kerja sama. 

Selain itu, masyarakat Taiwan yang menyukai makanan laut (seafood) sampai saat ini terus mengimpor hasil laut yang jenisnya banyak terdapat di perairan Aceh.

Permintaan Taiwan terhadap komoditas dan hasil tambang masih terbilang tinggi dan cenderung meningkat.

Publikasi profil Aceh dan rencana aksi (action plan)/rencana bisnis (business plan) dengan memanfaatkan semua jenis media serta menjalin kerja sama dengan mahasiswa Aceh di luar negeri adalah salah satu jalan mempercepat penanaman modal asing di Aceh.

Kondisi Aceh sekarang yang damai adalah keadaan yang meniscayakan Aceh maju dalam mencapai kesejahteraan yang menyeluruh bagi rakyatnya. Potensi sumber daya alam, iklim yang relatif stabil, lokasi yang strategis, dan regulasi yang jelas membuat Aceh dilirik oleh banyak investor, terutama dari luar negeri.

Kesiapan Aceh dalam investasi menjadi modal penting, selain kondisi keamanan, ketersediaan infrastruktur yang paripurna seperti lahan, listrik, jalan, air bersih, pelabuhan, dan insentif pajak serta perizinan sebagai syarat utama.

Tulisan ini juga dipublish di Serambi Indonesia(online)

Sunday, January 6, 2013

Belajar dari Cara Taiwan Menurunkan Perokok Aktif


OLEH AMNA AFGANURISFA, Mahasiswa Magister Psikologi Asia University dan Asisten Dosen Psikologi pada FK Unsyiah, Taichung-Taiwan
Rokok. Bakar dan hisap. Kerja yang sangat gampang dan santai bukan? Tidak butuh energi banyak ketika menikmati rokok dan tanpa peduli akibat yang terjadi setelah menghisapnya. Kalimat yang sering keluar ketika larangan rokok itu dikeluarkan adalah: “kan uang saya sendiri? Kan yang mati dan yang sakit juga saya?” inilah segelintir kalimat-kalimat dari sang maniak rokok yang sangat susah dan butuh waktu untuk bisa menghentikannya.
Tanpa diketahui bahwa ketika asap rokok masuk ke paru-paru, maka 4.000 jenis racun pun akan ikut masuk ke dalam paru-paru Anda beserta 43 senyawa penyebab kanker. Apa jadinya, jika setiap hari selama beberapa kali sehari rokok itu dikonsumsi dan masuk ke dalam tubuh Anda? Hal ini menyebabkan setiap menit 10 orang meninggal karena merokok.
“Wooow,… angka yang sangat fantastis untuk penyebab yang kelihatannya begitu ringan.”
Fakta yang mengejutkan dari sebuah situs kesehatan cancerhelps dan badan kesehatan dunia (WHO) menyatakan bahwa Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan konsumsi rokok terbesar nomor 3 tingkat dunia. Indonesia memiliki kurang lebih 65 juta perokok atau 28 % per penduduk (138 miliar batang per tahun)Hal mengejutkan lainnya bahwa jumlah perokok Indonesia justru bertambah dalam 9 tahun terakhir.
Hal senada diungkapkan oleh data Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan, bahwa saat ini sekitar 20 persen dari satu miliar perokok di dunia adalah wanita. Di Indonesia sendiri, persentase perokok semakin hari semakin meningkat dan di Indonesia persentase pria sebanyak 65.9% sementara wanita 4.5%.
Kebiasaan yang sudah mendunia dan bisa dikatakan telah mendarah daging di kalangan masyarakat dunia, sangat susah dan butuh proses yang sangat lama untuk menghentikannya. Benda yang satu ini sangat familiar di sudut belahan dunia. Di Indonesia, rokok bukan lagi barang asing, bahkan dari segi usia baik kecil, dewasa maupun orangtua.
Belajar dari hal yang kecil, yang mungkin luput dari pantauan kita semua, di kota-kota Indonesia terdapat berbagai jenis iklan rokok yang bertebaran dimana-mana, poster, billboard, baliho tentang iklan rokok dipasang tepat di depan pintu pagar sekolah atau area sekolah, kantor, bahkan rumah sakit. Iklan yang terbiasa dilihat setiap hari akan menjadi stimulasi tersendiri kepada para pengguna untuk selalu mencoba dan mencoba tentang kenikmatan yang ditawarkan dalam iklan tersebut.
Hal ini sangat miris, jika diperhatikan di setiap belahan dunia, yang jarang terdapat iklan rokok di kawasan sekolah, rumah sakit dan tempat umum lainnya. Salah satunya yang terdapat di negara kecil bernama Taiwan. Di negara ini, iklan rokok tidak dipasang di sekitar area sekolah, kantor dan rumah sakit.
Di setiap universitas di Taiwan selain terdapat tanda peringatan dilarang merokok juga terdapat peringatan tentang denda bagi mahasiswa yang merokok di area kampus. Hal ini terbukti dapat “menghapuskan” angka perokok di area kampus.  Hampir bisa dikatakan setiap mahasiswa, dosen dan staff  tidak ada yang merokok di kampus.
Adapun jumlah yang harus dibayar apabila terdapat atau terbukti mahasiswa merokok di kampus sebesar  10.000 Dolar Taiwan atau hampir setara dengan angka 3,5 juta rupiah. Setiap mahasiswa yang melihat temannya merokok di kampus boleh melaporkan ke pihak kampus. Caranya mengambil gambar/foto si perokok kemudian ditunjukkan ke bagian kampus sebagai bukti, perokok akan dikenakan hukuman denda dan si pelapor mendapatkan hadiah dari pihak sekolah dimana denda si perokok akan menjadi reward bagi si pelapor.
Dan benar adanya, peringatan dan hukuman di kampus ini efektif di Taiwan. Terutama di kampus saya sendiri (Asia University).  Menapaki akhir semester ketiga ini saya belum pernah menemui satupun teman, dosen dan staf yang merokok di area kampus.
Hal ini menjadikan area kampus adalah tempat yang sangat dicintai bagi mereka-mereka yang antirokok. Kampus ini memiliki cara unik tersendiri untuk membersihkan area kampus karena puntung rokok yang tercecer dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
Setiap pagi selain petugas khusus delegasi kampus juga ditemani oleh beberapa mahasiswa tingkat strata-I (S1) yang telah punya jadwal hariannya untuk membantu mencarikan puntung rokok yang tercecer di kampus. Kegiatan ini dilakukan hampir setiap pagi dengan tujuan demi memberantas perokok di kalangan mahasiswa kampus.
Semoga trik dan langkah-langkah dalam tulisan ini bisa menginspirasi gerakan mahasiswa nanggroe Seuramoe Mekkah dalam menurunkan angka perokok aktif di kampus. Seperti yang dilansir media lokal minggu lalu tentang Peraturan Wali Kota Banda Aceh (Perwal) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), di lingkungan kampus.
Ketiga kampus tersebut adalah Universitas Muhammadiyah Aceh (Unmuha), Universitas Serambi Mekkah (USM) dan Politeknik Aceh. Saya rasa ini cara awal dalam pergerakan baru demi mencapai Aceh bersih dari polusi asap rokok. Setiap perubahan ke arah yang lebih baik, pasti akan selalu ada rintangan dan hambatan, namun jika kita berusaha, maka kita pasti bisa.
Tulisan ini juga dipublish di Atjehpost(online).

Saturday, January 5, 2013

Hidup Serbamudah di Taiwan

OLEH KHAIRUL RIJAL DJAKFAR, Ketua Majelis Wali Mahasiswa Aceh di Taiwan, Taichung.

TAIWAN dikenal sebagai salah satu negara dengan sistem pelayanan publik terbaik di dunia. Pendekatan perencanaan strategis yang komprehensif oleh negara berhasil merekonsiliasi masalah dilematis antara industrialisasi, demografi, kultur demokrasi baru, dan budaya tradisional yang bermuara pada kesejahteraan rakyatnya. 

Luas Taiwan hanya 2/3 dari luas Aceh, tapi penduduknya lima kali lipat dari Aceh. Jalan dari utara ke selatan sudah menggunakan jalan bebas hambatan/tol, sehingga mempersingkat jarak tempuh dan bebas macet.

Taiwan juga tergolong sangat berhasil menjawab hal-hal paling yang dibutuhkan rakyatnya. Umpama, saat mereka sekolah, bisa memperoleh pembiayaan/beasiswa penuh. Saat mereka beraktivitas, tersedia prasarana dan sarana transportasi yang murah dan memadai. Saat mereka butuh pekerjaan, pemerintah bisa memfasilitasi dan memastikan nilai penghasilan yang layak. Selain itu, saat sakit rakyat bisa mendapat akses pelayanan kesehatan yang cepat dan prima. 

Di Taiwan, kalau kita sakit dan memiliki kartu asuransi kesehatan, maka di ruang gawat darurat rumah sakit, kita akan diperiksa oleh dokter umum. Setelah didiagnosis, dilanjutkan pemeriksaan oleh dokter spesialis. Kemudian direkomendasikan ke dokter spesialis ruangan jika kita memerlukan rawat inap. Setelah itu baru pasien diberi ruangan dan diserahkan kepada dokter spesialis yang menangani perawatan. 

Ada tiga dokter dengan spesialisasi yang sama saat memeriksa awal pasien. Ini untuk menghindari terjadinya kesalahan diagnosis. Dokter tersebut digaji tinggi oleh rumah sakit, sehingga tidak boleh mencari penghasilan tambahan. Ia wajib bertanggung jawab pada pekerjaannya. Selama di rumah sakit perawat secara rutin mengecek kondisi pasien, bahkan mencari dan memberikan obat sesuai dengan dosis yang tepat. Keluarga pasien tidak direpotkan dengan resep obat dari dokter dan harus mencari sendiri obat di apotek. Di Taiwan, semua pelayanan ini bisa didapatkan dengan biaya murah.

 Beasiswa
Selain kemudahan di bidang kesehatan, setiap pemerintah daerah atau perguruan tinggi di Taiwan memberikan beasiswa kepada mahasiswanya, namun tidak dilepas begitu saja. Penerima beasiswa dari pemerintah diikat dengan kontrak. Mahasiswa tersebut harus bekerja--baik tetap maupun sementara--untuk pemerintah saat menyelesaikan studi nantinya. Si penerima beasiswa dari universitas diwajibkan pula bekerja untuk kampus, misalnya, membersihkan sampah pada pagi dan sore hari atau membantu di bagian administrasi. Cara ini selain meringankan beban orang tua dalam pembiayaan, juga mendidik sang anak untuk disiplin dan bertanggung jawab. Manfaat lain bagi mahasiswa, bila mau sekolah sampai S3 dan menjadi dosen atau peneliti, maka dibebaskan dari wajib militer oleh negara.

 Transportasi
Hal lain yang mengesankan tentang Taiwan adalah transportasinya. Moda transportasi antardaerah atau kota di negeri ini sangat beragam dan banyak pilihan. Untuk transportasi darat tersedia taksi, bus, kereta api, dan kereta peluru (THSR/Taiwan High Speed Rail). 

Jarak antara Taipei dengan Kaohsiung yang hampir sama dengan jarak Banda Aceh ke Idi, Aceh Timur, bisa ditempuh dalam waktu 1 jam 36 menit saja bila menggunakan THSR. Ongkosnya sekitar Rp 450.000 untuk kelas ekonomi. Biaya konstruksi THSR ini $14,5 miliar dolar dengan prinsip: bangun, kelola, lalu serahkan dari swasta ke Pemerintah Taiwan. 

Untuk transportasi dalam kota, pilihan termurah adalah menggunakan bus dengan sistem kartu elektronik yang telah diisi nilai uangnya. Kemudian cukup digesekkan saja pada mesin pemindai yang ada dalam bus saat kita naik dan turun. Secara otomatis mesin akan memotong biaya dari kartu tersebut sesuai jarak yang kita tempuh. 

Khusus di tempat saya tinggal, Kota Taichung, pemerintah kotanya menggratiskan biaya sampai dengan jarak tempuh 8 kilometer. Hal ini sangat membantu kami yang ingin Jumatan ke Masjid Taichung yang waktu tempuhnya mencapai satu jam lebih dan harus berganti bus, namun tetap gratis, karena jarak setiap bus yang saya naiki tidak mencapai 8 kilometer. Itulah, antara lain, gambaran hidup serbamudah sekaligus daya tarik Taiwan.

Tulisan ini juga dipublish di Serambi Indonesia (online)