Ranup Lampuan

Aceh student Association in Taiwan

Likok Pulo

Memperknalkan marwah bangsa dan budaya adalah kewajiban bagi kami, walau jauh dari negeri "Indatu"

Halal Bihalal Idul Adha 2012

Kebersamaan di hari yanng mulia adalah kebahagian yang tak terkira hidup di negeri orang

Edventure

Merasakan apa yang belum pernah ada di negeri sendiri adalah cita-cita dari setiap individu

Taipei 101

"If you can dream it, you can do it" Bermimpilah setinggi-tingginya.

Wednesday, August 8, 2012

Cara Berpakaian Ala Taiwanese


Oleh : Hendri Ahmadian, Master Student at Chung Hua University, Hsinchu-Taiwan.

Awal tiba di Taiwan, ada hal yang mengganjal di dalam pikiran saya. Kondisi dan perilaku masyarakat Taiwan yang saya lihat banyak mengikuti budaya Amerika. Kalau kita lihat anak muda di Taiwan, hampir semuanya mengikuti mode dan trend dunia Barat.


Jarang dilihat mereka memperkenalkan budaya atau tradisi China, malah sebaliknya. Contoh pada saat perayaan Ulang Tahun Universitas, para mahasiswa banyak menampilkan budaya barat. Begitu pun di acara hiburan yang sering ditampilkan pada malam minggu di Taman Kota. Kebanyakan acara adalah joged-joged seperti penyanyi rap.

Cara Berpakaian
Saat masih di Banda Aceh, saya berpikir cara berpakaian para perempuan di Taiwan mungkin hampir sama dengan yang di Indonesia. (maaf -Red) Dengan celana pendek dan baju oblong tipis.

Dan pada saat saya sampai disini, tepatnya bulan Oktober 2009 kemarin, pikiran itu memang benar adanya. Malah disini lebih parah dan tidak mengindahkan lagi norma-norma yang lazimnya ada di Banda Aceh. Apalagi bagi orang baru pertama menginjakkan kaki di Taiwan, pemandangan hal yang tidak lazim ini akan sedikit mempengaruhi konsentrasi kita untuk melakukan hal-hal yang positif.

Memasuki awal musim panas (pada saat ini bulan april), pemandangan yang tidak lazim ini akan semakin parah. Mata kita tidak tahu harus memandang kemana lagi. Karena kodisi cuaca akan mempengaruhi cara mereka berpakain. Pada saat musim dingin yang lalu, semuanya masih kelihatan normal (cara mereka berpakaian). Sekarang berbanding terbalik.

Memang budaya dan kondisi di Aceh dan di sini agak jauh berbeda. Disini kita harus banyak mengingat Allah dan jangan lupa untuk memperbanyak ibadah. Karena masyarakat asli disini jarang mempunyai agama. Dengan kekurangan dan keterbatasan yang kami alami disini, harus tetap bersyukur. Dan satu lagi jangan ada waktu luang disia-siakan percuma. Isilah dengan kegiatan posistif.

Sumber Blog Hendri

Tari Saman atau Tari Saman-Samanan


Oleh Dzulgunar MN, Mahasiswa asal Aceh yang sedang menempuh studi di Yuan Ze University, Taiwan.
Sejarah singkat
Menurut sejarah, tari saman diajarkan oleh seorang tokoh Islam yang bernama Syeh Saman yang berdakwah hingga ke daratan tinggi Gayo. Beliau bukan hanya sebagai pendakwah namun juga seorang seniman, sehingga nama beliau disematkan pada nama tarian saman. Oleh beliau, tari saman dijadikannya sebagai media untuk menyebarkan agama Islam di Aceh dan khususnya di daratan tinggi Gayo. Sebagai media dakwah, tari tersebut memiliki salam di awal-awal tarian dan kemudian dilanjutkan dengan puji-pujian kepada Sang Pemilik Alam Semesta yang telah memberikan rahmat Nya. Lirik-lirik tari saman menggunakan bahasa Gayo dan hanya sedikit bercampur dengan lafadz-lafadz bahasa arab.

Saman ? atau Saman-samanan?
Banyaknya fenomena di masyarakat luas tentang penyebutan tari saman yang dilekatkan pada tari-tari tradisional Aceh. Tidak sedikit dari masyarakat luas melihat tari yang berasal dari Aceh dan dengan yakinnya menyebutkan bahwa tarian tersebut adalah tari saman. Pertama-tama mari kita melihat masyarakat Aceh sendiri, seberapa persen masyarakat yang mengetahui yang mana tari saman sebenarnya, dan atau mari kita tanyakan lagi kepada generasi muda Aceh saat ini, seberapa banyak yang mengetahui tari saman. Di saat sebuah grup tari yang menampilkan sebuah tarian tradisi Aceh, sebagai contoh sebut saja tari likok pulo yang berasal dari Pulo Aceh, tetap saja banyak yang menyebut tarian tersebut tari saman. Yang kedua, mari kita melihat fenomena di masyarakat secara nasional (Indonesia), dimana hampir seluruh penjuru Indonesia mengetahui nama tariansaman, dan hampir semua pertunjukan atas nama tarian Aceh maka disebut tari saman. Kemudian, jika kita lihat dari sisi masyarakat International, yang mana hampir semua tarian Aceh itu lebih mudah diingat dengan tari saman dan atau tari “thousand hands” (seribu tangan).
Melihat fenomena-fenomena tersebut yang sudah mengakar dan sangat sulit untuk dibenahi dan memberikan informasi yang sebenar-benarnya, maka banyak teman-teman pelaku seni Aceh baik itu seniman, musisi, penari-penari tradisional Aceh, pelaku seni Aceh lainnya serta pemerintah Aceh yang mengetahui yang mana tari saman yang sebenarnya terus berupaya untuk menginformasikan tentang keaslian tari saman itu sendiri. Banyak teman-teman di Gayo dimana tari saman itu lahir, pada saat mengetahui fenomena-fenomena diatas mereka merasa kesal. Karena tari saman bukanlah tari likok pulo, tari saman bukanlah tari ratoh bantai, tari saman bukan tari tarik pukat, tari saman juga bukanlah tari seudati atau tari saman bukanlah tari “saman-samanan” (tari yang sudah bercampur aduk). UNESCO dan teman-teman penari baik dari Banda Aceh maupun di Gayo mencoba membuat video tari saman yang sebenarnya untuk dikukuhkan menjadi warisan budaya dunia bukan benda. Kemudian diresmikanlah Tari Saman Gayo sebagai salah satu warisan Budaya Dunia melalui sidang ke-6 Komite Antar-Pemerintah untuk perlindungan warisan budaya tak benda UNESCO di Nusa Dua, Bali.

Saat ini sedang ada penelitian intensif terhadap tari saman, dan ditemukan bahwa hampir semua tarian Aceh itu memiliki nama “saman” di depan nama tarian aslinya. Banyak yang berkomentar bahwa itu sebabkan sumber yang diambil berasal dari bukunya Snouck Hurgronje (orang Belanda yang melakukan studi tentang gayo dan ingin menjajah Aceh di zaman penjajahan). Tetap saja, tulisan yang ditulis Snouck Hurgronje tidak bisa sepenuhnya bisa kita ambil disebabkan dia tidak pernah pergi ke Gayo dan hanya menggunakan kuisioner dan interview terhadap dua pemuda Gayo di jaman itu. Sehingga di buku ya, dia menuliskan bahwa hampir semua tarian Aceh itu diawali dengan sebutan saman.

Tidak pernah dimainkan oleh kaum wanita
Tarian Saman memang tidak dimainkan oleh kaum wanita. Mengingat gerakan-gerakannya yang dinamik, cepat, tegas dan mantab itu sehingga tidak pantas untuk ditarikan oleh kaum wanita, seperti yang di ungkapkan oleh Bapak Burhan pada acara Pertandingan Saman Sara Ingi (saman jalu) yang diadakan oleh Ikatan Mahasiswa Gayo Lues (IMGL), “Tari Saman harus dilakonkan kaum laki-laki, bukan perempuan…”, kemudian beliau juga menambahkan “pergerakan dalam tari harus memiliki khas Saman dan berbahasa Gayo, serta memakai kostum ciri khas Gayo yang disebut  kerawang Gayo”. Dr. Rajeb Bahri juga menambahkan bahwa tarian saman tidak bercampur laki-laki dan wanita seperti yang sering di tampilkan di pentas-pentas seni. Pengalaman penulis saat berada di daratan tinggi Gayo (Delung sekinel-nama desa terpencil di Gayo), banyak ibu-ibu serta bapak-bapak mengungkapkan bahwa jika tari saman ditarikan oleh perempuan, maka menganggap perempuan tersebut adalah perempuan yang tidak benar.

Usaha-usaha dari masyarakat
Menjaga keaslian tarian Saman sudah merupakan kewajiban kita sebagai anak Aceh khususnya dan sebagai pemuda-pemudi bangsa Indonesia umumnya. Tari Saman bukanlah milik per individual, melainkan warisan berharga milik bangsa yang harus kita jaga kemurniannya. Walaupun masih perlu usaha keras dari kita untuk peduli dengan istilah tari saman ini sendiri yang disematkan pada tari saman, sehingga tari saman tidak mudah di “copy” oleh orang lain sebagai tari mereka. Jika tidak dari generasi muda kita diberikan informasi yang jelas tentang tari saman sebenarnya, maka identitas tari saman sendiri akan bercampur aduk serta akan hilang seiring masa yang berlalu. Seperti ajakan Andi Malaranggeng “Saman mesti dijaga agar tidak kehilangan identitas kebudayaannya”.

Sumber Dzulgunar