OLEH FEBRIANSYAH, mahasiswa program master Design of Architecture NTUST melaporkan dari Taipei
MUSIM winter (dingin) di Taiwan belum berakhir. Berada di negeri dengan cuaca yang berbeda secara ekstrem, membuat kami dipaksa menyesuaikan diri, ditambah dengan makanan yang sama sekali tidak cocok di lidah.
Hampir setahun kami berada di negara formosa ini. Dalam kurun waktu itu pula keinginan untuk mencicipi makanan khas Aceh sangatlah besar. Namun, bumbu khusus untuk meracik makanan Aceh sangat sulit didapat di Taiwan.
Beruntung, bumbu yang kami cari akhirnya diperoleh di sebuah toko India di kawasan Chungli, kawasan yang ramai dihuni oleh komunitas Indonesia di Taiwan. Beberapa mahasiswa Aceh yang kuliah di Taipei terpakasa menuju kawasan Chungli demi mendapatkan bumbu khusus ini guna mengobati kerinduan akan masakan Aceh. Chungli sendiri berjarak sekitar 45 menit apabila ditempuh dengan kereta api dari Taipei.
Karena pengelola kampus tidak membolehkan memasak di asrama, maka kami harus memasak di ruang khusus yang telah disediakan pihak kampus. Ruangan ini sebenarnya tidak layak disebut dapur, karena berada tepat di aula asrama pusat. Tersebab alasan itu pula hasrat untuk memasak terpaksa ditunda satu semester. Namun, karena makanan yang disediakan di kampus sangat tidak cocok di lidah, terlebih bagi kami mahasiswa Aceh, maka misi memasak akhirnya kami laksanakan.
Berbekal bumbu yang kami beli di Chungli dan ikan yang kami dapatkan di sebuah pasar pagi Yonghe di Taipei, maka kami coba meracik bumbu untuk memasak gulee asam keu’ueng (gulai asam pedas). Karena bumbu asam keu’ueng tidak semua dapat diperoleh di sini, maka asam sunti terpaksa diimpor dari Aceh melalui mahasiswi Aceh yang kuliah di kampus yang sama.
Percobaan memasak kali pertama pun berhasil tanpa cacat sedikit pun, bahkan kawan-kawan sekamar yang berasal dari Surabaya yang sekadar mencicipi akhirnya memberi respons positif terhadap masakan khas Aceh, asam keu’ueng dimaksud.
Selain mahasiswa lokal dan internasional, mayoritas mahasiswa Indonesia yang belajar di sini berasal dari Pulau Jawa. Hanya beberapa saja dari Sumatera. Bagi mereka, mi aceh adalah makanan favorit. Sering kali permintaan akan mi aceh datang dari beberapa mahasiswa di saat kami memasak masakan Aceh. Namun, karena kesibukan di kampus dengan tugas-tugas kuliah yang padat, sehingga permintaan memasak mi aceh belum bisa kami penuhi.
“Masakan Aceh memang memiliki cita rasa sendiri yang sangat berbeda dengan kawasan lain di Indonesia, saya seakan berada di Aceh saat mencicipi masakan Aceh di Taipei,” ujar Fauzan, mahasiswa Indonesia yang berasal dari Jawa.
Sumber :Serambi Indonesia
Salam bang febri, saya Zamzami Zainuddin, lewat beasiswa Pemda tahun 2012, saya pilih NTUST (Digital Learning and Education), pingin tau banyak info dari abang, ho jeut lon hunbungi droneh?
ReplyDeleteBisa lansung ke fb beliau : http://www.facebook.com/lon.febri.Ian?fref=ts
ReplyDeleteTeurimong geunaseh...
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete