Ranup Lampuan

Aceh student Association in Taiwan

Likok Pulo

Memperknalkan marwah bangsa dan budaya adalah kewajiban bagi kami, walau jauh dari negeri "Indatu"

Halal Bihalal Idul Adha 2012

Kebersamaan di hari yanng mulia adalah kebahagian yang tak terkira hidup di negeri orang

Edventure

Merasakan apa yang belum pernah ada di negeri sendiri adalah cita-cita dari setiap individu

Taipei 101

"If you can dream it, you can do it" Bermimpilah setinggi-tingginya.

Wednesday, February 27, 2013

Buruh Migran, Libur pun Tetap Belajar

Agus Putra A. Samad, Mahasiswa Program Doctoral di Department of Aquaculture, National Taiwan Ocean University (NTOU), Taiwan.

NAMA Victoria Park dan Keelung Harbour tentu terdengar asing bagi warga Indonesia pada umumnya. Namun, kedua tempat tersebut sangatlah dikenal oleh para mahasiswa maupun Buruh Migran Indonesia (BMI) yang sedang bekerja di Hong Kong dan Taiwan. 

Kedua taman ini sering dijadikan sebagai tempat mengisi aktivitas liburan bagi warga Indonesia yang sedang merantau di kedua wilayah keturunan Cina ini.

Keramaian di Taman Victoria sangat saya rasakan beberapa waktu yang lalu ketika saya mendapatkan undangan untuk memberikan perkuliahan dalam rangka Tutorial Tatap Muka (TTM) dengan mahasiswa Universitas Terbuka (UT) Indonesia di Hong Kong (UT-Hong Kong). Di sela-sela waktu perkuliahan, para tutor turut diperkenalkan dengan kehidupan para mahasiswa UT-Hong Kong yang 99% bekerja sebagai foreign domestic helper (pembantu rumah tangga) yang selalu memanfaatkan hari liburnya untuk melakukan kegiatan-kegiatan positif seperti: kuliah, belajar mengaji, latihan menari, bermain alat musik, dan olahraga di taman, sehingga taman itu mendapat julukan “Kampung Orang Indonesia”.

Pengalaman berkesan yang menjadi perhatian saya adalah tersebarnya warga Indonesia di setiap sudut Kota Hong Kong pada hari libur, terutama di wilayah Causeway Bay yang menjadi salah satu pusat ekonomi terbesar di Hong Kong. Sedangkan pada jam-jam kerja, senyuman orang Indonesia dengan mudah dapat dijumpai di kawasan tersebut, terutama di pusat-pusat usaha yang dijalankan oleh orang-orang Indonesia asli seperti: di warung Indonesia, Plasa GraPARI, Bank Mandiri, Bank BNI, dan Indonesia Building.

Berdasarkan informasi yang saya terima dari rekan-rekan BMI, maupun pihak agensi tenaga kerja, para pekerja Indonesia di Hong Kong berhak atau bahkan diwajibkan oleh para majikannya untuk ke luar rumah pada hari-hari libur. 

Oleh sebab itu, kesempatan inilah yang selalu dimanfaatkan oleh BMI untuk berkumpul dan melepas rindu sesama sahabat ataupun anggota keluarga lainnya yang kebetulan sama-sama sedang bekerja di Hong Kong. Kondisi ini sangatlah bertolak belakang dengan kondisi BMI yang sedang mencari nafkah di Taiwan yang terkesan lebih sulit untuk mengatur waktu liburan mereka yang sifatnya sangat tentatif (dapat berubah mendadak dan amat bergantung pada kondisi). Hal ini disebabkan oleh tuntutan profesi yang mereka jalani seperti: merawat manula dan orang sakit atau bekerja sebagai anak buah kapal kargo dan kapal penangkap ikan.

Meski demikian, para BMI yang bekerja di Taiwan tidak pernah mengeluh. Mereka bahkan selalu berusaha memanfaatkan waktu libur yang ada dengan sebaik mungkin. 

Di bagian utara Taiwan, salah satu tempat favorit yang sering mereka kunjungi adalah Keelung Harbour atau Taman Kayu. Di taman inilah para pahlawan devisa ini berbaur dengan warga Taiwan lainnya sambil menikmati udara segar dan melihat kapal-kapal pesiar berukuran besar.

Berdasarkan pengamatan saya selama ini, satu hal positif yang patut kita banggakan dari para BMI di kedua wilayah tersebut adalah semangat mereka untuk melanjutkan pendidikan meskipun dalam kondisi keuangan dan waktu yang sangat terbatas. 

Hingga saat ini tercatat, jumlah mahasiswa UT-Taiwan dan UT-Hong Kong (seluruhnya berstatus BMI) masing-masing berjumlah 150 dan 120 mahasiswa. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan meningkatnya kesadaran para BMI akan pentingnya pendidikan dan gencarnya promosi yang dilakukan oleh pengurus UT di kedua wilayah tersebut.

Kenyataan di atas tentulah dapat dijadikan sebagai contoh pembelajaran yang baik bagi penduduk Indonesia lainnya, khususnya masyarakat Aceh untuk menyadari akan pentingnya pendidikan demi masa depan yang lebih baik. 


Tulisan ini juga di-publish di Serambi Indonesia (online).

Thursday, February 14, 2013

Banyak Pilihan Beasiswa di Taiwan


OLEH KHAIRUL RIJAL DJAKFAR, Ketua Majelis Wali Mahasiswa Aceh di Taiwan, melaporkan dari Taiwan

TAIWAN tumbuh dan berkembang sebagai negara maju dipengaruhi oleh sinergi yang mengagumkan antara pemerintah, pengusaha, dan dunia pendidikan. 

Pendidikan justru menjadi elemen dasar dalam kemajuan negara ini. Setiap kebijakan pemerintah dan strategi bisnis Taiwan berasal dari kajian dan riset para akademisi. Bahkan, banyak dosen menjadi pejabat dalam pemerintahan atau menjadi pengusaha besar sesuai dengan kepakarannya masing-masing. 

Hal ini membuktikan bahwa Taiwan berhasil dari sisi teori dan praktik, baik dalam pemerintahan maupun dunia bisnis, karena didukung oleh pendidikan. Sebagai contoh, seorang profesor di kampus perikanan adalah juga pengusaha besar dalam bisni perikanan.             

Sebagai negara kaya modal yang luasnya hanya 2/3 Aceh, jumlah kampus baik negeri maupun swasta di Taiwan saat ini hampir 200 universitas. Tapi diisi hanya 1,4 juta oleh mahasiswa lokal. Selebihnya mahasiswa dari berbagai negara. Akibat rasio tak normal tersebut dan karena alasan politis, maka Taiwan menawarkan berbagai macam beasiswa kepada mahasiswa asing. 

Beasiswa tersebut bisa berupa pelatihan bahasa Mandarin, proyek riset, bahkan kelas internasional S1 sampai S3 dalam bahasa Inggris.  Beberapa program studi unggulan Taiwan terbuka untuk mahasiswa asing. Di antaranya ilmu komputer/semikonduktor, teknik, pertanian, perikanan, kesehatan, dan bisnis/keuangan.

Beasiswa yang paling difavoritkan di sini adalah Beasiswa Pemerintah Taiwan (Taiwan Scholarship). Untuk S2 dan S3 mendapat uang saku NT$20,000 atau Rp 6.600.000 per bulan (NT$1 = Rp 330) dan biaya kuliah NT$40,000 per semester. Beasiswa ini dibuka setiap periode 1 Februari-31 Maret tiap tahunnya (www.teto.or.id). 

Beasiswa lainnya adalah ICDF Scholarship. Selain mendapat uang saku NT$15,000 (S2) dan NT$17,000 (S3) per bulan, mahasiswa yang lulus juga mendapat fasilitas tiket pesawat terbang (pp), asrama, biaya kuliah, asuransi, dan biaya buku. Periode pendaftaran beasiswa ini (4 Januari-15 Maret) setiap tahun (www.icdf.org.tw). 

Selain itu, setiap kampus juga menawarkan beasiswa tersendiri. Misalnya tipe A, yaitu beasiswa penuh (uang saku mulai NT$6,000-10,000 per bulan, bebas biaya kuliah, dan gratis biaya asrama). Tipe B (bebas biaya kuliah + gratis biaya asrama), atau paling rendah tipe C (hanya gratis biaya asrama). Pemberian beasiswa ini dipengaruhi oleh nilai TOEFL dan linearitas disiplin ilmu pelamar saat seleksi. 

Nilai tambah lainnya, hampir seluruh kampus menawarkan kelas kursus bahasa Mandarin gratis selama masa studi. mahasiswa yang ingin kerja, bisa menjadi asisten riset profesor. Gajinya memuaskan. 

Jika ingin bekerja sebagai pelayan restoran, penjaga toko, atau buruh pabrik, maka upah minimum berkisar NT$100 per jam. Bagi yang mahir berbahasa Mandarin bisa dapat NT$5,000 per minggu.  

Pendeknya, bagi pembelajar dan pemburu beasiswa sejati, tak perlu khawatir jika Beasiswa Aceh dihentikan sementara, sebagaimana diwacanakan Gubernur Zaini Abdullah. Toh banyak peluang dan pengalaman yang bisa didapatkan di Taiwan asal punya keinginan dan spirit yang kuat untuk hidup merantau. 

Beberapa mahasiswa Aceh, termasuk saya, yang mendapat beasiswa kampus tetap bisa bertahan hidup dengan menghemat biaya atau dengan bekerja dan berbisnis di lingkungan kampus. 

Selain itu, kami, Majelis Wali Mahasiswa Aceh sebagai perwakilan mahasiswa Aceh yang terdiri atas tujuh Wali Wilayah di Taiwan (Taipei, Keelung, Chungli, Hsinchu, Hualien, Taichung, dan Tainan) siap membantu teman-teman dari Aceh mulai dari mencari kampus dan beasiswa yang sesuai, penjemputan, pengenalan kampus, informasi tempat makan halal atau vegetarian, maupun lokasi masjid di pusat kota atau mushalla dalam lingkungan kampus. Info tentang kami bisa diakses blogranup.blogspot.tw.         

Tinggal dan menetap di negeri orang tentu saja tak hanya belajar dan berkutat dengan buku dan tugas-tugas perkuliahan, tapi juga bergaul dengan mahasiswa Taiwan dan negara lain untuk saling tukar cerita serta memperlancar bahasa Mandarin dan Inggris. Coba rasakan pelayanan administrasi dan birokrasi Taiwan yang umumnya bebas KKN serta melihat masyarakat Taiwan yang ramah, jujur, dan tolong-menolong walau sebagian besar ateis. Semua itu adalah sebagian kecil dari pengalaman yang bisa saya dibagikan untuk Aceh lon sayang. 


Tulisan ini juga dipublish di Serambi Indonesia (online)