OLEH DZULGUNAR MUHAMMAD NASIR, mahasiswa Aceh di Jurusan Foreign Languages and Applied Linguistics di Yuan Ze University, melaporkan dari Taiwan
HARI Minggu lalu Universitas Terbuka (UT) Taiwan mengadakan tatap muka langsung dengan mahasiswa-mahasiswanya di Taipei. Tepatnya di salah satu sekolah menengah atas dekat dengan masjid kecil Taipei. Saya yang kebetulan diamanahkan untuk mengajar satu mata kuliah kepada mahasiswa UT Taiwan, merasa sangat senang bisa berjumpa langsung dengan mereka. Selama ini, para tutor UT Taiwan hanya mengajar melalui salah satu website bernama Wiziq. Melalui Wiziq hampir tak ada bedanya dengan pertemuan langsung bersama para mahasiswa. Tutor bisa melihat dan memberi perkuliahan secara langsung walaupun para mahasiswanya sedang memasak, makan, atau sedang bekerja di pabrik. Syaratnya, si mahasiswa pun harus online di Wiziq, sehingga mereka bisa melihat dan mendengarkan materi kuliah.
Hampir semua mahasiswa UT Taiwan adalah para buruh migran Indonesia (BMI) yang memiliki semangat ingin bersekolah lagi tanpa merasa minder sedikit pun. Berkisar kurang lebih seratusan mahasiswa UT Taiwan yang terbagi ke dalam tiga jurusan, yaitu Manajemen, Ilmu Komunikasi, dan Jurusan Bahasa Inggris.
Semangat yang seperti ini tak pernah saya temukan sebelumnya. Mereka yang bekerja sebagai blue collar atau pembantgu rumah tangga (PRT), maupun caretaker untuk akong-akong dan ama-ama (kakek dan nenek) tidak hanya sekadar mencari uang, tetapi juga menimba ilmu yang nantinya berguna bagi mereka.
Salah seorang dari mereka berkata kepada saya bahwa “Bersekolah itu bisa mengubah nasib saya ke depannya.” Setelah sebulan para mahasiswa itu bersama saya dan bertatap muka via online (Wiziq), akhirnya minggu kemarin rasa penasaran mereka terhadap wajah dan suara asli tutor terpulihkan.
Selain saya, ada juga mahasiswa Aceh lainnya yang menjadi tutor di UT Taiwan. Yakni Pak Khairul Rijal Djakfar, Agus Putra, Ibu Ismaniar, dan Puan Tursina. Dari pagi hingga sore, mereka masuk tiga mata kuliah dan bertemu juga dengan tutor-tutor lainnya di sela-sela jam istirahat.
Waktu sangat cepat berlalu. Semangat belajar yang ada pada mereka masih terpancar mesiki sudah pukul 4 sore. Di antara mereka ada yang tinggal di wilayah Tainan atau Kaohshiung. Jika mereka naik bus atau kereta listrik menghabiskan waktu sekitar lima atau enam jam untuk mencapai Taipei. Karena jadwal mereka sebagai BMI di Taiwan sangat padat, maka ada di antara mereka yang berangkat tengah malam dari kota tempat tinggalnya ke Taipei. Ada juga yang berangkat pukul 2 malam menuju ke Taipei. Tujuannya hanya satu, belajar. Itu yang sudah mereka tanamkan dalam hatinyaa, sehingga mereka mengabaikan rasa penat atau lelah.
Tahun ini, UT Taiwan bekerja sama dengan UT Hong Kong, sehingga ada juga di antara kami selaku tutor yang diamanahkan untuk ‘terbang’ ke Hong Kong memberi perkuliahan.
Selama ini, sistem perkuliahan yang kami berikan kepada para mahasiswa sangat bervariasi juga dengan berbagai channel (via Wiziq, Facebook, e-mail, dan Youtube). Hal ini telah menambah pengalaman saya dan beberapa tutor lainnya dalam mengajar via virtual. Lebih mengesankan lagi karena yang diajar itu adalah para buruh migran Indonesia di Taiwan, para pahlawan devisa bagi bangsa.
Tulisan ini juga dipublish di Serambi Indonesia
HARI Minggu lalu Universitas Terbuka (UT) Taiwan mengadakan tatap muka langsung dengan mahasiswa-mahasiswanya di Taipei. Tepatnya di salah satu sekolah menengah atas dekat dengan masjid kecil Taipei. Saya yang kebetulan diamanahkan untuk mengajar satu mata kuliah kepada mahasiswa UT Taiwan, merasa sangat senang bisa berjumpa langsung dengan mereka. Selama ini, para tutor UT Taiwan hanya mengajar melalui salah satu website bernama Wiziq. Melalui Wiziq hampir tak ada bedanya dengan pertemuan langsung bersama para mahasiswa. Tutor bisa melihat dan memberi perkuliahan secara langsung walaupun para mahasiswanya sedang memasak, makan, atau sedang bekerja di pabrik. Syaratnya, si mahasiswa pun harus online di Wiziq, sehingga mereka bisa melihat dan mendengarkan materi kuliah.
Hampir semua mahasiswa UT Taiwan adalah para buruh migran Indonesia (BMI) yang memiliki semangat ingin bersekolah lagi tanpa merasa minder sedikit pun. Berkisar kurang lebih seratusan mahasiswa UT Taiwan yang terbagi ke dalam tiga jurusan, yaitu Manajemen, Ilmu Komunikasi, dan Jurusan Bahasa Inggris.
Semangat yang seperti ini tak pernah saya temukan sebelumnya. Mereka yang bekerja sebagai blue collar atau pembantgu rumah tangga (PRT), maupun caretaker untuk akong-akong dan ama-ama (kakek dan nenek) tidak hanya sekadar mencari uang, tetapi juga menimba ilmu yang nantinya berguna bagi mereka.
Salah seorang dari mereka berkata kepada saya bahwa “Bersekolah itu bisa mengubah nasib saya ke depannya.” Setelah sebulan para mahasiswa itu bersama saya dan bertatap muka via online (Wiziq), akhirnya minggu kemarin rasa penasaran mereka terhadap wajah dan suara asli tutor terpulihkan.
Selain saya, ada juga mahasiswa Aceh lainnya yang menjadi tutor di UT Taiwan. Yakni Pak Khairul Rijal Djakfar, Agus Putra, Ibu Ismaniar, dan Puan Tursina. Dari pagi hingga sore, mereka masuk tiga mata kuliah dan bertemu juga dengan tutor-tutor lainnya di sela-sela jam istirahat.
Waktu sangat cepat berlalu. Semangat belajar yang ada pada mereka masih terpancar mesiki sudah pukul 4 sore. Di antara mereka ada yang tinggal di wilayah Tainan atau Kaohshiung. Jika mereka naik bus atau kereta listrik menghabiskan waktu sekitar lima atau enam jam untuk mencapai Taipei. Karena jadwal mereka sebagai BMI di Taiwan sangat padat, maka ada di antara mereka yang berangkat tengah malam dari kota tempat tinggalnya ke Taipei. Ada juga yang berangkat pukul 2 malam menuju ke Taipei. Tujuannya hanya satu, belajar. Itu yang sudah mereka tanamkan dalam hatinyaa, sehingga mereka mengabaikan rasa penat atau lelah.
Tahun ini, UT Taiwan bekerja sama dengan UT Hong Kong, sehingga ada juga di antara kami selaku tutor yang diamanahkan untuk ‘terbang’ ke Hong Kong memberi perkuliahan.
Selama ini, sistem perkuliahan yang kami berikan kepada para mahasiswa sangat bervariasi juga dengan berbagai channel (via Wiziq, Facebook, e-mail, dan Youtube). Hal ini telah menambah pengalaman saya dan beberapa tutor lainnya dalam mengajar via virtual. Lebih mengesankan lagi karena yang diajar itu adalah para buruh migran Indonesia di Taiwan, para pahlawan devisa bagi bangsa.
Tulisan ini juga dipublish di Serambi Indonesia