Ranup Lampuan

Aceh student Association in Taiwan

Likok Pulo

Memperknalkan marwah bangsa dan budaya adalah kewajiban bagi kami, walau jauh dari negeri "Indatu"

Halal Bihalal Idul Adha 2012

Kebersamaan di hari yanng mulia adalah kebahagian yang tak terkira hidup di negeri orang

Edventure

Merasakan apa yang belum pernah ada di negeri sendiri adalah cita-cita dari setiap individu

Taipei 101

"If you can dream it, you can do it" Bermimpilah setinggi-tingginya.

Sunday, March 31, 2013

Mengajar Buruh Migran via Virtual

OLEH DZULGUNAR MUHAMMAD NASIR, mahasiswa Aceh di Jurusan Foreign Languages and Applied Linguistics di Yuan Ze University, melaporkan dari Taiwan 

HARI Minggu lalu Universitas Terbuka (UT) Taiwan mengadakan tatap muka langsung dengan mahasiswa-mahasiswanya di Taipei. Tepatnya di salah satu sekolah menengah atas dekat dengan masjid kecil Taipei. Saya yang kebetulan diamanahkan untuk mengajar satu mata kuliah kepada mahasiswa UT Taiwan, merasa sangat senang bisa berjumpa langsung dengan mereka. Selama ini, para tutor UT Taiwan hanya mengajar melalui salah satu website bernama Wiziq. Melalui Wiziq hampir tak ada bedanya dengan pertemuan langsung bersama para mahasiswa. Tutor bisa melihat dan memberi perkuliahan secara langsung walaupun para mahasiswanya sedang memasak, makan, atau sedang bekerja di pabrik. Syaratnya, si mahasiswa pun harus online di Wiziq, sehingga mereka bisa melihat dan mendengarkan materi kuliah. 

Hampir semua mahasiswa UT Taiwan adalah para buruh migran Indonesia (BMI) yang memiliki semangat ingin bersekolah lagi tanpa merasa minder sedikit pun. Berkisar kurang lebih seratusan mahasiswa UT Taiwan yang terbagi ke dalam tiga jurusan, yaitu Manajemen, Ilmu Komunikasi, dan Jurusan Bahasa Inggris.

Semangat yang seperti ini tak pernah saya temukan sebelumnya. Mereka yang bekerja sebagai blue collar atau pembantgu rumah  tangga (PRT), maupun caretaker untuk akong-akong dan ama-ama (kakek dan nenek) tidak hanya sekadar mencari uang, tetapi juga menimba ilmu yang nantinya berguna bagi mereka. 

Salah seorang dari mereka berkata kepada saya bahwa “Bersekolah itu bisa mengubah nasib saya ke depannya.”  Setelah sebulan para mahasiswa itu bersama saya dan bertatap muka via online (Wiziq), akhirnya minggu kemarin rasa penasaran mereka terhadap wajah dan suara asli tutor terpulihkan. 

Selain saya, ada juga mahasiswa Aceh lainnya yang menjadi tutor di UT Taiwan. Yakni Pak Khairul Rijal Djakfar, Agus Putra, Ibu Ismaniar, dan Puan Tursina.  Dari pagi hingga sore, mereka masuk tiga mata kuliah dan bertemu juga dengan tutor-tutor lainnya di sela-sela jam istirahat. 

Waktu sangat cepat berlalu. Semangat belajar yang ada pada mereka masih terpancar mesiki sudah pukul 4 sore. Di antara mereka ada yang tinggal di wilayah Tainan atau Kaohshiung. Jika mereka naik bus atau kereta listrik menghabiskan waktu sekitar lima atau enam jam untuk mencapai Taipei. Karena jadwal mereka sebagai BMI di Taiwan sangat padat, maka ada di antara mereka yang berangkat tengah malam dari kota tempat tinggalnya ke Taipei. Ada juga yang berangkat pukul 2 malam menuju ke Taipei. Tujuannya hanya satu, belajar. Itu yang sudah mereka tanamkan dalam hatinyaa, sehingga mereka mengabaikan rasa penat atau lelah. 

Tahun ini, UT Taiwan bekerja sama dengan UT Hong Kong, sehingga ada juga di antara kami selaku tutor yang diamanahkan untuk ‘terbang’ ke Hong Kong memberi perkuliahan. 

Selama ini, sistem perkuliahan yang kami berikan kepada para mahasiswa sangat bervariasi juga dengan berbagai channel (via Wiziq, Facebook, e-mail, dan Youtube). Hal ini telah menambah pengalaman saya dan beberapa tutor lainnya dalam mengajar via virtual. Lebih mengesankan lagi karena yang diajar itu adalah para buruh migran Indonesia di Taiwan, para pahlawan devisa bagi bangsa. 

Tulisan ini juga dipublish di Serambi Indonesia

Saturday, March 30, 2013

Plastik Kresek pun Harus Bayar

Oleh IRDA YUNITA,  Master Student at Civil Engineering Department National Cheng Kung University, Tainan, Taiwan      

SELAMA tinggal dan menuntut ilmu di Taiwan, kalau sudah mendengar kata belanja yang terlintas di pikiran saya adalah jangan lupa membawa kantong kresek sendiri atau memakai tas ransel berukuran besar. Ya, supermarket dan swalayan di Negeri Formosa ini tidak akan menyediakan plastik kresek untuk kita bawa seberat apa pun barang yang kita beli. Kasir pasti akan meminta bayaran 1 NTD (sekitar 325 rupiah) untuk plastik belanjaan berukuran sedang atau 2 NTD untuk yang berukuran besar. 

Di toko swalayan, ketika membayar biasanya kasir akan menanyakan dulu apakah kita ingin sekalian membeli plastik kresek untuk pembungkus atau tidak? Kasir tidak akan menganggap kita pelit bila kita menjawab “bu yao” yang artinya “tidak mau” karena kita membawa kantong plastik sendiri. Di Taiwan, hal itu sudah biasa. 

Supermarket dan swalayan di Taiwan pun memperbolehkan pelanggan membawa tas masuk. Mungkin karena di sini tak ada pengutil.

Pengalaman ini tentu saja berbeda dengan suasana berbelanja di toko-toko Indonesia pada umumnya maupun di Aceh khususnya. Untuk barang dagangan sekecil apa pun, konsumen pasti akan mendapatkan plastik. Mengapa di Taiwan plastik kresek pun harus dibayar? Menggunakan plastik kresek telah menjadi sesuatu yang dianggap praktis dan terkadang sulit digantikan dalam kehidupan masyarakat kita. Namun, ternyata benda imut ini menyimpan bahaya besar di baliknya. Banyak orang yang sadar dan tahu tapi tetap saja tidak peduli. Pada kenyataannya, bahaya limbah plastik bukanlah omong kosong. 

Plastik sangat sulit hancur dan memerlukan waktu sekitar 1.000 tahun untuk terurai secara alami. kalaupun plastik dapat terurai, toh partikel dari plastik tersebut tetap akan mencemari air dan tanah. Apabila dibakar, plastik menghasilkan dioksin yang dapat memicu kanker, hepatitis, pembengkakan hati, gangguan sistem saraf, dan depresi. 

Di negara kita, harga plastik kresek sangat murah dan biasanya malah digratiskan. Padahal plastik terbuat dari minyak bumi yang merupakan sumber energi langka yang sangat dibutuhkan manusia. Diperkirakan penggunaan kantong plastik mencapai 500 juta-1 miliar per tahunnya. Kantong plastik sebanyak itu bila dibentangkan panjangnya bisa untuk membungkus bumi sampai sepuluh kali!

Mari kita mencontoh Taiwan. Dengan jumlah penduduk mendekati 23 juta orang dan luas 36.000 kilometer persegi, Taiwan adalah negara yang padat penduduk, tapi hanya punya sedikit sumber daya alam. Karena kepadatan penduduk yang tinggi dan tanah yang dapat digunakan terbatas, sehingga pembuangan limbah selalu menjadi perdebatan sengit di Taiwan.

Di luar negeri, isu ini bukanlah hal yang baru. Taiwan menjadi salah satu negara yang menerapkan peraturan yang memperketat swalayan memberikan tas belanja plastik secara cuma-cuma selain Filipina, Swedia, Skotlandia, Jerman, Prancis, Hong Kong, Irlandia, Finlandia, Denmark, Swiss, Tanzania, Bangladesh, Afrika Selatan, dan Singapura. Kini dengan adanya peraturan seperti itu di Taiwan, pemakaian tas belanja plastik menjadi berkurang secara drastis dan tentu saja hal ini merupakan kemajuan dalam upaya pelestarian lingkungan. 

Untuk Indonesia, saya pernah membaca sudah ada salah satu supermarket di Jakarta yang berinisiatif secara serentak di tujuh cabangnya untuk tidak lagi memberikan kantung belanja secara gratis kepada pelanggan. Di Aceh, hal seperti ini belum pernah saya temui. Apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi sampah plastik mungkin bisa dimulai dari diri sendiri.

Kurangilah penggunaan kantung plastik. Jangan malu membawa kantung plastik sendiri saat berbelanja atau gunakan tas belanja yang bisa dilipat. Kalau memang terpaksa menggunakan plastik, satukan saja barang yang kita beli ke dalam satu plastik, tanpa perlu menggunakan banyak plastik. Selain itu, simpanlah kantung plastik yang masih bisa dipakai. Ini besar dampak positifnya bagi generasi kita saat ini dan mendatang.

Tulisan ini juga di publish di Serambi Indonesia.

Tuesday, March 26, 2013

BPKS dan Bainprom Aceh jajaki peluang promosi investasi di Taiwan

BANDA ACEH - Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) dan Badan Investasi dan Promosi (Bainprom) Aceh saat ini sedang peluang promosi dan kersama investasi di Taiwan.

Hal ini disampaikan Khairul Rizal Ketua Majelis ranup Lampuan kepada Bisnis Aceh terkait dengan hasil pertemuan pihaknya yang tergabung dalam Forum Silatuhrahmi Mahasiswa Aceh di Taiwan (Ranup Lampuan), dengan pihak BPKS dan Bainprom Aceh.

Khairul Rizal menjelaskan, dalam pertemuan tersebut, pihaknya memberikan konsep dalam bentuk white paper yang merupakan kajian yang telah dilakukan didasarkan pada potensi di Taiwan, yakni cluster pendidikan, yang meliputi program relawan IT dari Taiwan untuk Aceh, cluster perikanan, yakni program akuakultur dan budidaya perikan, cluster kesehatan, yakni program sister hospital dan konsep sistem informasi serta cluster perdagangan yakni program duta investasi Aceh dengan memfasilitasi Pemerintah Aceh.

"Kami mahasiswa Aceh di Taiwan siap memberikan suport untuk peluang promosi dan potensi investasi di Aceh kepada investor disini, serta bersedia memfasilitasi pertemuan antara Pemerintah Aceh dan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia/KDEI di Taipe serta pelaku bisnis di Taiwan," katanya.

Sementara itu, ungkapnya, pihak BPKS sendiri dalam pertemuan tersebut memaparkan tentang program kerja, yang meliputi empat sektr, yakni industri dan perdagangan, pariwisata, perikanan.

"Pihak BPKS menjelaskan bahwa sebagai pengelola kawasan Sabang mereka dapat memberikan insentif kepada para pengusaha Taiwan berupa lahan siap guna, perizinan, visa on arrival, dan ekspor impor yang bebas dari pajak," tukasnya.

Untuk itu, lanjutnya, beberapa poin penting dari hasil pertemuan pihaknya dengan Bainprom dan BPKS adalah mengagendakan pertemuan segara antara pemerintah Aceh dengan para pelaku bisnis di Taiwan. "Kita juga akan meningkatan promosi potensi investasi Aceh disini," tandasnya.

Sumber : bisnisaceh.com

Tuesday, March 19, 2013

Menghargai Nyawa dengan Ambulans

OLEH Dr WIRA WINARDI, Mahasiswa Program Magister Taipei Medical University, melaporkan dari Taiwan

SIRINE ambulans meraung-raung memecah kesunyian Kota Taipei, ibu kota Taiwan. Bukan sekadar bunyi tanpa arti, melainkan sinyal bagi banyak pihak yang berkepentingan. Bagi keluarga calon pasien, raungan itu adalah secercah harapan atas perawatan segera familinya yang sedang ditimpa musibah. 

Bagi para pengendara di lintasan yang dilewati ambulans, itu artinya mereka harus dengan cepat memberikan jalan bagi ambulans untuk dapat berlalu tanpa halangan, sekalipun dalam kondisi macet.

Bagi rumah sakit terdekat, raungan itu berarti para petugas IGD harus bersiap-siap menatalaksana calon pasien. Segala tindakan diambil secepat dan seefisien mungkin guna meminimalisir kesakitan yang dialami calon pasien tersebut.

Ilustrasi di atas adalah hal yang lumrah terjadi di Taipei. Bukan karena tingkat kesakitan atau kecelakaan yang tinggi, melainkan karena sigapnya petugas medis dalam memberikan pelayanan.

Bagi pemerintah kota dengan luas lima kali lipat Banda Aceh ini, penghargaan atas kehidupan manusia adalah mutlak dan hal itu dipahami benar oleh mayoritas masyarakat. Keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat menjadikan pelayanan yang diberikan tanpa batas dan diskriminasi. Salah satunya yang paling penting adalah ambulans.

Pemerintah Kota Taipei berhasil mengintegrasikan sistem ambulans yang aksesnya dapat mencapai seluruh kota dalam hitungan menit. Sistem ini memungkinkan setiap warga mendapatkan layanan medis awal sesegera mungkin. Apalagi, setiap ambulans dibekali peralatan memadai serta paramedis yang terlatih, sehingga pemberian perawatan awal dapat dilakukan dengan cepat, tepat, cermat, dan efisien.

Menariknya, Pemerintah Taiwan bersama pihak universitas juga sukses mengintegrasikan teknologi IT dan pelayanan kesehatan khususnya ambulans. Sejak tahun 2011, pemerintah mengaplikasikan teknologi wireless censor system ke ambulans yang terdapat di Taiwan. Ini adalah sistem sensor tanda vital tubuh yang mencakup tekanan darah, denyut jantung, kadar oksigen darah, kondisi luka/cedera, bahkan catatan elektrokardiografi (EKG) pasien. 

Alat yang ditanamkan pada ambulans ini terhubung ke server komputer rumah sakit yang dituju menggunakan teknologi internet guna mengirimkan data tanda-tanda vital yang diperlukan. Para dokter di rumah sakit tujuan dapat memantau kondisi calon pasiennya secara real time. Hal ini memungkinkan dokter segera mempersiapkan segala sesuatu yang penting bagi perawatan awal sang calon pasien jauh sebelum ia sampai ke IGD rumah sakit yang dituju. 

Prinsip penatalaksanaan yang cepat, tepat, dan cermat membuat kasus kecacatan akibat kecelakaan dan penyakit dapat diminimalisir di kota-kota di Taiwan. Secara teoretis dan kajian klinis, banyak kasus penyakit yang memerlukan perawatan segera dalam masa periode emas (golden period) guna menyelamatkan nyawa maupun mencegah kecacatan. Periode emas adalah rentang waktu yang jika pengobatan dilakukan dalam waktu tersebut, maka penyembuhan yang optimal masih memungkinkan untuk dicapai serta mengurangi risiko cacat bahkan kematian. Sebutlah penyakit stroke dan serangan jantung. Dua penyakit yang disebut-sebut sebagai pembunuh utama ini butuh penatalaksana-an yang harus diberikan dalam hitungan jam bahkan menit. Semakin terlambat penatalaksanaannya maka risikonya juga kian besar.

Dengan minimalnya angka kecacatan itu berarti produktivitas masyarakat dapat dipertahankan dan biaya perawatan lebih lanjut dapat dihindari. Yang lebih penting lagi, pemerintah telah dengan sungguh-sungguh menjalankan prinsip memanusiakan manusia. 

Memang, jika ditilik dari kacamata negara dalam memandang persoalan, seolah ambulans tampak seperti persoalan yang sepele atau sederhana. Isunya jauh tertimbun di bawah persoalan lain yang dianggap lebih penting. Namun, satu nyawa juga adalah kehidupan, seperti bunyi ayat Quran berikut ini,”...dan barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan seluruh manusia.” (QS 5:32)

Tetapi bukankah menelantarkan satu nyawa warga juga disejajarkan dengan menelantarkan nyawa seluruh manusia? Betapa eloknya jika kita orang Aceh mengadopsi prinsip tersebut ketika memberikan pelayanan kepada publik, khususnya pelayanan kesehatan. Sebab, bukankah setiap kehidupan begitu berharga? 

Tulisan ini juga dipublish di Serambi Indonesia (online)

Tuesday, March 12, 2013

Ada Kota Mati di Taiwan

OLEH AMNA AFGANURISFA, Mahasiswa Magister Psikologi Asia University dan Asisten Dosen Psikologi pada FK Unsyiah, Taichung-Taiwan

Republic of China atau yang lebih dikenal dengan sebutan Taiwan, sebuah negara di Asia Timur yang sebelumnya berbasis di daratan Cina. Negara kecil ini luasnya hanya 2/3 Aceh. Taiwan mengalami perubahan yang cukup drastis dan fantastik setelah kejadian gempa bumi 1999 dimana mereka mampu berkembang pesat dengan  dengan keberhasilan-keberhasilan yang dimilikinya.  Negara ini mampu bersaing di tingkat international dan di akui keberadaannya terutama di bidang teknologi, dimana Taiwan mampu bersaing ketat dalam bidang industri dan teknologi.
Dari segi ilmu pendidikan negara ini mampu berdiri sejajar dengan Negara-negara lainnya, bahkan mampu meraih rating dunia dalam tingkat pendidikan. Hal ini menjadikan Taiwan sebagai salah satu negara terpandang dan banyak diminati oleh para turis dunia yang berkunjung ke tanah Formosa itu (nama lain dari Taiwan).
Unik dan menarik, di Taiwan terdapat  dua kota yang tidak berpenduduk sama sekali dikarenakan berbagai bencana sehingga kota tersebut di tinggalkan oleh penduduknya, kemudian kota tersebut di kenal dengan sebutan “kota mati (dead city).  Di wilayah tengah negara Taiwan, terdapat sebuah kota bernama Wufong (dibaca u-fong), di salah satu kota di wilayah Wufong tersebut di kenal sebagai kota mati (dead city) yang telah di tinggal oleh para penghuninya sejak tahun 1999. Semenjak tahun 1999 pasca gempa yang berkekuatan 8.9 SR warga desa meninggalkan wilayah tersebut dan migrasi ke wilayah lainnya dengan alasan keselamatan dan psikologis yang lebih baik. Uniknya, pemerintahan Taiwan tetap merawat desa mati ini dengan dibangunkannya sebuah museum, yang dikenal dengan nama Museum Gempa (earthquake’s museum).
Di kota yang berbeda, tepatnya disebelah Utara Taiwan,  juga terdapat sebuah kota mati, tepatnya di kota San Zhi yang merupakan sebuah kawasan tempat tinggal yang futuristik.  Pada awalnya di kota tersebut direncanakan sebuah proyek untuk resort  yang mewah dan megah  bagi “kaum  kaya raya”.  Menurut warga setempat mengatakan bahwa selama proses pembangunan pernah terjadi gempa dan mengakibatkan  kecelakaan yang fatal pada masa pembangunannya, sampai akhirnya pembangunan resort tersebut benar-benar dihentikan ditengah jalan.
Di kedua tempat inilah, awal mulanya saya mengetahui banyak informasi tentang asal muasal kota mati ini. Hari itu kami beserta professor belajar langsung ke lapangan tentang penanganan psikologis pasca gempa bagi warga yang dulunya berasal dari kota mati. Mereka meninggalkan rumah lengkap dengan segala perabotannya. Ketika saya dan teman-teman sekelas berkunjung kesana, kami melihat  rumah, kios dan sebuah sekolah dasar yang telah lama di tinggal oleh para warganya. Hal ini terlihat dari bangunan yang sudah di kelilingi rumput dan serat belukar lainnya. Sekilas saya takjub dan berpikir Negara ini sungguh sangat kreatif, mampu menjadikan segala sesuatunya “menghasilkan”. Pikiran saya pun tertuju pada Nanggroe Endatu saya.
Pelajaran menarik adalah mereka mampu menghidupkan kota mati ini sebagai salah satu tempat bersejarah dan banyak di kunjungi oleh wisatawan manca Negara. Jika dilihat dari tampilan bangunan yang sudah lama, sunyi, menakutkan dan terkesan angker, akan tetapi hal ini justru dijadikan tempat yang bersejarah bagi masyarakat Taiwan sebagai ladang wisata dan menghasilkan.  Ini sangat menarik, mereka mampu berpikir bagi hal-hal kecil seperti itu, kota mati pun dijadikan tempat bersejarah dan memperkenalkan sisi keunikannya dari sudut pandang lainnya dan menjadikannya sebagai bukti sejarah, juga bahan edukasi bagi siswa-siswa sekolah menengah disana.
Taiwan juga mengeksplorasi tempat-tempat lama yang tak berpenghuni lainnya seperti sebuah lapangan luas bekas rel kereta api bekas yang juga banyak diminati oleh para pengunjung, karena Taiwan mampu membungkusnya menjadi rapi sehingga mampu menarik minat para wisatawan. Saya berpikir bahwa dengan keterbatasan sumber objek wisata sejarah di Taiwan membuat pemerintah Taiwan begitu menghargai setiap apa saja yang menjadi peninggalan masa awal-awal mereka membangun Negara tersebut.
Tidak jauh  berbeda dengan Tanoh Aceh lon sayang, tanoh endatu pun memiliki warisan sejarah dan budaya yang sungguh luar biasa banyaknya. Mulai dari kerajaan-kerajaan di Aceh, kota-kota mati setelah tsunami yang telah dihidupkan kembali dan juga tempat peninggalan konflik, taman makam pahlawan dan lain-lain.
Tempat-tempat ini perlu di'permak' penampilannya  dan dipetakan kembali semua tempat tersebut agar terkesan unik dan menarik. Seandainya pemerintah daerah dengan serius lagi membangun semua aset ini akan berdampak positif  bagi  tampilan wajah Banda Aceh pasti pada kesuksesan program pemerintah di bidang pariwisata dan bisa dijadikan nilai daya tarik dan nilai jual kepada masyarakat luar untuk mengunjungi Aceh.
Termasuk menyediakan fasilitas pendukungnya maka saya rasa tidak perlu menghabiskan banyak waktu, biaya dan tenaga untuk mengajak wisatawan domestik dan mancanegara mengunjungi Aceh, bukan hanya melalui program Visit Aceh 2013 ini, akan tetapi kecantikan, keunikan wjaah tanoh rencong itu akan “mempesona” hingga belahan dunia. Tunjukkan pada dunia, bahwa Tanoh rencong itu tidak  hanya dikenal karena konflik, GAM, musibah, akan tetapi tanoh rencong ini memang indah.
Tulisan ini juga di muat di theglobejournal (online)

Promosi ke Taiwan, BPKS Galang Mahasiswa Aceh di Taipei


Banda Aceh - Forum Silaturrahmi Mahasiswa Aceh di Taiwan, Ranup Lampuan, yang terdiri dari hampir 100 orang mahasiswa aktif asal Aceh yang tersebar di sebagian besar kampus di Taiwan, khususnya Taipei.
Melalui sebuah kelompok diskusi Aceh Taiwan Relation (ACTION) mengadakan pertemuan dengan Manajemen Badan Penguasahaan Kawasan Sabang (BPKS) di Kantor Perwakilan BPKS Banda Aceh dan Kepala Bidang Promosi Badan Investasi dan Promosi (Baimprom) Aceh (24/1/2013) di Banda Aceh.
Pada pertemuan tersebut BPKS dan Bainprom Aceh membahas tentang program kerja serta menjajaki peluang untuk promosi dan investasi Aceh di Taiwan.  Empat sektor prioritas BPKS adalah sektor kepelabuhanan, industri  dan perdagangan, pariwisata dan perikanan.
“Insentif yang diberikan BPKS adalah lahan siap guna, proses perijinan dan visa on arrival yang bisa langsung  dikeluarkan oleh BPKS,” tutur Kepala BPKS Fauzi Husin, sebagaimana rilis yang diterima The Globe Journal.  
Disamping proses ekspor dan impor barang dan jasa yang bebas pajak di dalam kawasan Sabang dan Pulo Aceh juga dapat difasilitasi BPKS.
Bainprom menerangkan tentang potensi sektor komoditas dan menekankan pada sektor perikanan yang paling menjanjikan.
Sementara ACTION menawarkan empat konsep dalam bentuk white paper yang telah dilakukan kajian dengan melihat potensi di Taiwan yaitu pendidikan, dalam bentuk mengirimkan relawan IT dari Taiwan untuk Aceh.  
Kemudian program perikanan khususnya budidaya perikanan yang bisa dikembangkan diperairan Aceh. Untuk bidang  kesehatan Action menawarkan program sister hospital untuk transfer konsep sistem informasi kesehatan.
Sedangkan di sektor ekonomi khususnya perdagangan akan menjajaki program duta investasi Aceh dengan memfasilitasi pemerintah Aceh dengan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia/KDEI di Taipei serta pelaku bisnis Taiwan.
Dalam waktu dekat Ranub Lampuan akan menjajaki pertemuan antara BPKS – Bainprom dengan KDEI Taiwan.
“Kami sangat berharap agenda ini bisa berjalan di tahun ini dan pada akhirnya bisa mengundang calon investor Taiwan untuk datang ke Aceh dan melakukan investasi perdana terutama di sektor pelabuhan dan perikanan,” tutup Khairul Rijal, ketua Majelis Wali Ranup Lampuan.
Sumber :http://theglobejournal.com