OLEH NINA SHASKIA, Master Student at National Cheng Kung University, Tainan-Taiwan
ALHAMDULILLAH, terhitung Agustus lalu sudah empat bulan saya berada di Kota Tainan, Taiwan. Di sini, saya melanjutkan studi magister pada Department Hydraulic and Ocean Engineering atas pembiayaan Lembaga Peningkatan Sumber Daya Manusia (LPSDM) Aceh.
Dalam empat bulan ini, sudah dua kali saya survei lapangan ke dua sungai di Taiwan. Yang pertama Sungai Kaoping di daerah selatan Taiwan dan yang kedua Sungai Chijiawan di daerah tengah Taiwan.
Survei lapangan dilakukan untuk mengetahui perubahan geomorfologi sungai akibat proses alamiah yang terjadi di sungai.
Satu hal yang menarik adalah Sungai Chijiawan, tempat terletaknya dam nomor 1 di Taiwan. Dam ini dihancurkan sepertiga bangunannya sejak medio 2011 dan masih dalam proses monitoring hingga sekarang. Monitoring yang dilakukan mencakup pengambilan foto udara (aerial photo) dan pengukuran langsung di lokasi.
Sengaja hanya sepertiga bagian dam itu yang dihancurkan, karena letaknya yang sangat dengat dengan badan jalan, sehingga dikhawatrirkan apabila dihancurkan seluruhnya justru akan berbahaya.
Tujuan dibongkarnya dam ini adalah untuk pelestarian ikan salmon (salam) dan karena alasan keamanan. Hal seperti ini di Indonesia, khususnya di Aceh, masih langka, sehingga jadi bahan pembelajaran yang menarik bagi saya. Beruntungnya saya memiliki kesempatan untuk ikut ambil bagian dalam proses pemantauan langsung lokasi setelah dam tersebut tidak lagi difungsikan sebagai dam.
Survei lapangan ke Sungai Chijiawan ini berlangsung selama tiga hari. Kami berangkat dari Tainan pukul 06.30 pagi dan tiba di lokasi sekitar pukul 14.00. Perjalanan yang memakan waktu cukup lama ini terbayar dengan pemandangan indah di sepanjang perjalanan. Tempat-tempat wisata menarik di Taiwan seperti Hehuanshan, Taroko National Park, Qingjing Farm, dan sebagainya terletak di sepanjang perjalanan ini. Lokasi survei sendiri juga termasuk kawasan wisata Shei-pa National Park di mana terletak pusat pelestarian salmon di Taiwan.
Yang sangat mengejutkan saya dari survei ini adalah kami, para anggota tim, dipayungi asuransi untuk melakukan survei yang hanya berlangsung tiga hari. Selain itu, pada saat survei, kami dibekali walkie-talkie dan baju antiair. Saya lihat bahwa masyarakat Taiwan benar-benar mengutamakan keselamatan. Meski perolehan data sangat penting, tapi kami tidak dibenarkan melakukan pengukuran jika lokasinya berbahaya atau tidak memungkinkan untuk mengukur.
Semua perlengkapan dan akomodasi pun disediakan dengan baik. Hal lain yang saya syukuri adalah meskipun mayoritas warga Taiwan merupakan ateis (tidak bertuhan), tetapi mereka sangat menghargai saya sebagai muslim. Sebagai satu-satunya muslim dalam tim survei ini, saya mendapatkan pengecualian untuk menunaikan shalat di tengah-tengah kegiatan survei. Tidak jarang juga mereka mengingatkan waktu shalat saya. Begitu pula untuk masalah makanan, meskipun mereka tidak menghindari memakan babi di depan saya, tapi mereka membantu saya untuk memilih makanan agar tidak membeli makanan yang mengandung babi (pork).
Meski demikian, karena jumlah makanan halal yang amat terbatas dan sulit didapat, saya membawa mi instan halal untuk makanan saya sehari-hari selama survei.
Hal yang paling penting yang saya sadari di sini adalah konsistensi masyarakat Taiwan terhadap waktu. Semua kegiatan terlaksana sesuai jadwal, tanpa ada keterlambatan, bahkan dilaksanakan lebih cepat dari rencana. Sebagai contoh, survei dijadwalkan mulai setiap pukul 8 pagi, tetapi pukul 07.30 kami sudah bergerak ke titik-titik pengamatan. Mereka yang tidak terbiasa bangun pagi seperti kita (untuk shalat Subuh), justru bisa menjadi sangat konsisten terhadap waktu.
Selama survei, tidak ada istirahat ataupun waktu untuk bersantai-santai sebelum waktu istirahat. Waktu digunakan dengan sangat efektif. Alhasil, pencapaiannya pun maksimal, semua target terlaksana sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan. Saya sangat berharap, sebagai masyarakat Aceh kita dapat mencontoh mereka dalam hal ini.
Tulisan ini juga dipublis di Serambi Indonesia (online)
ALHAMDULILLAH, terhitung Agustus lalu sudah empat bulan saya berada di Kota Tainan, Taiwan. Di sini, saya melanjutkan studi magister pada Department Hydraulic and Ocean Engineering atas pembiayaan Lembaga Peningkatan Sumber Daya Manusia (LPSDM) Aceh.
Dalam empat bulan ini, sudah dua kali saya survei lapangan ke dua sungai di Taiwan. Yang pertama Sungai Kaoping di daerah selatan Taiwan dan yang kedua Sungai Chijiawan di daerah tengah Taiwan.
Survei lapangan dilakukan untuk mengetahui perubahan geomorfologi sungai akibat proses alamiah yang terjadi di sungai.
Satu hal yang menarik adalah Sungai Chijiawan, tempat terletaknya dam nomor 1 di Taiwan. Dam ini dihancurkan sepertiga bangunannya sejak medio 2011 dan masih dalam proses monitoring hingga sekarang. Monitoring yang dilakukan mencakup pengambilan foto udara (aerial photo) dan pengukuran langsung di lokasi.
Sengaja hanya sepertiga bagian dam itu yang dihancurkan, karena letaknya yang sangat dengat dengan badan jalan, sehingga dikhawatrirkan apabila dihancurkan seluruhnya justru akan berbahaya.
Tujuan dibongkarnya dam ini adalah untuk pelestarian ikan salmon (salam) dan karena alasan keamanan. Hal seperti ini di Indonesia, khususnya di Aceh, masih langka, sehingga jadi bahan pembelajaran yang menarik bagi saya. Beruntungnya saya memiliki kesempatan untuk ikut ambil bagian dalam proses pemantauan langsung lokasi setelah dam tersebut tidak lagi difungsikan sebagai dam.
Survei lapangan ke Sungai Chijiawan ini berlangsung selama tiga hari. Kami berangkat dari Tainan pukul 06.30 pagi dan tiba di lokasi sekitar pukul 14.00. Perjalanan yang memakan waktu cukup lama ini terbayar dengan pemandangan indah di sepanjang perjalanan. Tempat-tempat wisata menarik di Taiwan seperti Hehuanshan, Taroko National Park, Qingjing Farm, dan sebagainya terletak di sepanjang perjalanan ini. Lokasi survei sendiri juga termasuk kawasan wisata Shei-pa National Park di mana terletak pusat pelestarian salmon di Taiwan.
Yang sangat mengejutkan saya dari survei ini adalah kami, para anggota tim, dipayungi asuransi untuk melakukan survei yang hanya berlangsung tiga hari. Selain itu, pada saat survei, kami dibekali walkie-talkie dan baju antiair. Saya lihat bahwa masyarakat Taiwan benar-benar mengutamakan keselamatan. Meski perolehan data sangat penting, tapi kami tidak dibenarkan melakukan pengukuran jika lokasinya berbahaya atau tidak memungkinkan untuk mengukur.
Semua perlengkapan dan akomodasi pun disediakan dengan baik. Hal lain yang saya syukuri adalah meskipun mayoritas warga Taiwan merupakan ateis (tidak bertuhan), tetapi mereka sangat menghargai saya sebagai muslim. Sebagai satu-satunya muslim dalam tim survei ini, saya mendapatkan pengecualian untuk menunaikan shalat di tengah-tengah kegiatan survei. Tidak jarang juga mereka mengingatkan waktu shalat saya. Begitu pula untuk masalah makanan, meskipun mereka tidak menghindari memakan babi di depan saya, tapi mereka membantu saya untuk memilih makanan agar tidak membeli makanan yang mengandung babi (pork).
Meski demikian, karena jumlah makanan halal yang amat terbatas dan sulit didapat, saya membawa mi instan halal untuk makanan saya sehari-hari selama survei.
Hal yang paling penting yang saya sadari di sini adalah konsistensi masyarakat Taiwan terhadap waktu. Semua kegiatan terlaksana sesuai jadwal, tanpa ada keterlambatan, bahkan dilaksanakan lebih cepat dari rencana. Sebagai contoh, survei dijadwalkan mulai setiap pukul 8 pagi, tetapi pukul 07.30 kami sudah bergerak ke titik-titik pengamatan. Mereka yang tidak terbiasa bangun pagi seperti kita (untuk shalat Subuh), justru bisa menjadi sangat konsisten terhadap waktu.
Selama survei, tidak ada istirahat ataupun waktu untuk bersantai-santai sebelum waktu istirahat. Waktu digunakan dengan sangat efektif. Alhasil, pencapaiannya pun maksimal, semua target terlaksana sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan. Saya sangat berharap, sebagai masyarakat Aceh kita dapat mencontoh mereka dalam hal ini.
Tulisan ini juga dipublis di Serambi Indonesia (online)