Ranup Lampuan

Aceh student Association in Taiwan

Likok Pulo

Memperknalkan marwah bangsa dan budaya adalah kewajiban bagi kami, walau jauh dari negeri "Indatu"

Halal Bihalal Idul Adha 2012

Kebersamaan di hari yanng mulia adalah kebahagian yang tak terkira hidup di negeri orang

Edventure

Merasakan apa yang belum pernah ada di negeri sendiri adalah cita-cita dari setiap individu

Taipei 101

"If you can dream it, you can do it" Bermimpilah setinggi-tingginya.

Sunday, December 30, 2012

Menjaga Shalat di Tengah Kaum Ateis

OLEH NINA SHASKIA, Master Student at National Cheng Kung University, Tainan-Taiwan

ALHAMDULILLAH, terhitung Agustus lalu sudah empat bulan saya berada di Kota Tainan, Taiwan. Di sini, saya melanjutkan studi magister pada Department Hydraulic and Ocean Engineering atas pembiayaan Lembaga Peningkatan Sumber Daya Manusia (LPSDM) Aceh.

Dalam empat bulan ini, sudah dua kali saya survei lapangan ke dua sungai di Taiwan. Yang pertama Sungai Kaoping di daerah selatan Taiwan dan yang kedua Sungai Chijiawan di daerah tengah Taiwan.

Survei lapangan dilakukan untuk mengetahui perubahan geomorfologi sungai akibat proses alamiah yang terjadi di sungai.

Satu hal yang menarik adalah Sungai Chijiawan, tempat terletaknya dam nomor 1 di Taiwan. Dam ini dihancurkan sepertiga bangunannya sejak medio 2011 dan masih dalam proses monitoring hingga sekarang. Monitoring yang dilakukan mencakup pengambilan foto udara (aerial photo) dan pengukuran langsung di lokasi. 

Sengaja hanya sepertiga bagian dam itu yang dihancurkan, karena letaknya yang sangat dengat dengan badan jalan, sehingga dikhawatrirkan apabila dihancurkan seluruhnya justru akan berbahaya.

Tujuan dibongkarnya dam ini adalah untuk pelestarian ikan salmon (salam) dan karena alasan keamanan. Hal seperti ini di Indonesia, khususnya di Aceh, masih langka, sehingga jadi bahan pembelajaran yang menarik bagi saya. Beruntungnya saya memiliki kesempatan untuk ikut ambil bagian dalam proses pemantauan langsung lokasi setelah dam tersebut tidak lagi difungsikan sebagai dam.

Survei lapangan ke Sungai Chijiawan ini berlangsung selama tiga hari. Kami berangkat dari Tainan pukul 06.30 pagi dan tiba di lokasi sekitar pukul 14.00. Perjalanan yang memakan waktu cukup lama ini terbayar dengan pemandangan indah di sepanjang perjalanan. Tempat-tempat wisata menarik di Taiwan seperti Hehuanshan, Taroko National Park, Qingjing Farm, dan sebagainya terletak di sepanjang perjalanan ini. Lokasi survei sendiri juga termasuk kawasan wisata Shei-pa National Park di mana terletak pusat pelestarian salmon di Taiwan.

Yang sangat mengejutkan saya dari survei ini adalah kami, para anggota tim, dipayungi asuransi untuk melakukan survei yang hanya berlangsung tiga hari. Selain itu, pada saat survei, kami dibekali walkie-talkie dan baju antiair. Saya lihat bahwa masyarakat Taiwan benar-benar mengutamakan keselamatan. Meski perolehan data sangat penting, tapi kami tidak dibenarkan melakukan pengukuran jika lokasinya berbahaya atau tidak memungkinkan untuk mengukur. 

Semua perlengkapan dan akomodasi pun disediakan dengan baik. Hal lain yang saya syukuri adalah meskipun mayoritas warga Taiwan merupakan ateis (tidak bertuhan), tetapi mereka sangat menghargai saya sebagai muslim. Sebagai satu-satunya muslim dalam tim survei ini, saya mendapatkan pengecualian untuk menunaikan shalat di tengah-tengah kegiatan survei. Tidak jarang juga mereka mengingatkan waktu shalat saya. Begitu pula untuk masalah makanan, meskipun mereka tidak menghindari memakan babi di depan saya, tapi mereka membantu saya untuk memilih makanan agar tidak membeli makanan yang mengandung babi (pork). 

Meski demikian, karena jumlah makanan halal yang amat terbatas dan sulit didapat, saya membawa mi instan halal untuk makanan saya sehari-hari selama survei.

Hal yang paling penting yang saya sadari di sini adalah konsistensi masyarakat Taiwan terhadap waktu. Semua kegiatan terlaksana sesuai jadwal, tanpa ada keterlambatan, bahkan dilaksanakan lebih cepat dari rencana. Sebagai contoh, survei dijadwalkan mulai setiap pukul 8 pagi, tetapi pukul 07.30 kami sudah bergerak ke titik-titik pengamatan. Mereka yang tidak terbiasa bangun pagi seperti kita (untuk shalat Subuh), justru bisa menjadi sangat konsisten terhadap waktu. 

Selama survei, tidak ada istirahat ataupun waktu untuk bersantai-santai sebelum waktu istirahat. Waktu digunakan dengan sangat efektif. Alhasil, pencapaiannya pun maksimal, semua target terlaksana sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan. Saya sangat berharap, sebagai masyarakat Aceh kita dapat mencontoh mereka dalam hal ini.

Tulisan ini juga dipublis di Serambi Indonesia (online)

Tuesday, December 25, 2012

Memoriam Tsunami di SMA Kaoshiung

OLEH AMNA AFGANURISFA, Mahasiswi Magister Psikologi di Asia University dan Asisten Dosen Psikologi pada FK Unsyiah, melaporkan dari Taiwan

DESEMBER, mengingatkan saya pada peristiwa besar yang menimpa Aceh dan khususnya keluarga saya, keluarga Anda, dan keluarga kita semua. Gempa bumi dan tsunami berskala qurani! 

Kenangan pahit itu kini telah memasuki tahun kedelapan. Mungkin bagi sebagian orang peristiwa itu diperingati dengan penuh khidmat hari ini, 26 Desember 2012. Termasuk dengan menziarahi kuburan massal yang memang banyak terdapat di Aceh. 

Tapi semua itu berbeda dengan apa yang saya alami di Taiwan saat ini. Saya baru saja mengenang kembali tragedi itu bersama para siswa, guru, dan staf sekolah di salah satu SMA di Kaoshiung, Taiwan. 

Hari itu, 19 Desember 2012, saya pilih tema tentang bencana alam untuk dipresentasikan di depan murid, guru, dan staf SMA Kaoshiung.

Di aula SMA itu saya dipercaya menceritakan berbagai kisah suka dan duka selama musim dingin di Negeri Formosa itu. Setelah 20 menit bercerita tentang Taiwan, saya pun berkisah tentang apa yang ditugaskan kepada saya, yakni sisi negatif dan positif negara masing-masing. Nah, dari sisi positif inilah semuanya berawal.

Saya putar video yang saya ambil dari sebuah situs internet berjudul “The Aceh Story: The Hope of Love and Forgiveness” yang berdurasi 20 menit. Ketika video hendak ditayangkan, lampu di aula itu diredupkan agar tayangan lebih jelas. Di sela-sela pemutaran video, saya terus menceritakan tentang letak dan kondisi daerah yang ada di video tersebut, yakni Aceh tanoh lon sayang. 

Tak lupa pula saya ceritakan tentang keluarga inti, teman, dan beberapa orang kenalan saya yang meninggal saat tsunami melanda Aceh, sewindu lalu. Suasana menjadi hening. 

Begitu video selesai diputar dan lampu aula kembali dinyalakan, saya kaget luar biasa. Ternyata para penonton yang memadati hampir seisi ruangan berkaca-kaca matanya. Wajah mereka sendu. 

Di tengah rasa haru dan ketakjuban saya, tiba-tiba seorang ibu guru menghampiri dan memeluk saya. Ia berkata lirih yang artinya kurang lebih, “Saya bangga kepada orang-orang Aceh. Saya bangga mereka mampu bertahan dan sangat kuat. Jika itu diberikan kepada kami (masyarakat Taiwan) mungkin kami tidak akan mampu melewatinya.” 

Suasana pun makin hening. Saya menjadi sangat terharu, karena meskipun mereka tidak pernah merasakan bagaimana dan apa itu tsunami, namun empati dan simpati mereka yang terdalam sudah mereka perlihatkan terhadap masyarakat Aceh, melalui saya. Sangat luar biasa. 

Di aula SMA tersebut doa yang tulus juga mereka panjatkan kepada masyarakat Aceh yang mereka sendiri tidak mengenalnya.

Taiwan memang tidak pernah mengalami tsunami, namun Taiwan pernah mengalami gempa bumi yang juga hampir meluluh-lantakkan negeri ini pada tahun 1999. Menurut siswa dan guru-guru SMA tersebut, peristiwa itu saja sudah sangat mengerikan bagi mereka, konon lagi bencana tsunami mahadahsyat yang melanda Aceh. 

Tapi Taiwan kini telah kembali bersinar dan mampu bersaing di dunia internasional dan harapan yang sama mereka haturkan kepada saya agar Aceh pun mampu bersaing dan kondisinya kembali pulih, jauh lebih baik dari keadaan sebelumnya. Apalagi setelah tsunami Aceh meraih hikmah besar, yakni perdamaian antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka.

Tentunya harapan mereka akan menjadi harapan saya dan kita semua, semoga Acehku akan menjadi tanoh rincong yang megah di Nusantara dan dunia. Saya yakin, Aceh pasti bisa.

Tulisan ini juga dimuat di Serambi Indonesia (online)

Thursday, December 20, 2012

Kenapa Harus ke Luar Negeri?


OLEH AMNA AFGANURISFA, Mahasiswa Magister Psikologi Asia University, Taichung-Taiwan 
Uthlubul Ilma Walau Bishin.” (Carilah Ilmu Sampai Ke Negeri Cina). Bagi orang muslim, kata-kata ini tidaklah janggal dan asing. Inilah bunyi sebuah hadist dari  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan dengan negeri tersebut,  karena negeri China adalah negeri yang sangat jauh sekali dari negeri Arab.
Hal ini merupakan seruan dan anjuran agar kita mempunyai keinginan belajar dan mencari pengetahuan walaupun tempatnya jauh dan asing bagi kita. Belajar di luar negeri adalah usaha untuk meraih masa depan yang lebih baik. Kita menyadari bahwa masa depan seseorang akan sangat dipengaruhi oleh pendidikannya. Dengan belajar di manca negara ini kita akan mendapatkan pengalaman dan wawasan global, wawasan yang lebih luas.
Kenapa harus keluar negeri? Bukankah Negara kita (Indonesia) memiliki universitas-universitas andalannya? Kalau di negara sendiri kita memiliki berpuluh-puluh universitas kebanggaan? kenapa mesti jauh-jauh keluar negeri?
Yah..ini lah kalimat yang selalu menggelitik pemikiran kita, kenapa kuliah dan tinggal di luar negeri menjadikannya sebagai “ajang bergensi bagi mereka yang sedang dan sudah pernah tinggal di luar negeri.
Sejumlah pertanyaan lainnya adalah :”bukankah kita harus mencintai dan melestarikan budaya dan sikap nasionalisme kita? Kalau semua putra bangsa pindah untuk kerja, tinggal dan liburan ke luar negri (Indonesia) bukankah itu menambahkan vis negara yang mereka tuju? lalu dimana letak nasionalisme putra-putra Indonesia yang selalu di agungkan mereka?
Inilah sederetan pertanyaan yang selalu menggelitik sebagian pemikiran mereka-meraka yang memikirkan kenapa banyak pelajar Indonesia berbondong-bondong keluar negeri hanya untuk bekerja, belajar dan liburan.
Indonesia merupakan negara kelima terbesar di dunia dikarenakan daerahnya yang luas, juga memiliki keindahan dan kaya akan budaya. Akan tetapi, jika dibandingkan dari segi kuantitas Indonesia memiliki angka yang lumayan mengiris hati para putra-putrinya. Laporan dari sebuah situs dunia (berdasarkan QS World University Ranking dan OECD), universitas-universitas di Indonesia tidak ada yang masuk rangking 200 universitas dunia, selain itu dikatakan juga bahwa kualitas pendidikan tinggi di Indonesia masih tertinggal.
Sebagai putri Indonesia setelah menempuh pendidikan 1.5 Tahun di Taiwan, jika saya harus membandingkan ketika saya menempuh ilmu psikologi di sebuah universitas ternama di Indonesia, harus saya akui secara objektif bahwa kualitas pendidikan tinggi di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan apa  yang sedang saya jalani sekarang di Negara Taiwan ini.
Bagi saya pribadi, setelah lebih kurang 1,5 tahun di Taiwan, banyak pengalaman, serta bertambahnya wawasan saya. Hal ini telah memperkaya akan wawasan saya baik tentang dunia, pendidikan dan juga termasuk tentang negara Taiwan. Adapun beberapa alasan yang bisa saya rangkaikan di antaranya:
1. Untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Beberapa aspek di mana universitas di Indonesia masih tertinggal, menurut saya adalah ketersediaan infrastruktur pendidikan, kualifikasi dosen, keterhubungan universitas dengan industri, alat-alat penunjang sarana dan prasarana sekolah yang sangat lengkap.
Belum lagi profesionalisme dosen dan mahasiwa, menjadikan cerita tersendiri bagi saya, yang membuat saya kagum dan takjub akan sifatnya yang sangat bersahaja, bersahabat, dan juga jadi motivator bagi saya pribadi dan teman-teman kuliah lainnya ketika kami hampir menyerah dengan dunia master ala luar negri ini.
2. Untuk memperoleh pengalaman hidup di luar negeri.  Inilah salah satu hal yang sangat saya suka, pengalaman hidup di negeri orang. Suka, duka dan canda-tawa  kuliah selama di luar negeri, ini akan menjadikan pengalaman yang sangat berharga bagi saya. Dan sisi pengalaman berharga lainnya, yaitu pertama, memiliki teman-teman sekelas berasal dari berbagai mancanegara. Hal ini sangat jarang ditemui di universitas di Indonesia di mana proporsi mahasiswa internasional sangat rendah.
Kedua, culture, berinteraksi dan mengalami langsung hidup dengan budaya yang berbeda, tinggal di negara yang berbeda dengan Indonesia dan berinteraksi dengan orang-orang dengan latar belakang berbeda. Dunia ini sangat luas, ada lebih dari 200 negara. Betapa sempitnya pengalaman dan wawasan kita kalau seumur hidup kita hanya tinggal di Indonesia dan bergaul dengan orang Indonesia.
3. Belajar bertahan dan Bertuhan. Poin ini terdengar klise, namun inilah yang saya dapatkan. Ketika saya memilih Republik Cina ini sebagai tempat tujuan saya kuliah, saya jauh dari keluarga yang berada di ujung Sumatera (Aceh). Saat masalah menghampiri dan kangen akan keluarga, di saat inilah saya belajar bagaimana saya bertahan demi kelangsungan pendidikan saya.
Cina juga dikenal dengan negara tak bertuhan dalam artian kebanyakan masyarakat Cina adalah atheis, tidak percaya akan adanya Tuhan, minoritas muslim dan dikelilingi oleh orang-orang internasional lainnya yang memiliki keyakinan berbeda dengan saya.
Dengan kondisi seperti ini, ALLAH SWT, menguji kita semua, apapun kondisinya agar senantiasa kita tetap berada dan selalu ingat kepadaNYA, pemilik semuanya, termasuk apa yang saya miliki hari ini. Ini semua hanya pinjamanNya, bersyukur, bertahan hidup dan tidak pernah melupakan-NYa.
Belajar, bekerja, liburan serta mencari pengalaman di luar negeri bukanlah sebuah ajang gengsi dan pamer, tapi melainkan lebih kepada mencari nikmat Allah yang tersebar di muka bumi. Carilah dan lihatlah betapa pelukis agung itu telah melukis dengan sempurna di setiap belahan dan sudut bumi-Nya.
Saya merasa semua orang, termasuk orang Indonesia, berhak mendapat pendidikan terbaik. Miskin dan kaya semua berhak atas ilmu Allah. Orang miskin tidak boleh kuliah itu hanya perkataan orang pesimistis. Semua orang bisa kuliah asal mau berjuang mendapatkan haknya.
Catatan ini juga dipublish di atjehpost(online)

Monday, December 17, 2012

Kisah Kakak Guru dari Aceh

OLEH AMNA AFGANURISFA, Mahasiswa Magister Psikologi Asia University dan Asisten Dosen Psikologi pada FK Unsyiah, melaporkan dari Taiwan 

JIEJIE Laoshi Achie (Baca: Jiji lau-shee aji), itulah panggilan sejumlah siswa kepada saya saat tampil sebagai wakil Indonesia dalam acara pertukaran budaya di SMA Wen-Zhuyin Kaoshiung, Taiwan. Sapaan pendek itu bermakna “Kakak guru dari Aceh”.

Pagi itu, Sabtu lalu, suhu Kota Taichung dingin sekali, 15 derajat Celcius, menusuk tulang. Juga dipenuhi kabut. Saat itulah saya dan teman-teman melakukan perjalanan jauh ke sebuah kota bernama Kaoshiung di bagian selatan Taiwan. 

Cuaca dingin tidak membuat semangat kami ikut “dingin” dalam menunaikan tugas sebagai tim delegasi dari Kampus Asia University Taiwan untuk program bernama exchange culture (pertukaran budaya). Setelah proses seleksi dan wawancara di Kampus Asia University, tempat saya melanjutkan studi S2 Jurusan Psikologi, terpilihlah lima mahasiswa dari lima negara sebagai anggota delegasi, yakni Indonesia, Vietnam, Mongolia, Slovakia, dan Filipina. Kami dikirim sebagai perwakilan dari international college untuk berangkat ke Kaoshiung dalam acara pertukaran kebudayaan. 

Kaoshiung adalah kota kedua terbesar di Taiwan. Suasana Kaoshiung berbanding jauh dengan kota lainnya di Taiwan. Kota Kaoshiung masih belum terasa dingin pada awal hingga medio Desember ini dibandingkan Taichung, Hsincu, Taipei, dan kota-kota lainnya di Taiwan.  

Kaoshing masih tergolong hangat dan mentari bersinar cerah di sini. Ini membuat kami dengan penuh yakin menanggalkan jaket kebesaran kami, jaket antidingin.

Saat itu 8 Desember 2012 menjadi tanggal yang tak akan pernah saya lupakan. Pada tanggal itulah saya dan rombongan dari Kampus Asia University Taiwan yang terdiri atas staf international college, mahasiswa internasional yang terpilih dari lima negara, yaitu Vietnam, Mongolia, Slovakia, Filipina, dan Indonesia melakukan misi pertukaran budaya ke sebuah sekolah menengah atas ternama di bagian selatan Taiwan. 

Saya ditunjuk sebagai perwakilan dari Indonesia untuk memperkenalkan budaya Indonesia kepada siswa-siswi di sekolah ini. Di sini pula saya disapa dengan panggil “Kakak guru dari Aceh”. Saya pikir-pikir klop memang, karena sambil memperkenalkan kebudayaan Indonesia yang majemuk, budaya “Tanah Rencong” pun banyak saya perkenalkan kepada mereka dan justru poin inilah andalan saya. 

Tuslisan ini juga dipublish di Serambi Indonesia (Online)

Friday, December 14, 2012

Budaya Jalan Kaki di Taipei

OLEH ARMIA NASRI, Penerima Beasiswa Pemerintah Aceh, sedang kuliah S2 National Taipei University, melaporkan dari Taiwan 

TEMPAT saya kuliah sekarang, Taipei, merupakan ibu kota Taiwan (the Republic of China), sebuah negara di Asia Timur yang sebelumnya berbasis di daratan Cina. Taipei adalah ibu kota dan pusat ekonomi maupun budaya Taiwan sekaligus kota yang penduduknya terpadat di Taiwan, mencapai 2.618.772 jiwa.

Banyak kebiasaan bagus yang bisa dicerap dari warga Taipei. Pertama, kebiasaan berjalan kaki. Mulai pukul 7 sampai 8 pagi kesibukan dan kepadatan kota ini mulai terasa. Pelajar dan pekerja mulai memadati jalan-jalan kota dengan berjalan kaki ke tujuan masing-masing. 

Di kota ini tersedia bus untuk tujuan jauh maupun dekat. Mereka juga menggunakan mass rapid transit atau metro rail transit (MRT) kereta listrik cepat sebagai moda angkutan massal ke seluruh kawasan Taipei.

Meski mempunyai moda transportasi yang bagus dan efektif, tapi kebiasaan berjalan kaki merupakan bagian dari kebiasaan sehari-hari warga Taipei. Jarak antara satu stasiun ke stasiun lainnya lumayan jauh. Maka ketika tiba di stasiun tujuan, mereka lanjutkan dengan berjalan kaki, baik itu ke kantor, ke sekolah, ke kampus, maupun ke tempat tinggal masing-masing. 

Kebiasaan yang sangat menyehatkan ini menjadi daya tarik tersendiri, karena para pejalan kaki sangat tertib. Pengemudi kendaraan pun sangat mematuhi peraturan lalu lintas. Mereka spontan berhenti ketika lampu merah dan lampu untuk pejalan kaki menyala. Malah banyak yang sudah berusia lanjut masih kuat berjalan cepat. Ini karena sudah dibiasakan sejak muda.

Satu lagi kebiasaan warga Taipei dan penduduk Taiwan pada umumnya, yakni selalu bersedia menolong orang lain secara maksimal. Hal ini mengingatkan saya pada kebiasaan orang kita di Aceh yang selalu ramah dan siap menolong sesamanya. 

Banyak pengalaman teman-teman saya sesama mahasiswa dari Indonesia di Taiwan yang amat terkesan dengan kebiasaan masyarakat Taipei. Kalau menolong orang lain, warga Taiwan benar-benar total. Contohnya, ketika saya tanyakan alamat sebuah tempat di Kota Taipei. Orang tersebut langsung mengantarkan saya sampai ke tujuan yang jaraknya 100 meter. Padahal, dia tergesa-gesa untuk pergi kerja. 

Pengalaman lain adalah ketika saya tanyakan tempat pemberhentian bus kepada seseorang. Kebetulan dia tidak tahu juga di mana tempatnya. Tapi seketika itu juga dia telepon beberapa temannya untuk mencari tahu. Akhirnya saya dapatkan juga jawabannya.

Di antara hal-hal positif yang dilakukan orang-orang di Taiwan ini, mungkin kita bisa kembali menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, membudayakan jalan kaki, sehingga mengurangi tingkat kesemrawutan parkir seperti yang acap terlihat di Kota Banda Aceh. Dengan membangun pusat parkir di satu tempat untuk satu kawasan kecil (blok) dan menatanya dengan baik, mungkin bisa meminimalisir penggunaan pinggir jalan yang sekarang dijadikan tempat parkir. 

Ternyata biaya parkir untuk kendaraan pribadi di Taipei sangatlah mahal. Untuk satu jam pertama sampai 10.000 rupiah bahkan lebih. Kebanyakan dari mereka mempunyai kendaraan pribadi, tapi mereka lebih memilih menggunakan transportasi umum. Kendaraan pribadinya hanya dipakai pada hari libur saja untuk ke luar kota. Mereka berpendapat, apa pun yang dilakukan itu juga akan mendatangkan manfaat kepada diri sendiri dan juga kepada orang di sekitar kita. Kita juga sangat bisa melakukan hal yang sama dan tak ada kata-kata terlambat untuk memulainya. Apalagi saat sekarang ini, menjelang masuk Visit Aceh Year 2013. Semoga semua turis yang datang ke Aceh bisa mendapatkan kesan yang baik, karena kita muliakan mereka sebagai tamu istimewa.

Tulisan ini juga dimuat di Serambi Indonesia(online).

Tuesday, December 11, 2012

Meriahnya Indonesian Cultural Day 2012

OLEH IRDA YUNITA, Penerima Beasiswa Lembaga Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (LPSDM) Aceh 2012 Program Taiwan, melaporkan dari Taiwan.

SABTU lalu merupakan hari yang tak akan saya lupakan, begitu pula rekan-rekan mahasiswa Indonesia lainnya di Tainan, Taiwan. Hari itu hari berlangsungnya Indonesian Cultural Day (ICD) 2012 yang digelar oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Tainan. 

Acara ini diadakan di Hall National Cheng Kung University (NCKU), kampus tempat saya kuliah pada Program Magister Civil Engineering Department National Cheng Kung University (NCKU) Kota Tainan.

Kegiatan tahunan ini diikuti mahasiswa dari berbagai provinsi di Indonesia yang sedang kuliah di Tainan. ICD yang berlangsung malam hari dimulai pukul 07.00 pm waktu Taiwan, menampilkan berbagai macam kebudayaan Indonesia, mulai dari tarian, musik tradisional, paduan suara, bahkan drama. Acara dibuka dengan lantunan Lagu Indonesia Raya oleh Tim Paduan Suara PPI Tainan. Kemudian ditampilkan video tentang keindahan alam Indonesia. Panorama wisata bawah laut, gunung-gunung yang menjulang indah, masyarakat Indonesia yang beraneka ragam suku dan budayanya, memukau mata para penonton.

Kemudian, seorang mahasiswa Indonesia memainkan drama berperan sebagai mahasiswa internasional di Taiwan yang bergabung dalam tim eksperimen tentang mesin waktu. Namun ternyata mesin waktu tersebut membawanya terdampar ke berbagai daerah di Indonesia.

Di awal perjalanan, sang mahasiswa terdampar di Pulau Samosir. Kemudian penonton disuguhi video tentang asal-muasal terjadinya Samosir. Lalu, sejumlah mahasiswa menarikan tor-tor yang mampu memukau para penonton, mulai dari mahasiswa hingga profesor.

Dalam drama tersebut sang mahasiswa terdampar berkali-kali oleh mesin waktu. Setiap terdampar di sebuah tempat di Indonesia, dia disuguhi tarian tradisional khas daerah tempat ia terdampar. Lalu berturut-turut diperagakan tari giring-giring dari Kalimantan, janger dan kecak dari Bali, sajojo, dan tari kipas. Ditampilkan pula drama Roro Jongrang dan tari gambyong yang memuaskan rasa penasaran para penonton tentang keanekaragaman budaya Indonesia. 

Di antara tarian diselingi dengan penampilan tim angklung yang tak kalah menariknya. Mereka membawakan tiga lagu yang dihadiahi big applause dari para penonton.

Pemberian doorprize oleh sponsor acara berupa tiket akomodasi dan berlibur ke Bali tiga hari dua malam kian menambah meriah suasana. Antusiasme para penonton juga terlihat saat break untuk makan. Saya bersama teman-teman yang mengintip dari balik panggung sempat khawatir apakah setelah break para penonton akan kembali ke dalam ruangan untuk menonton atau malah langsung pulang. Tapi ternyata kekhawatiran saya tak terbukti. Setelah makan, para penonton dengan semangat kembali masuk ke ruangan utuk menyaksikan lanjutan acara. Ini membuktikan, orang luar sangat tertarik pada budaya Indonesia.

Saya sendiri dalam acara ini ikut ambil bagian sebagai penari giring-giring dan tim angklung. Acara ICD ini membuat saya makin cinta pada kebudayaan Indonesia. Melalui acara kali ini saya bisa mempelajari lebih banyak budaya Indonesia, meski pada saat saya sedang tidak berada di Indonesia. 

Kendati sebelumnya saat masih di bangku SMP di tanah kelahiran saya, Aceh, saya sempat beberapa kali menampilkan tari tradisional dalam acara sekolah, namun bisa menari dan bermain angklung di hadapan para penonton dari berbagai negara dalam acara yang begitu megah di Taiwan, sungguh tak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Sekali lagi, acara malam itu bukan hanya milik para mahasiswa Indonesia. Beberapa mahasiswa internasional dari berbagai negara lainnya pun ikut berpartisipasi memainkan angklung mengiringi lagu When You Believe yang dilantunkan Tim Paduan Suara PPI Tainan sebagai penutup. 

Namun, untuk tahun ini tarian dari Aceh tidak ditampilkan, karena sudah ditampilkan tahun lalu. Saya berharap semoga tahun depan tari tradisional Aceh, terutama saman yang sudah diakui Unesco sebagai warisan kebudayaan dunia, bisa ditampilkan kembali dalam acara tahunan ini. Semoga.

Tulisan ini juga dimuat di Serambi Indonesia(online).

Budidaya Perikanan Aceh

Agus Putra A. Samad, Mahasiswa Program Doctoral di Department of Aquaculture, National Taiwan Ocean University (NTOU), Taiwan.

SEBAGAI negara maritim terbesar di Asia Tenggara dengan panjang garis pantai 95.181 Km, Indonesia memiliki peluang menjadi negara produsen unggulan di bidang perikanan. Berdasarkan data dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), komoditas perikanan yang menjadi unggulan saat ini adalah udang, tuna dan rumput laut. Namun demikian, kiprah Indonesia dalam perdagangan internasional masih tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam.

Berdasarkan statistik 2008, Indonesia menduduki peringkat ketiga dunia dalam jumlah produksi perikanan setelah Cina dan Peru. Sedangkan sebagai negara eksportir, Indonesia hanya menduduki peringkat keempat di Asia sesudah Cina, Thailand, dan Vietnam.

Guna meningkatkan produksi, nilai investasi, dan nilai ekspor perikanan dengan tetap menjaga kestabilan kebutuhan dalam negeri, maka kita perlu melakukan berbagai upaya yang lebih komprehensif dan nyata di lapangan. Misalnya dengan memberikan perhatian khusus pada peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi; menerapkan peraturan penangkapan; menjaga ketersediaan sumberdaya ikan; menghidupkan usaha perikanan skala kecil; meningkatkan perdagangan internasional, dan menggalakkan usaha budidaya perikanan.

Bukan hal yang mustahil untuk Indonesia dapat menjadi kiblat dunia perikanan apabila ada kerjasama yang baik antara pemerintah dan pelaku usaha perikanan dalam mengimplementasikan hal-hal pokok tersebut.

Budidaya perikanan
Beberapa waktu lalu dalam International Symposium on Grouper Culture di Pingtung, Taiwan, sebuah presentasi berjudul: The Aquaculture status and Its Sustainability (Status budidaya perikanan dan daya dukungnya) menyebutkan bahwa masa depan perikanan dunia akan sangat tergantung pada produk budidaya perikanan.

Meningkatnya kebutuhan konsumsi ikan dunia yang tidak diikuti oleh peningkatan produksi ikan hasil tangkapan, menjadikan budidaya perikanan sebagai hal penting yang patut diperhatikan dalam usaha menanggulangi masalah kurangnya stok ikan secara global, termasuk juga di Indonesia.

Budidaya perikanan adalah suatu kegiatan memelihara, membiakkan dan membesarkan ikan dan hewan air lainnya dalam suatu lingkungan terkontrol dengan tujuan memperoleh keuntungan (kamus istilah perikanan, 2010). Budidaya perikanan merupakan bidang yang tidak boleh dipandang sebelah mata, karena terbukti mampu memberikan peluang usaha yang cukup besar bagi masyarakat yang ingin bergelut dalam bisnis ini.

Sebagai contoh, di Taiwan sejak diberlakukannya pembatasan jumlah kuota kapal penangkap ikan dalam kurun waktu 2005-2007, banyak nelayan penangkap ikan yang kemudian beralih usaha ke bidang budidaya perikanan. Dampaknya, Taiwan yang memiliki luas hanya 36.008 km2 (13.902,8 mil2) atau hampir separuh dari ukuran Provinsi Aceh, telah mampu menopang kebutuhan produk perikanan negara ini sebesar 25% dari kebutuhan total ikan melalui usaha budidaya.

Selain itu, Taiwan juga terkenal sebagai pusat penyedia benih ikan di Asia-Pasifik dan menjadi salah satu negara pengekspor benih ikan terbesar di Asia karena gencar mempromosikan teknologi budidayanya. Bahkan saat ini mereka telah mampu mengembangbiakkan 270 spesies hewan air melalui program budidaya perikanan tersebut.

Padahal jika ditelusuri lebih lanjut, Taiwan memiliki karakteristik wilayah yang kurang memadai untuk dilakukan budidaya perikanan, yaitu iklim yang ekstrem, minimnya ketersediaan sumber daya air, dan terbatasnya lahan budidaya yang tersedia. Namun sebaliknya, negara ini telah mampu menunjukkan eksistensinya dalam hal budidaya perikanan.

Lebih unggul
Jika melihat potensi Aceh yang memiliki luas wilayah 58.375.83 km2 (22.539 mil2) dengan panjang pantai sekitar 1.660 km dan luas perairan laut 295.370 km, maka Aceh lebih unggul daripada Taiwan dalam hal ketersediaan lahan. Pesisir pantai, danau, sungai, waduk, rawa dan kawasan mangrove dengan luas total 141.383,23 ha yang dimiliki Aceh merupakan potensi-potensi yang sulit dijumpai di Taiwan.

Selain itu, kesuburan perairan Aceh dan kestabilan iklim sepanjang tahun merupakan kelebihan komparatif yang menjadi rahmat tersendiri bagi pengembangan budidaya perikanan. Sebagai provinsi yang unggul dalam budidaya perikanan pada tahun 1980-an, sudah sepatutnya Aceh dapat menjadi contoh bagi pengembangan budidaya perikanan di Indonesia.

Beberapa daerah yang berpotensi besar hingga saat ini seperti: Simeulue (lobster dan kerapu), Bireuen dan Aceh Utara (udang dan kerapu), Aceh Tengah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara (spesies ikan air tawar) serta Aceh Timur, Langsa dan Tamiang yang memiliki hutan bakau sangat cocok digunakan sebagai lokasi budidaya spesies air payau seperti udang, kepiting dan bandeng.

Apabila kawasan-kawasan tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal, tentunya akan dapat meningkatkan produksi budidaya perikanan di Aceh. Tapi, apakah dengan kondisi alam yang lebih memadai di Aceh (dibandingkan Taiwan), kita akan mampu membangun budidaya perikanan setaraf dengan Taiwan? Jawabannya tentu akan berbeda-beda.

Penulis berpendapat bahwa walaupun pada awalnya terdapat hambatan bagi masyarakat dalam hal ketersediaan modal, proses pemasaran dan juga terjaminnya pelestarian lingkungan. Namun dengan kerja keras dan diimbangi SDM yang kompeten, diyakini bahwa budidaya perikanan di Aceh akan dapat mencapai masa kejayaannya kembali.

Ujung tombak
Oleh sebab itu, peran serta pemerintah dan pengusaha dalam hal ini perlu ditingkatkan. Juga, perlu adanya perhatian dan dorongan kepada para penyuluh perikanan sebagai ujung tombak penghubung kepada masyarakat, sehingga mereka termotivasi untuk terus bekerja maksimal dalam menyalurkan keterampilan dan pengetahuannya kepada para penggiat budidaya.

Penulis tidak bermaksud membanding-bandingkan kehebatan atau kekurangan suatu negara atau ingin memuji secara berlebihan keberhasilan negara lain, namun alangkah baiknya jika kita mau menyadarinya dan melihat kenyataan akan besarnya potensi yang Aceh miliki namun belum termanfaatkan secara optimal.

Oleh sebab itu, marilah bersama-sama kita membangun dunia perikanan Aceh, baik perikanan budidaya maupun perikanan tangkap yang dimulai dengan mempersiapkan mental usaha para penggiat perikanan, serta sumber daya manusia yang handal di bidang ini demi kemajuan perikanan Aceh pada masa yang akan datang.

Tulisan ini juga dimuat di Serambi Indonesia (Online).

Di Taiwan, Rel dan Gerbong Kereta Api Tua Jadi Objek Wisata

 Oleh Muhammad Zulfajri mahasiswa penerima beasiswa Pemerintah Aceh di National Sun Yat-sen University, Taiwan.
TAIWAN -  Sering kali saya melihat lewat balik jendela bus sebuah lahan rel kereta api luas yang dikelilingi oleh pertokoan disaat pergi menuju Kaohsiung main station untuk berbelanja keperluan hari-hari di toko Indo. Pingin rasanya untuk berjalan-jalan di tempat itu. Namun karena kesibukan perkuliahan di laboratorium, rencana saya belum terkabul.

Padahal jaraknya sangat dekat. Cuma menempuh 15 menit jalan kaki dari kampus. Sudah 4 bulan saya berada di Taiwan. Kuliah di sebuah universitas yang berada jauh d ari ibukota Taipei. Biasanya pada hari Sabtu dan Minggu, banyak masyarakat yang berkunjung keberbagai tempat wisata. Baik itu museum, theater, temple, kebun bunga, park, dan tempat wisata lainnya. Mereka biasanya berjalan bersama keluarganya sambil menikmati suasana alam.
Minggu lalu kebetulan ada kawan saya dari Tainan bersama rombongan dari kampusnya mengunjungi Kaohsiung untuk mengunjungi pier-2 art Center di Yancheng District. Di sini terdapat banyak galeri dan museum kecil yang menampilkan berbagai seni lukis, patung, dan artistik lainnya.  Sayapun ikut hari itu untuk menemani mereka.
Kunjungan terakhir yang kami kunjungi adalah tempat saya sering saya lihat. Yaitu sebuah lapangan luas bekas rel kereta api bekas yang dikelilingi pertokoan dan perkantoran, di situ terdapat dua gerbong kereta api lama. Tempat itu menjadi objek wisata, banyak orang yang hanya sekedar berjalan-jalan dan bagi anak-anak dan remaja mereka menaikkan layang-layang dengan berbagai keunikan modelnya.
Selanjutnya kami mengunjungi sebuah gedung kecil seperti rumah di sudut tempat itu. Ternyata itu adalah sebuah museum mini. Di dalamnya terdapat peninggalan sejarah tentang kereta api tersebut mulai dari nama-nama masinis, baju, terompet dan peninggalan lainnya. Rel dan gerbong kereta api itu merupakan kereta api pertama yang ada di wilayah Kaouhsiung. Namun mengenai sejarahnya masih bisa dilihat di museum itu.
Sungguh menarik, mereka mampu berpikir bagi hal-hal kecil seperti itu. Untuk terus dikenang dan diperkenalkan ke masyarakat umum sebagai bukti sejarah, dan juga menjadi bahan edukasi bagi siswa-siswa sekolah menengah disana. Saya berpikir bahwa dengan keterbatasan sumber objek wisata sejarah di Taiwan membuat pemerintah Taiwan begitu menghargai setiap apa saja yang menjadi peninggalan masa awal-awal mereka membangun Negara tersebut. Selain itu, mereka juga sangat mengandalkan objek wisata religious seperti temple atau kuil umat budha yang menjadi objek wisata yang sangat diminati.
Aceh sendiri memiliki warisan sejarah dan budaya yang sungguh luar biasa banyaknya. Mulai dari kerajaan-kerajaan di Aceh, perjuangan menghadapi Belanda, lembaga pendidikan dayah, mesjid-mesjid, tempat peninggalan konflik dan lain-lain. Perlu digali dan dipetakan kembali semua tempat tersebut. Seandainya pemerintah daerah dengan serius lagi membangun semua aset itu dan menyediakan fasilitas pendukungnya maka saya rasa tidak perlu menghabiskan banyak waktu, biaya dan tenaga untuk mengajak wisatawan domestik dan mancanegara mengunjungi Aceh seperti Visit Aceh 2013  dengan konsep untuk awal tahun namun sanggup mendatangkan wisatawan kapan saja.
Tulisan ini Juga di muat di atjehpost(Online)

Friday, December 7, 2012

Romantisme Musim Dingin

OLEH ZAUJATUL AMNA AFGANURISFA, Mahasiswa Magister Psikologi Asia University dan Asisten Dosen Psikologi pada FK Unsyiah, melaporkan dari Taiwan 

ALHAMDULILLAH, sudah hampir 1,5 tahun saya berada di Taiwan untuk melanjutkan studi S2 Jurusan Psikologi di Asia University (AU) Taichung City, salah satu kota terbesar di Taiwan. Banyak hal yang menarik perhatian saya selama berada di negeri ini. Mulai dari pelayanan publik, kultur yang beragam, kehidupan beragama, hingga musim yang berbeda jauh dengan Indonesia.

Taiwan memiliki musim dingin dan awal Desember inilah musim dingin dimulai. “Winter is coming,” begitu pernyataan sejumlah mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di Negeri Formosa ini. 

Kali ini cuaca di Taiwan benar-benar tidak bersahabat dibandingkan tahun lalu. Musim dingin kali ini datangnya lebih cepat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tahun lalu adalah saat pertama saya rasakan langsung suasana beku Taiwan. Apa yang terjadi di tahun ini hanya Tuhanlah yang tahu dan biarlah para ahli yang akan menjelaskan berdasarkan penelitian dan prediksinya.

Brrrrr... dinginnya. Suhu Taiwan di awal Desember ini 14 derajat Celcius. Tidak hanya dingin di luar pemondokan, bahkan di dalam kamar pun dingin menusuk. Keadaan ini mengharuskan siapa pun yang ingin beraktivitas di luar rumah menggunakan jaket tebal yang mampu menghangatkan badan. Banyak pula orang yang melengkapinya dengan kaus kaki, syal, dan sarung tangan.  

Subhanallah, baru kemarin rasanya saya rasakan betapa teriknya matahari di musim summer, tapi hari ini justru sebaliknya. Dinginnya Taiwan sudah merasuk sampai ke kulit dan tulang saya. Akan tetapi, dunia yang dingin ini memiliki sisi keindahan tersendiri. Salju yang beterbangan dan bunga-bunga khas musim dingin bermekaran, merupakan sisi romantisme dari musim salju di Taiwan.

Di antara bunga yang bermekaran itu adalah sakura, cherry bloom, anggrek, tulip, dan lavender yang seakan berlomba menampakkan keindahannyha di tengah cuaca dingin. Ini momen paling romantis dan sangat dinantikan oleh sejuta mata penikmat bunga. Seakan mata enggan meninggalkan keajaiban yang dipertontonkan oleh-Nya pada musim dingin di Taiwan. Inilah kelebihan musim dingin yang dirindukan banyak orang, terutama orang dari daerah tropis seperti saya. 

Melihat hamparan aneka bunga yang bermekaran pada musim dingin ini, seakan rasa lelah, pusing, dan stres saya karena tugas kuliah mendadak hilang. Dan hanya di musim winter inilah pemandangan seperti ini bisa saya nikmati. 

Di saat “dunia berkabut” ini datang dengan power “kedinginannya”, pada saat itulah rasa takjub muncul, terlebih ketika semua permukaan tanah, atap-atap rumah, juga tempat-tempat duduk di taman, berubah menjadi dingin dan beku sempurna.

Semakin memasuki Desember, udara di Taiwan kian dingin. Hari masih siang, tapi serasa sudah malam. Hujan menambah kabut makin tebal dan menghadirkan wajah dan suasana lain Taiwan yang sulit saya lupakan. Desember tiba sudah, happy winter season.

NOTE : Tulisan ini juga di muat di Serambi Indonesia (online).

Saturday, December 1, 2012

Kolam Teratai Terluas di Taiwan

NOVI MAULINA, Peserta Short Course Bahasa Mandarin di National Sun-Yat Sen University, melaporkan dari Taiwan

SUDAH tujuh pekan kami menghirup udara segar dan merasakan hangatnya kebersamaan di Kaohsiung, kota terbesar kedua di Taiwan. Kota ini memberi banyak kesan dan pengalaman positif bagi kami. Berada di tepi pantai selatan Taiwan dengan jumlah penduduk sekitar 2,9 juta, kota ini juga dikenal dengan industri baja dan petrokomianya. 

Namun, beberapa tahun terakhir, Pemerintah Kota Kaohsiung mulai mengarahkan penampilan kota industri ini menjadi kota tujuan wisata berbasis sejarah, kebudayaan, dan sumber daya alam, sehingga kota ini lebih sesuai dijuluki kota turis. 

Kaohsiung adalah kota yang hangat, baik dalam hal cuaca maupun sikap masyarakatnya. Ditambah dengan indahnya panorama alam pegunungan dan pantai serta penataan wisata yang rapi, bersih dan informatif, membuat kota ini makin terlihat alami dan menarik.

Salah satu wahana wisata yang sangat terkenal di Bumi Formosa ini adalah Lotus Pond, kolam teratai buatan yang dikelilingi banyak kuil. Letaknya di daerah Zuoying, sebuah distrik di Selatan Kaohsiung. 

Lotus Pond ini merupakan salah satu tujuan wisata unggulan di Taiwan. Dari Masjid Kaohsiung di distrik Weiwuying, kami menuju Zuoying dengan MRT (Mass Rapid Railway), kemudian menuju Lotus Pond di bagian timur Zuoying dengan menumpang bus R51. 

Turun dari bus, langsung terlihat hamparan 75 hektare kolam teratai buatan. Dikitari banyak kuil yang didominasi warna merah dan kuning keemasan. Ini kolam teratai terluas di Taiwan, mungkin juga di dunia. 

Distrik Zuoying memang dikenal sebagai kota dengan kuil terbanyak di Taiwan. Terdapat sekitar 20 kuil di sini sehingga istilah temple district tampaknya cocok untuk menggambarkan wilayah Zuoying. Kolam ini juga dikelilingi banyak pohon willow. Lotus Pond dibuat di antara dua gunung di kiri-kanannya, yaitu Gunung Turtle dan Gunung Half Screen. Suasana dingin dan sebaran burung bangau di area kolam membuat suasana terasa teduh dan nyaman. 

Siang itu, lokasi wisata ini ramai dikunjungi para wisatawan, baik yang berasal dari dalam atau luar Taiwan. Kami menyusuri satu per satu kuil yang ada di sepanjang kolam. Bangunan pertama yang kami lalui adalah ‘Dragon and Tiger Tower’, bangunan yang paling terkenal di sekitar Lotus Pond. Menurut cerita kuno, para wisatawan dapat masuk melalui mulut patung naga dan ke luar lewat mulut singa untuk membuang kemalangan dan mendapatkan keberuntungan. 

Sementara dua menara di belakang mulut naga dan singa memuat berbagai kisah tradisional masyarakat Cina dan pameran lukisan Cina. 

Kemudian kami menyusuri Spring and Autumn Pagodas, terdiri atas dua bangunan pagoda yang dihubungkan dengan sembilan jembatan yang membentuk sudut, merupakan contoh arsitektur Oktagonal Cina. Bangunan ini dibangun tahun 1953 dan didesain berdasarkan gaya istana Cina. Di sini kita dapat menikmati pemandangan di sepanjang jembatan dan Lotus Pond dari atas pagoda. 

Beiji Pavilion of Yuandi Temple, adalah bangunan lain yang kami kunjungi di area Lotus Pond. Kuil ini dilengkapi dengan patung Syuan Tian Shang Di, raksasa setinggi 72 meter. Kaisar setelahnya di bawah Dinasti Yu Huang Shang Di membangun patung tersebut karena mendapat instruksi lewat media spiritualnya. Juga terdapat pedang 7 bintang milik Syuan Tian Shang Di yang dibuat berukuran 38,5 meter dan ini dikenal sebagai World Heavenly Sword.

Kuil-kuil di sekitar area Lotus Pond yang baru dibuka untuk umum pada tahun 1951 ini selalu ramai dikunjungi masyarakat, baik untuk tujuan wisata maupun ibadah. Penataan lokasi wisata yang teratur dan informatif oleh Pemerintah Taiwan telah berhasil menarik para wisatawan dalam dan luar negeri untuk datang dan menikmati keindahan kota serta bersentuhan langsung dengan budaya masyarakat Cina yang kental. Di bagian depan areal Lotus Pond dapat dijumpai Tourism Information Centre untuk memudahkan wisatawan memahami areal yang cukup luas ini. Keseriusan pemerintah juga terlihat dari banyaknya brosur tujuan pariwisata di Taiwan yang dapat dengan mudah kita jumpai di tempat umum, stasiun, atau terminal transportasi publik. Kelengkapan sarana transportasi yang canggih serta didukung oleh disiplin masyarakat yang tinggi dalam menggunakan fasilitas umum sangat mendukung Pemerintah Taiwan dalam mencapai visi kemajuan ekonominya, khususnya melalui sektor wisata yang menarik dan profesional.
Serambi Indonesia