OLEH dr NOVI MAULINA, peserta short course bahasa Mandarin di National Sun-Yat Sen University, Kaohshiung-Taiwan.
TAIWAN merupakan salah satu negeri yang memiliki pelayanan publik yang baik. Tidak ada perbedaan pola pelayanan antara penduduk asli dan warga pendatang, juga bagi orang sehat maupun orang cacat yang memiliki kepentingan di ruang publik. Semua tertata dengan teratur dan informatif. Dilengkapi dengan fitur teknologi yang mempermudah keluwesan pelayanan.
Tidak jarang di tempat-tempat umum saya lihat para disabled (penyandang cacat) bepergian sendiri atau kadang bersama keluarga dan ikut menikmati fasilitas umum seperti bus, kereta api, mass rapid transit (MRT), bahkan toilet.
Di Taiwan, Undang-Undang tentang Kesejahteraan bagi Penyandang Cacat dibuat tahun 1980 yang mencakup lima disabilitas, yaitu orang yang cacat fisik, gangguan pendengaran, gangguan bicara, kehilangan anggota gerak akibat kecelakaan atau sebab lain, serta keterbelakangan mental.
Pada tahun 1997 kriteria disabilitas ini diperluas menjadi 14 poin dan Undang-Undang Kesejahteraan diubah menjadi Undang-Undang tentang Perlindungan bagi Masyarakat dengan Cacat Fisik.
Dulu, departemen sosial berperan besar dalam perlindungan penyandang cacat, namun undang-undang baru mengharuskan semua sektor publik seperti sektor kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, bidang konstruksi, dan keuangan turut berperan dalam perlindungan bagi penyandang cacat.
Tercatat sekitar 2,3% (534.237 orang) dari total populasi di Taiwan mengantongi sertifikat cacat dari Central Health Supervising Agency. Sertifikat ini memudahkan mereka dalam mendapatkan pekerjaan yang sesuai (untuk sebuah institusi publik yang jumlah karyawannya >50 orang, 2%-nya harus diisi oleh penyandang cacat, sementara untuk swasta 1% diisi oleh penyandang cacat).
Mereka juga dipermudah mengakses sarana transportasi. Ketika mereka menggunakan jasa transportasi kereta api, misalnya, mereka hanya perlu membayar half-fare atau setengah dari harga biasa, dapat pula gratis untuk anak-anak sekolah yang cacat. Jalur masuk setelah memproses tiket juga disiapkan khusus.
Di dalam bus atau kereta bawah tanah (MRT) pun disediakan tempat khusus (priority seat, selain untuk ibu hamil, orang tua, dan wanita yang membawa bayi) yang relatif mudah dijangkau oleh penyandang cacat, sehingga tidak mempersulit gerak mereka. Inilah yang membuat mereka sering bepergian sendiri dengan kursi roda (manual atau listrik) atau menggunakan tongkat dengan nyaman.
Pembangunan sarana publik juga mensyaratkan fasilitas bagi penyandang cacat. Misalnya, lintasan yang landai disertai pagar pengaman (sebagai ganti tangga), lift (tombol yang lebih rendah sesuai tinggi kursi roda), dan toilet (kloset duduk disertai shower dan tisu yang berdekatan). Pendeknya, orang cacat akan mudah menjumpai ruang dengan lambang orang yang sedang duduk di kursi roda di setiap sarana publik di negara ini.
Seorang akademisi Taiwan dalam sebuah artikel ilmiah menyatakan, setiap sarana publik bagi penyandang cacat dan orang-orang yang membutuhkan sarana khusus tersebut haruslah dibuat dengan standar yang tinggi, karena yang ada saat ini belum tentu cukup memudahkan mereka, sehingga perlu banyak pengkajian lainnya. Meski pengguna fasilitas publik ini tidak semuanya cacat, namun kita semua bisa saja sakit dan menjadi tua. Jadi, menolong mereka (orang-orang cacat) berarti juga menolong diri kita sendiri. Sebuah peringatan yang humanis.
Tulisan ini juga dipublish di Serambi Indonesia
TAIWAN merupakan salah satu negeri yang memiliki pelayanan publik yang baik. Tidak ada perbedaan pola pelayanan antara penduduk asli dan warga pendatang, juga bagi orang sehat maupun orang cacat yang memiliki kepentingan di ruang publik. Semua tertata dengan teratur dan informatif. Dilengkapi dengan fitur teknologi yang mempermudah keluwesan pelayanan.
Tidak jarang di tempat-tempat umum saya lihat para disabled (penyandang cacat) bepergian sendiri atau kadang bersama keluarga dan ikut menikmati fasilitas umum seperti bus, kereta api, mass rapid transit (MRT), bahkan toilet.
Di Taiwan, Undang-Undang tentang Kesejahteraan bagi Penyandang Cacat dibuat tahun 1980 yang mencakup lima disabilitas, yaitu orang yang cacat fisik, gangguan pendengaran, gangguan bicara, kehilangan anggota gerak akibat kecelakaan atau sebab lain, serta keterbelakangan mental.
Pada tahun 1997 kriteria disabilitas ini diperluas menjadi 14 poin dan Undang-Undang Kesejahteraan diubah menjadi Undang-Undang tentang Perlindungan bagi Masyarakat dengan Cacat Fisik.
Dulu, departemen sosial berperan besar dalam perlindungan penyandang cacat, namun undang-undang baru mengharuskan semua sektor publik seperti sektor kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, bidang konstruksi, dan keuangan turut berperan dalam perlindungan bagi penyandang cacat.
Tercatat sekitar 2,3% (534.237 orang) dari total populasi di Taiwan mengantongi sertifikat cacat dari Central Health Supervising Agency. Sertifikat ini memudahkan mereka dalam mendapatkan pekerjaan yang sesuai (untuk sebuah institusi publik yang jumlah karyawannya >50 orang, 2%-nya harus diisi oleh penyandang cacat, sementara untuk swasta 1% diisi oleh penyandang cacat).
Mereka juga dipermudah mengakses sarana transportasi. Ketika mereka menggunakan jasa transportasi kereta api, misalnya, mereka hanya perlu membayar half-fare atau setengah dari harga biasa, dapat pula gratis untuk anak-anak sekolah yang cacat. Jalur masuk setelah memproses tiket juga disiapkan khusus.
Di dalam bus atau kereta bawah tanah (MRT) pun disediakan tempat khusus (priority seat, selain untuk ibu hamil, orang tua, dan wanita yang membawa bayi) yang relatif mudah dijangkau oleh penyandang cacat, sehingga tidak mempersulit gerak mereka. Inilah yang membuat mereka sering bepergian sendiri dengan kursi roda (manual atau listrik) atau menggunakan tongkat dengan nyaman.
Pembangunan sarana publik juga mensyaratkan fasilitas bagi penyandang cacat. Misalnya, lintasan yang landai disertai pagar pengaman (sebagai ganti tangga), lift (tombol yang lebih rendah sesuai tinggi kursi roda), dan toilet (kloset duduk disertai shower dan tisu yang berdekatan). Pendeknya, orang cacat akan mudah menjumpai ruang dengan lambang orang yang sedang duduk di kursi roda di setiap sarana publik di negara ini.
Seorang akademisi Taiwan dalam sebuah artikel ilmiah menyatakan, setiap sarana publik bagi penyandang cacat dan orang-orang yang membutuhkan sarana khusus tersebut haruslah dibuat dengan standar yang tinggi, karena yang ada saat ini belum tentu cukup memudahkan mereka, sehingga perlu banyak pengkajian lainnya. Meski pengguna fasilitas publik ini tidak semuanya cacat, namun kita semua bisa saja sakit dan menjadi tua. Jadi, menolong mereka (orang-orang cacat) berarti juga menolong diri kita sendiri. Sebuah peringatan yang humanis.
Tulisan ini juga dipublish di Serambi Indonesia