Ranup Lampuan

Aceh student Association in Taiwan

Likok Pulo

Memperknalkan marwah bangsa dan budaya adalah kewajiban bagi kami, walau jauh dari negeri "Indatu"

Halal Bihalal Idul Adha 2012

Kebersamaan di hari yanng mulia adalah kebahagian yang tak terkira hidup di negeri orang

Edventure

Merasakan apa yang belum pernah ada di negeri sendiri adalah cita-cita dari setiap individu

Taipei 101

"If you can dream it, you can do it" Bermimpilah setinggi-tingginya.

Wednesday, June 26, 2013

Masjid At-Taqwa: Masjid ke-7 di Taiwan

Menulis tentang hal ini sangatlah menggetarkan. Ini bukanlah hal biasa. Berdirinya sebuah masjid baru di negara yang sangat minoritas Muslim, sangat minoritas. Jumlah penduduk Muslim di Taiwan kurang lebih hanya berkisar di angka 0.2% saja (sumber: Chinese Muslim Association, Taiwan). Mendengar kata “Masjid At-Taqwa” mungkin bagi umat Muslim yang hidup di Indonesia adalah hal biasa, namun bagi mereka yang hidup di Taiwan, ini adalah sebuah hal luar biasa. Mari kita urutkan satu per satu masjid-masjid yang sudah ada di Taiwan:
Grand Mosque Taipei, Taipei (台北清真寺 – táiběi qīngzhēnsì)
Cultural Mosque, Taipei (台北文化清真寺 – táiběi wénhuà qīngzhēnsì)
Longgang Mosque, Chungli (龍崗清真寺 – lónggǎng qīngzhēnsì)
Taichung Mosque (台中清真寺 – táizhōng qīngzhēnsì)
Kaohsiung Mosque (高雄清真寺 – gāoxióng qīngzhēnsì)
Tainan Mosque (台南清真寺 – táinán qīngzhēnsì)

Melihat keseluruhan nama masjid yang ada di Taiwan tersebut, maka kata/tulisan “Masjid At-Taqwa” menjadi sebuah ejaan yang asing hadir di telinga. Namun tidak bagi para Muslim Indonesia di Taiwan. Ya, Masjid At-Taqwa adalah masjid ke-7 yang hadir di Taiwan yang dipelopori oleh sepasang suami-istri Taiwan-Indonesia, Bapak Muhammad Yasin (Taiwan) dan Ibu Hasana (Indonesia). Beliau berdua bukanlah “hartawan”, beliau memiliki sebuah toko sederhana (kami biasa menyebut toko semacam ini dengan sebutan “Toko Indonesia”) yang menjual berbagai makanan khas Indonesia dan perlengkapan sehari-hari. Di daerah sekitar sana pun dapat kita jumpai banyak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di pabrik-pabrik atau pada rumah-rumah tangga.
Masjid itu bermula dari sebuah petak tanah di samping rumah milik pasangan itu. Tanah tersebut adalah milik seorang warga asli Taiwan akan segera dipindahtangankan kepada Bapak Muhammad Yasin dalam waktu 2 tahun ke depan. Perjuangan awal pasangan ini untuk mendirikan masjid tidaklah mudah. Dengan mengeluarkan harta secara maksimal, bahkan hingga berhutang, harus memenuhi tuntutan pembangunan di Taiwan yang rumit dan mahal, dan masih banyak hambatan lainnya yang dihadapi oleh mereka. Namun hal ini sama sekali tidak meruntuhkan semangat mereka untuk menghadirkan taman surga di gersang nya Bumi Formosa.
Bekerja sama dengan banyak pihak, organisasi, dan perwakilan pemerintah Indonesia yang sedikit demi sedikit mengumpulkan dana untuk berdirinya Masjid At-Taqwa ini, alhamdulillah, bi idznillah, hampir satu tahun proses pembangunan, kini masjid dengan ukuran (kurang lebih) 5 m x 26 m itu telah berdiri. Masjid At-Taqwa terdiri dari 3 (tiga) lantai yang difungsikan sebagai berikut: lantai pertama digunakan untuk tempat shalat pria, lantai kedua untuk tempat shalat wanita dan ruang tamu, serta lantai ketiga digunakan untuk kelas dan kamar-kamar penginapan.
Total perkiraan biaya yang dibutuhkan untuk menyelesaikan Masjid ini adalah NTD 9.000.000,00 (Rp 2.950.000.000,00) yang mana baru terkumpul sekitar NTD 3.000.000,00 (Rp 980.000.000,00) – Rincian terlampir. Namun, Alhamdulillah Masjid At-Taqwa ini sudah dapat dioperasikan dan diresmikan pada, Ahad, 9 Juni 2013. Acara ini mengundang kaum muslimin di seluruh Taiwan dan pihak-pihak lainnya. Masjid Besar Taipei pun akan menetapkan Masjid At-Taqwa sebagai pusat umat Muslim Indonesia di Taiwan.
Bagi rekan-rekan yang tertarik lebih lanjut tentang masjid ini dan juga ingin berkontribusi dalam pembangunan Masjid At-Taqwa ini dapat menghubungi email: attaqwa.dayuan@gmail.com atau melalui akun facebook Ibu Hasana Nana (istri dari pasangan yang diceritakan di atas).

Tuesday, June 25, 2013

Mudahnya berkeliling Taiwan menggunakan ‘Easy Card’

Oleh Agus Putra A. Samad, Dosen Fakultas Pertanian, Unsam Langsa, saat ini sedang menempuh pendidikan S3 di Taiwan.

TERSEDIANYA sarana transportasi yang memadai tentu menjadi dambaan seluruh masyarakat. Kebutuhan ini menjadi lebih mendesak pada suatu wilayah dengan tingkat intensitas pergerakan manusia yang sangat tinggi akibat tuntutan pekerjaan.

Sebagai wilayah yang termasuk dalam tiga negara Macan Asia, Taiwan, merupakan salah satu contoh negeri dengan mobilitas penduduk yang cukup besar. Setiap harinya diperkirakan sebesar 34,1% atau sekitar 893.000 orang pengguna transportasi umum tersebar di wilayah ibu kota negara, dan jumlah ini dapat meningkat menjadi 1,4 juta orang di hari-hari libur. Untuk itu, tersedianya sarana transportasi yang cepat dan murah tentulah menjadi hal yang sangat vital.

Pemerintah Taiwan melalui Kementerian Transportasi dan Telekomunikasi mengakui bahwa penggunaan kendaraan pribadi masih tergolong tinggi, terutama di wilayah pedesaan yang jauh dari pusat kota. Oleh karena itu, kementerian terkait memfokuskan diri untuk terus membangun sarana dan prasaranan transportasi seperti bus, Mass Rapid Transit (MRT) dan kereta api serta mendorong masyarakat agar mau memanfaatkan fasilitas tersebut.
Saat ini, pemerintah sedang membangun infrastuktur jalan (highway) dan rel kereta api serta menyiapkan berbagai jenis transportasi umum lainnya yang disesuaikan dengan kebutuhan setiap wilayah. Demi kelancaran program ini pemerintah telah menyediakan dana yang cukup besar yakni sekitar NTD 150 juta selama 3 tahun; sembari terus menyosialisasikan pentingnya pemanfaatan transportasi umum untuk penghematan energi (bahan bakar minyak) dan mengurangi polusi udara.

Pembangunan infrastuktur yang disertai dengan penyediaan alat transportasi umum ini terkesan sangat rapi dan terencana, terutama di tiga wilayah mencakup Keelung, Taipei City dan Taipei County. Tempat pemberhentian bus, MRT dan kereta api selalu ditempatkan di wilayah yang sangat berdekatan dengan pemukiman penduduk dan pusat-pusat perekonomian. Selain itu dalam upaya mengoptimalkan sisi pariwisata, sebagian besar moda transportasi tersebut di arahkan ke lokasi-lokasi pariwisata untuk memberikan kemudahan bagi para wisatawan. Hal ini tentunya menjadi pemikat tersendiri bagi wisatawan untuk mengunjungi tempat wisata, sehingga akan berdampak pada peningkatan perekonomian warga sekitarnya.

Selanjutnya, untuk menjauhkan kesan “menunggu angkutan umum hanya akan membuang waktu”, setiap pelaksana angkutan telah menyediakan fasilitas pendeteksi posisi kendaraan (online via internet), di mana kita dapat mengetahui dengan jelas posisi atau bahkan jarak antara bus dengan bus stop terdekat dengan tempat tinggal kita. Sehingga kita dapat mengatur waktu seefisien mungkin.

Kemudahan lainnya juga dapat dirasakan pengguna transportasi umum, yakni cukup dengan menempelkan kartu ‘Easy Card’ (sejenis kartu kredit yang dapat diisi ulang sebagai pengganti pembayaran tunai) di mesin card reader, kita sudah dapat menaiki kendaraan dan berkeliling Taiwan. Namun, harus dipastikan bahwa kartu EC tersebut sudah terisi cukup kredit. Sementara, pembelian dan pengisian kredit dapat dilakukan di seluruh 7-eleven, Family Mart dan Ok Mart yang tersebar di setiap jengkal negeri ini.

Aceh, meskipun memiliki kesamaan dalam jumlah kabupaten/kota dengan Taiwan yakni sebanyak 23 daerah pemerintahan, namun dalam hal kelayakan transportasi publik tentunya masih tertinggal jauh. Akan tetapi sebagai daerah yang sedang mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah pusat melalui penyediaan anggaran yang lebih besar dibandingkan provinsi lain, dan diperkuat dengan peningkatan sumberdaya manusianya  melalui program pendidikan di Lembaga Peningkatan Sumberdaya Manusia, tentunya sudah menjadi keharusan bahwa Aceh dapat menjadi wilayah dengan sistem transportasi yang baik serta dapat memberi kenyaman bagi masyarakatnya.

Tulisan in dipublish di AtjehPost

Sunday, June 23, 2013

Di Taiwan, Belanja di Kaki Lima pun Antre

OLEH JAMILAH AKBAR, mahasiswi Magister Konseling di National Chiayi University, penerima Beasiswa Pemerintah Aceh, Chiayi-Taiwan
ANTREAN merupakan aktivitas yang paling tidak disukai dan dihindari oleh sebagian orang di negeri kita, karena dianggap memakan waktu dan membosankan. Entah itu karena diburu waktu atau karena kurang sabar, sering kita saksikan di tempat-tempat umum tiba-tiba ada orang yang memotong antrean dan menyerobot giliran orang lain.
Tak jarang pula hal itu dilakukan dengan santai, tanpa rasa bersalah. Seolah-olah itu hal yang wajar. Perbuatan ini biasanya akan meningkat dua hingga tiga kali lipat jika di tempat-tempat tersebut tidak ada penjagaan atau nomor urut antrean resmi.
Tapi situasi yang sangat berbeda saya jumpai di Taiwan, tempat saya menimba ilmu selama hampir satu tahun terakhir. Di sini segala sesuatunya berjalan sangat rapi dan tertib. Antre adalah sebuah keharusan bagi siapa saja, di setiap kesempatan dan urusan.
Setiap orang tampak dengan sabar dan kalem menunggu gilirannya, meski berjam-jam sekalipun. Warga di sini kelihatan sangat terbiasa, terlatih, dan kalau boleh dibilang mungkin sudah terlahir dengan disiplin antrean yang tinggi. Memotong antrean atau perilaku menyerobot di tempat umum adalah sesuatu yang tabu dan sangat memalukan, karena tindakan itu dianggap melanggar hak orang lain.
Oleh karna itu, sangat jarang kita temui ada keributan karena ulah seseorang yang mem-by pass antrean atau menyerobot giliran orang di tempat umum. Barisan antrean yang rapi berjejer justru adalah pemandangan yang lumrah dan mudah dijumpai di seluruh pelosok Negeri Formosa ini. Urusan di kantor-kantor pemerintah dan swasta, di sekolah, di kampus, di tempat-tempat wisata dan pesta, di terminal bus, stasiun kereta api, toko-toko, di pusat perbelanjaan, bahkan di warung makan kecil sekalipun. Semua dilakukan dengan antre dan antre.
Saya juga punya pengalaman luar biasa tentang budaya antre ini beberapa hari lalu. Sore itu saya sedang melintas bersama empat teman di salah satu jalan di Chiayi, distrik kecil di Taiwan bagian selatan, tempat kampus saya berada. Tepat di seberang jalan yang kami lewati tampak antrean orang-orang berjejer rapi, memanjang dari depan gang sempit hingga trotoar pinggir jalan. Jumlah antreannya saat itu sekitar delapan hingga sembilan orang. Ada pelajar, anak-anak, dan pria dan perempuan dewasa. Menyaksikan hal ini tentu saja kami penasaran, ada apakah gerangan dan mengapa orang-orang ini mengantre dengan segitu rapinya? Padahal saat itu cuaca cukup panas. Karena saking penasarannya, saya pun mendekati antrean tersebut. Dalam pikiran awal saya dan teman-teman, orang-orang ini pastilah sedang antrean membeli barang-barang yang cukup mahal ataupun sesuatu yang berharga lainnya. Namun pemandangan yang saya saksikan sungguh di luar dugaan. Orang-orang ini ternyata sedang mengantre membeli makanan kecil, berupa kue dan gorengan. Tempat jualan tersebut pun juga hanyalah sebuah gerobak kecil pedagang kaki lima yang tampak sudah tua, dengan tirai plastik yang sudah lusuh. Sungguh sebuah pemandangan yang megangumkan! Betapa luar biasanya budaya antre masyarakat di Taiwan ini. Jangankan di kantor-kantor atau di tempat pelayanan umum besar lainnya, di warung kaki lima sekalipun mereka tetap konsisten, menghormati hak orang lain dengan cara disiplin dalam mengantre. 
Pengalaman ini adalah salah satu pelajaran terbaik saya selama studi di sini dan akan menjadi oleh-oleh berharga untuk bisa saya terapkan nantinya atau minimal sebagai bahan cerita kepada anak didik saya ketika kembali ke Aceh. Kagum dan salutku untuk warga Taiwan. 
Tulisan ini juga di publish di Serambi Indonesia.

Sunday, June 9, 2013

Berbagi Inspirasi dari Taiwan

OLEH KHAIRUL RIJAL DJAKFAR, mantan koordinator Majelis Wali Mahasiswa Aceh di Taiwan, Taichung-Taiwan.

PULAU Formosa atau lebih dikenal dengan nama Taiwan terletak sangat strategis di Laut Cina Timur yang berbatasan dengan Republik Rakyat Cina (RRC), Korea, Jepang, dan Filipina. Jumlah penduduk Taiwan lima kali penduduk Aceh, namun luasnya hanya 2/3 luas Aceh. Kemajuan Taiwan dalam perekonomian, pendidikan, pertanian, industri, transportasi, dan pariwisata mampu menyejahterakan rakyatnya.

Di Taiwan terdapat setidaknya tiga kota yang menarik untuk dikunjungi, yaitu Taichung, Taipei, dan Keelung. Ke tiga kota itulah saya bersama 

Staf Khusus Gubernur Aceh, Fachrul Razi MIP yang kami undang ke Taiwan, berkunjung beberapa hari lalu.

Kota Taichung (Taiwan Tengah) selain terkenal dengan industri permesinannya juga menjadi daerah lumbung padi nasional. Taiwan Tengah terkenal beriklim sedang, tidak terlalu dingin seperti Taiwan Utara (Taipei) pada musim dingin dan tidak terlalu panas layaknya Taiwan Selatan (Tainan) pada musim panas. 

Selain itu, kondisi geografis juga membuat wilayah ini ideal untuk pertanian. Itu sebab Institut Riset Pertanian Taiwan dan fasilitas riset/teknologi pertanian universitas terlengkap berada di Taichung. Produk pertanian terkenal di sini selain gandum, kesemek, pir, persik, jeruk mandarin, lengkeng, pinang, dan sayuran adalah beras. Beras Taichung 65 (T-65) merupakan varietas unggul di Taiwan, bahkan diakui dunia karena tahan segala cuaca (panas/dingin) dan gangguan hama, di samping produknya berkualitas tinggi. 

Dari 1,04 juta penduduk Taichung, 300.000 di antaranya adalah petani. Untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), Pemerintah Taichung sangat kreatif, membuat konsep bisnis pariwisata pertanian dan mendirikan museum-museum. Di sini terdapat museum beras. Kita juga dapat melihat produk sampingan beras yang ternyata bisa diolah menjadi minuman segar. 

Saat mengunjungi Keelung (Taiwan Utara), kami singgah di museum gempa bumi Wufeng, Taichung. Museum ini awalnya sekolah dasar yang rusak parah akibat gempa 7,5 SR pada 21 September 2009 yang menewaskan sekitar 2.500 jiwa. Pemerintah memutuskan untuk membangun sekolah baru di tempat lain dan sekolah yang rusak itu dirawat dan ditambah dengan fasilitas modern, seperti alat simulasi dan animasi gempa, foto-foto, video kejadian, dan lain-lain. Saat masuk ke dalam kami bisa lihat sendiri kondisi tanah yang terbelah dan terangkat serta gedung bertingkat yang hancur, namun disangga dengan hidrolik agar tak jatuh. Kesannya gempa tersebut baru saja terjadi.

Untuk menuju Keelung kami transit di Taipei dan melanjutkan 30 menit perjalanan dengan kereta api. Keelung adalah kota paling utara Taiwan dan berbatasan dengan wilayah Jepang. Kampus perikanan dan kelautan paling terkenal di Taiwan terdapat di sini, yaitu National Taiwan Ocean University (NTOU). Selama sehari penuh kami melihat pusat budidaya perikanan terbesar Taiwan yang berada di pinggir pantai utara Taiwan. Pembudidayaannya menggunakan sistem resirkulasi, yaitu pemakaian kembali air yang telah digunakan setelah melalui penyaringan dan mencegah masuknya penyakit dari air mentah sehingga kualitas air terjaga dan hemat serta tidak bergantung pada cuaca seperti hujan, suhu, dan cahaya sehingga berpotensi meningkatkan produktivitas ikan (kerapu, nila, ikan hias, dan lain-lain) dan udang dalam skala besar.

Selanjutnya, kami kembali ke ibu kota Taiwan, Taipei. Taipei dengan populasi 2,6 juta jiwa adalah kota paling modern dan menjadi pusat pemerintahan Taiwan. Taiwan sangat mempermudah urusan dalam perizinan pembukaan kantor perwakilan asing di negaranya yang tidak hanya atas nama negara, namun bisa juga atas nama perusahaan. Walaupun hubungan RRC dan Taiwan secara politik sering memanas, namun hubungan dagang dan ekonominya sangat erat. Bahkan sebagian besar pabrik di Cina adalah milik investor Taiwan. 

Selama di Taipei kami mengunjungi Istana Presiden Taiwan dan gedung tertinggi kedua di dunia, Taipei 101 (509 meter) dan mencoba naik ke dalamnya dengan lift tercepat di dunia (1.010 meter/menit). 

Sebelum pulang, kami menitipkan kepada Fachrul Razi oleh-oleh “bijeh boh timon taiwan” yang memang terkenal di Aceh. Kali ini ia bisa mendapatkannya langsung dari Taiwan. 

Tulisan ini juga di publish di Serambi Indonesia.