OLEH MUSLEM DAUD, MEd. Mgmt, Dosen Universitas Serambi Mekkah, sekarang mahasiwa Program Doktoral Educational Measurement and Statistics di NTCU,Taichung-Taiwan
BILA Indonesia punya aturan Wajib Belajar (Wajar) 9 Tahun sejak 1994, Taiwan justru sudah menerapkannya sejak tahun 1968. Artinya, Indonesia tertinggal 26 tahun jika kita merujuk pada regulasi Wajar Indonesia berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1994.
Kemudian, sejak tahun 2005/2006, artinya delapan tahun lalu, Pemerintah Taiwan sudah berpikir untuk menerapkan Wajib Belajar 12 Tahun. Ini berarti, biaya pendidikan untuk Sekolah Dasar (SD = 6 tahun), (SLTP = 3 tahun) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA = 3 tahun) total 12 tahun, semuanya gratis karena ditanggung negara.
Kebijakan ini ditempuh karena Taiwan ingin semua anak negerinya wajib sekolah hingga tamat SLTA (SMU/MA).
Selain itu, berbagai kajian dilakuan dan langkah-langkah strategis pun diambil. Sejauh yang saya amati, kajian-kajian yang dilakukan itu, antara lain, menjaring pendapat masyarakat tentang regulasi yang akan dijalankan ini. Salah satu hasil tahun 2006 menunjukkan bahwa 78,4% masyarakat Taiwan mendukung rencana pemerintah ini (Depdiknas Taiwan, 2006).
Hasil polling ini turut menyemangati pemerintah bahwa apa yang mereka rencanakan mendapat dukungan mayoritas penduduk. Topik Wajar 12 Tahun ini kemudian turut menghiasi diskusi-diskusi anggota dewan Taiwan untuk melahirkan undang-undang guna menopang program nasional ini.
Sementara itu, kementerian terkait mengambil langkah-langkah perencanaan jangka panjang untuk pendanaan supaya Program Wajar ini bisa dijalankan.
Di samping itu, dinas terkait juga memperbaiki infrastruktur pendidikan, perekrutan guru dan tenaga kependidikan yang memadai, serta menyediakan media dan resource pendidikan (buku-buku perpustakaan, alat-alat lab, dan lainnya) yang memadai sehingga ketika Wajar 12 Tahun ‘ketok palu’, maka semuanya sudah siap.
Otomatis pula pihak sekolah negeri tidak punya alasan untuk mengutip biaya apa pun dari orang tua murid ketika Wajar 12 Tahun dijalankan di Negeri Formosa ini. Dengan demikian, Taiwan akan mengukir sejarah sekaligus wajah baru di bidang pendidikan untuk kemudian duduk sejajar dengan beberapa negara yang punya kebijakan serupa seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Polandia.
Di sisi lain, Indonesia sejak tahun 2012, sudah mulai juga mewacanakan Wajar 12 Tahun dan kabarnya akan diterapkan tahun 2014 ini. Kita percaya bahwa selama tiga tahun ini (note: Taiwan butuh delapan tahun), berbagai kajian dan analisis sudah dipertimbangkan masak-masak untuk kesuksesan Wajar 12 Tahun. Namun, yang dikhawatirkan adalah implementasi di lapangan nantinya berkaitan dengan pendanaan yang membuat sekolah terpaksa harus tetap mengutip biaya dari murid walau program itu sudah dilaksanakan.
Oleh karena itu, Pemerintah Aceh sebetulnya bisa ‘mencuri’ start penerapan dan penganggaran untuk “Wajar 12 Tahun Aceh” yakni dengan mengalokasikan anggaran dari dana Otonomi Khusus untuk dunia pendidikan sejak SD hingga SLTA untuk tahun 2014. Tentunya program dan penganggaran ini harus dibarengi dengan qanun (peraturan daerah), sehingga dana ini bisa cair tepat waktu.
Saya yakin Program Wajar Aceh sangat signifikan dan tidak saja bermanfaat ganda; untuk mengatasi ketertinggalan kualitas manusia Aceh masa depan dan sebagai subsidi kepada orang tua, tetapi juga bagian dari tanggung jawab eksekutif dan legislatif Aceh terhadap penerapan hadis Nabi saw yang berbunyi Utlubul ilma minal mahdi ilal lahdi (Tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang lahat).
Hadis di atas merupakan salah satu rujukan jitu yang mengindikasikan bahwa pendidikan adalah wajib. Sayangnya, rujukan ini tidak sepenuhnya dijadikan referensi oleh pemerintah kita dalam merancang program dan pendanaan pendidikan di tanah air, sekalipun kebanyakan kita adalah muslim. Itu yang, antara lain, membedakan kita dengan Taiwan. Lantas pertanyaannya, kalau rakyat Taiwan bisa, mengapa kita tidak?
Tulisan ini juga di publish di koran Serambi Indonesia