Ranup Lampuan

Aceh student Association in Taiwan

Likok Pulo

Memperknalkan marwah bangsa dan budaya adalah kewajiban bagi kami, walau jauh dari negeri "Indatu"

Halal Bihalal Idul Adha 2012

Kebersamaan di hari yanng mulia adalah kebahagian yang tak terkira hidup di negeri orang

Edventure

Merasakan apa yang belum pernah ada di negeri sendiri adalah cita-cita dari setiap individu

Taipei 101

"If you can dream it, you can do it" Bermimpilah setinggi-tingginya.

Monday, February 17, 2014

Wajah Baru Pendidikan Taiwan

OLEH MUSLEM DAUD, MEd. Mgmt, Dosen Universitas Serambi Mekkah, sekarang mahasiwa Program Doktoral Educational Measurement and Statistics di NTCU,Taichung-Taiwan
BILA Indonesia punya aturan Wajib Belajar (Wajar) 9 Tahun sejak 1994, Taiwan justru sudah menerapkannya sejak tahun 1968. Artinya, Indonesia tertinggal 26 tahun jika kita merujuk pada regulasi Wajar Indonesia berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1994.
Kemudian, sejak tahun 2005/2006, artinya delapan tahun lalu, Pemerintah Taiwan sudah berpikir untuk menerapkan Wajib Belajar 12 Tahun. Ini berarti, biaya pendidikan untuk Sekolah Dasar (SD = 6 tahun), (SLTP = 3 tahun) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA = 3 tahun) total 12 tahun, semuanya gratis karena ditanggung negara.
Kebijakan ini ditempuh karena Taiwan ingin semua anak negerinya wajib sekolah hingga tamat SLTA (SMU/MA).
Selain itu, berbagai kajian dilakuan dan langkah-langkah strategis pun diambil. Sejauh yang saya amati, kajian-kajian yang dilakukan itu, antara lain, menjaring pendapat masyarakat tentang regulasi yang akan dijalankan ini. Salah satu hasil tahun 2006 menunjukkan bahwa 78,4% masyarakat Taiwan mendukung rencana pemerintah ini (Depdiknas Taiwan, 2006).
Hasil polling ini turut menyemangati pemerintah bahwa apa yang mereka rencanakan mendapat dukungan mayoritas penduduk. Topik Wajar 12 Tahun ini kemudian turut menghiasi diskusi-diskusi anggota dewan Taiwan untuk melahirkan undang-undang guna menopang program nasional ini.
Sementara itu, kementerian terkait mengambil langkah-langkah perencanaan jangka panjang untuk pendanaan supaya Program Wajar ini bisa dijalankan.
Di samping itu, dinas terkait juga memperbaiki infrastruktur pendidikan, perekrutan guru dan tenaga kependidikan yang memadai, serta menyediakan media dan resource pendidikan (buku-buku perpustakaan, alat-alat lab, dan lainnya) yang memadai sehingga ketika Wajar 12 Tahun ‘ketok palu’, maka semuanya sudah siap.
Otomatis pula pihak sekolah negeri tidak punya alasan untuk mengutip biaya apa pun dari orang tua murid ketika Wajar 12 Tahun dijalankan di Negeri Formosa ini. Dengan demikian, Taiwan akan mengukir sejarah sekaligus wajah baru di bidang pendidikan untuk kemudian duduk sejajar dengan beberapa negara yang punya kebijakan serupa seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Polandia.
Di sisi lain, Indonesia sejak tahun 2012, sudah mulai juga mewacanakan Wajar 12 Tahun dan kabarnya akan diterapkan tahun 2014 ini. Kita percaya bahwa selama tiga tahun ini (note: Taiwan butuh delapan tahun), berbagai kajian dan analisis sudah dipertimbangkan masak-masak untuk kesuksesan Wajar 12 Tahun. Namun, yang dikhawatirkan adalah implementasi di lapangan nantinya berkaitan dengan pendanaan yang membuat sekolah terpaksa harus tetap mengutip biaya dari murid walau program itu sudah dilaksanakan.
Oleh karena itu, Pemerintah Aceh sebetulnya bisa ‘mencuri’ start penerapan dan penganggaran untuk “Wajar 12 Tahun Aceh” yakni dengan mengalokasikan anggaran dari dana Otonomi Khusus untuk dunia pendidikan sejak SD hingga SLTA untuk tahun 2014. Tentunya program dan penganggaran ini harus dibarengi dengan qanun (peraturan daerah), sehingga dana ini bisa cair tepat waktu.
Saya yakin Program Wajar Aceh sangat signifikan dan tidak saja bermanfaat ganda; untuk mengatasi ketertinggalan kualitas manusia Aceh masa depan dan sebagai subsidi kepada orang tua, tetapi juga bagian dari tanggung jawab eksekutif dan legislatif Aceh terhadap penerapan hadis Nabi saw yang berbunyi Utlubul ilma minal mahdi ilal lahdi (Tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang lahat).
Hadis di atas merupakan salah satu rujukan jitu yang mengindikasikan bahwa pendidikan adalah wajib. Sayangnya, rujukan ini tidak sepenuhnya dijadikan referensi oleh pemerintah kita dalam merancang program dan pendanaan pendidikan di tanah air, sekalipun kebanyakan kita adalah muslim. Itu yang, antara lain, membedakan kita dengan Taiwan. Lantas pertanyaannya, kalau rakyat Taiwan bisa, mengapa kita tidak? 
Tulisan ini juga di publish di koran Serambi Indonesia

Berlibur di Kampus Taiwan

OLEH JAMILAH AKBAR, Konselor Sekolah Sukma Bangsa Bireuen, penerima Beasiswa Pemerintah Aceh, melaporkan dari Taiwan
LIBURAN musim dingin di Taiwan saat ini sedang berlangsung. Pada musim liburan inilah saya justru menemukan begitu banyak fakta menarik tentang kebiasaan unik masyarakat di Taiwan. Salah satunya adalah kebiasaan berlibur di kampus, termasuk di tempat saya kuliah (Program S2 Konseling pada National Chiayi University). Ya, kampus adalah salah satu tempat liburan utama bagi masyarakat Taiwan dan juga kaum pendatang.
Tak bisa dipungkiri bahwa kampus-kampus di Taiwan sangat beda suasananya. Hampir seluruh universitas di sini memiliki lingkungan yang asri dan sangat nyaman. Pepohonan yang rindang, karya seni beraneka macam, taman bunga yang menawan, serta danau buatan dengan pemandangan yang menyejukkan mata, sangat mudah dijumpai di setiap kampus. Beberapa kampus terkenal malah memiliki desain gedung yang unik, museum bertema khusus plus taman bunga warna-warni yang kemudian menjadi objek wisata dan tempat favorit bagi orang/keluarga yang ingin tamasya.
Apalagi coffe shop, minimarket, dan guest house tersedia lengkap untuk memenuhi kebutuhan pengunjung. Bus kota dari dan ke kampus juga terjadwal sepanjang hari. Pihak kampus tampaknya memang dengan sengaja secara khusus membuat lingkungan kampus menjadi nyaman dan merawatnya dengan baik, sehingga layak dinikmati oleh siapa pun. Bukan hanya untuk warga kampus, tapi juga bagi masyarakat umum yang haus akan tempat liburan alternatif selain mal atau pusat-pusat perbelanjaan.
Perpustakaan adalah daya tarik lain dari berwisata di kampus-kampus Taiwan. Perpustakaan yang luas dan nyaman sangat umum untuk dijumpai. Rata-rata perpustakaan kampus baik negeri maupun swasta berukuran sangat luas, dilengkapi wi-fi gratis, ruang baca yang nyaman, serta bahan bacaan yang sangat memadai (mulai dari komik sampai buku/jurnal berskala lokal maupun internasional). Perpustakaan ini juga dapat diakses oleh hampir seluruh lapisan masyarakat, mulai dari mahasiswa, pengunjung dari kampus lain, serta masyarakat umum.
Bagi pengunjung yang berstatus mahasiswa, tak peduli dari kampus mana dia berasal, asalkan dapat menunjukkan kartu mahasiswanya, maka mereka dapat berkunjung dan menikmati layanan perpustakaan di sana secara gratis. Sedangkan bagi masyarakat umum dapat akses yang sama dengan menunjukkan kartu tanda pengenal resmi/KTP.
Hal lain yang juga menarik adalah perpustakaan di sini tetap buka sampai malam hari maupun pada hari libur.
Di masa liburan ini pula saya saksikan banyak anak kecil yang berkunjung ke pustaka ditemani orang tuanya dan menghabiskan waktu di sana seharian untuk membaca buku.
Selain universitas, kompleks sekolah dasar dan menengah juga menjadi pilihan utama. Berbeda jauh dengan desain sekolah pada umumnya di negara kita, SD dan SMP di Taiwan desainnya sangat menarik dan indah dipandang. Gedung dan lapangan yang luas, cat warna-warni, tembok sekolah yang penuh lukisan dan poster edukasi, lingkungan yang bersih dari sampah, ditambah lagi taman bunga yang cantik, sehingga membuat semua orang betah berlama-lama di sini.
Bahkan beberapa sekolah dasar dan menengah secara khusus telah menjadi tujuan field trip atau kunjungan lapangan bagi mahasiswa-mahasiswi. Terutama jika sekolah dasar dan menengah tersebut memiliki program pengembangan budaya lokal dan komunitas.
Sebuah pengalaman yang sangat berharga saya peroleh ketika mengunjungi SD Evergreen Lily dan Sekolah Menengah Timur di Pingtung, daerah bagian selatan Taiwan. Kedua sekolah ini secara nyata unik. Terletak di daerah perbukitan yang dikelilingi perkampungan masyarakat suku asli Taiwan, sekolah ini telah menjadi tujuan utama wisata sejak lama. Di sini pengunjung dapat mempelajari secara dekat bagaimana sekolah melestarikan kebudayaaan daerah dan mengembangkan program komunitas bagi siswa-siswinya. Materi kebudayaan dan kearifan lokal seperti adat istiadat, bahasa, sastra, dan seni menjadi bahasan utama.
Berbagai contoh program unggulan yang telah terlaksana serta hasil karya siswa dipamerkan untuk dinikmati oleh umum. Berbagai hasil karya siswa yang unik dapat dibeli oleh pengunjung sebagai cenderamata dan sekaligus untuk penggalangan dana (fund rising). Pihak sekolah juga menyediakan informasi berupa video dokumenter dan diskusi interaktif dengan manajemen sekolah. Di hari-hari tertentu, para pengunjung malahan dapat berinteraksi dengan siswa secara langsung, menikmati tampilan kreasi seni dan mencoba berbagai kegiatan budaya yang unik seperti membuat kerajinan tangan, belajar tari, membuat kue, dan mencicipi kuliner khas tradisional masyarakat setempat yang disediakan khusus oleh sekolah dengan bantuan masyarakat sekitar. Sungguh sangat mengesankan. Barangkali Dinas Pendidikan bersama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh bisa mengembangkan konsep wisata yang terintegrasi seperti ini, tentu saja dengan berbasis nilai dan budaya khas Aceh. Demi Aceh yang lebih maju dan berjaya. 
Tulisan ini juga dipublish di koran Serambi Indonesia

Mayoritas Guru SD Taiwan Bergelar Master

OLEH MUSLEM DAUD, MEd.Mgmt, Dosen Universitas Serambi Mekkah, sekarang studi doktoral di NTCU Taiwan, Taichung-Taiwan
SEMESTER ini (semester III) banyak hal baru dari sisi akademik maupun nonakademik yang saya dapatkan sebagai mahasiswa di program doktoral (S3/PhD) di Universitas Pendidikan Negeri Taichung Taiwan (NTCU), Republik Cina. Salah satunya adalah mayoritas guru sekolah dasar (SD) di Taiwan ternyata bergelar master (S2).
Kondisi ini tentu berbeda jika ingin kita bandingkan dengan situasi kita di mana masih ada tenaga pengajar di perguruan tinggi yang masih memperbantukan tenaga pengajar bergelar S1. Sementara di Taiwan, guru yang sehari-hari mengajar di jenjang SD, sebagian besarnya sudah mengantongi ijazah S2. Jika kita merujuk ke Undang-Undang Sisdiknas 2003 yang mensyaratkan ijazah S2 sebagai tingkat pendidikan terendah menjadi dosen, maka sebagian besar guru SD di Taiwan sudah memenuhi kualifikasi jadi dosen di Indonesia.
Apa yang saya sampaikan ini benar-benar sebuah kejutan dari sebuah penelusuran sederhana yang tidak pernah saya rencanakan. Rasa keingintahuan saya muncul ketika awal semester ini ada satu mata kuliah yang mahasiswanya digabung antara mahasiswa lokal (berasal dari Taiwan) dan mahasiswa internasional (berasal luar Taiwan, Korea Selatan, Vietnam, Thailand, dan Indonesia). Pada semester-semester lalu, dalam kelas internasional tak ada mahasiswa lokal, tapi kali ini benar-benar beda. Dalam pikiran saya, ini kesempatan bagus untuk mendapatkan wacana dan pemahaman baru dari sudut pandang berbeda lewat berbagai presentasi, adu argumentasi, dan seterusnya.
Tak ada yang berbeda dalam bulan pertama dan kesan yang ada adalah saya bersama rekan kelas internasional lainnya mendapatkan kesempatan bagus untuk belajar dengan mahasiswa/i lokal.
Pada bulan kedua, sudah mulai ada persentasi, pemaparan ide, dan tanya jawab yang intens di dalam kelas. Hal ini dikarenakan sebelum memaparkan presentasi mereka memperkenalkan diri yang membuat mahasiswa internasional tercengang sekalipun kami coba menutupinya. Di slide pertama presentasi mereka cantumkan nama beserta tempat mereka bekerja. Ternyata, rata-rata rekan sekelas saya itu guru SD. Hanya dua orang yang dosen. Kenyataan di atas itulah membuat saya ingin mengetahui lebih jauh tingkat pendidikan guru SD Taiwan mengingat rekan-rekan sekelas kami tersebut sekarang sedang mengambil program doktor. Bagaimana dengan guru-guru SD lainnya?
Berdasarkan pertanyaan di atas, saya meminta waktu berdiskusi dengan beberapa rekan tersebut. Diskusi pertama saya lakukan dengan rekan bernama Lu-Yu Ju, guru SD Li Xing Xiao Xue di Kecamatan Bei Xi Taichung. Ia katakan, di sekolahnya paling kurang terdapat 80% guru sudah S2, sementara 5% persennya sudah S3.
Diskusi kedua saya lakukan dengan rekan bernama Bai-Xiao Shan, guru SD Chang Hua Xiao Xue di Kecamatan Chang Hua. Menurutnya, di sekolahnya paling kurang 60% guru sudah S2, sementara 4% sudah S3. Ia tambahkan bahwa sekolahnya tergolong sekolah besar sehingga kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi harus disiasati dengan beban mengajar bagi guru-guru. 
Sementara itu, diskusi ketiga saya lakukan dengan rekan bernama Shih-Hsiu Chia, guru SD Guan Fu Xiao Xue, berasal dari luar Kota Taichung (Kabupaten Nantao). Ia sebutkan bahwa di sekolahnya paling kurang 80% guru sudah S2, sementara 10% persennya S3.
Untuk mengkroscek informasi itu, saya minta kesempatan untuk berdiskusi dengan rekan bernama Chun-Jey Chang, pegawai Dinas Pendidikan Kota Taichung. Ia juga salah seorang mahasiswa di dalam kelas kami kali ini. Dia tak dapat menyebutkan secara pasti berapa persentasi guru Taichung yang sudah S2. Namun ia perkirakan 70% hingga 80% sudah S2 dan antara 3% hingga 7% sudah S3. Sementara sisa lainnya masih S1 yang terdiri atas guru baru diangkat atau guru-guru yang akan memasuki masa pensiun.
Berdasarkan paparan di atas, maka analogi sederhananya, jika guru SD saja rata-rata sudah S2 (bahkan sudah S3), maka guru SLTP, apalagi SLTA hampir dapat dipastikan persentase tingkat pendidikan, khususnya yang sudah S2 pasti lebih tinggi. Pantas saja Taiwan selalu berada di peringkat dunia dalam pencapaian prestasi pendidikan, karena guru-guru mereka berpendidikan lebih tinggi satu hingga dua tingkat dari guru-guru lain di dunia (lihat hasil PISA 2013). Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan ini menginspirasi kita di Aceh, daerah yang salah satu keistimewaannya justru di bidang pendidikan.
Tulisan ini juga di publish di koran Serambi Indonesia

Makan Tidur di SD Taiwan

OLEH PUAN TURSINA, mahasiswi Program Magister di University Chiayi, Chiayi-Taiwan.
TANPA terasa lima bulan sudah saya tinggalkan Aceh, bermukim di Taiwan untuk melanjutkan kuliah. Waktu terasa begitu singkat. Saat ini tinggal menunggu hasil akhir dari semua usaha yang sudah saya lakukan selama satu semester mendalami ilmu di National Chiayi University.
Saat kuliah saya mengambil mata kuliah Theories and Methods of  Teaching. Salah satu tugas yang harus dilakukan adalah mengobservasi guru mata pelajaran bahasa Inggris di sebuah sekolah dasar (SD). Semua serba menakjubkan, padahal SD yang saya datangi itu letaknya di sekitar pinggiran kota. Namanya Minhsiung Elementary School, Chiayi.
Alasan saya memilih sekolah ini karena saya hanya memiliki sepeda sebagai alat transportasi dan letak sekolah itu dekat dengan asrama tempat saya tinggal.
Banyak hal menarik yang saya dapatkan selama melakukan observasi dan berbeda jauh dibandingkan proses pembelajaran yang ada di kampung halaman saya, Aceh. Hal-hal yang berbeda itu, antara lain, disediakan menu makan siang dan kesempatan untuk tidur siang bagi murid-muridnya sebelum melanjutkan pelajaran sesi siang.
Sebenarnya jadwal belajar murid di sini tak jauh beda dengan sebagian SD di Aceh, mereka mulai belajar dari pukul 07.30-04.00. Menurut amatan saya, ini hal yang unik, pada pukul 12.00 siang mereka istirahat, makan siang bersama dengan melahap makanan yang disediakan sekolah.
Setelah sesi makan siang usai, murid-murid diharuskan tidur siang hingga pukul 01.10 dan pelajaran selanjutnya dimulai pada pukul 01.20. Hal seperti ini sebetulnya juga diterapkan di Jepang. Nah, apakah Aceh mau mencobanya?
Hal lain yang beda adalah ruangan khusus. Sekolah ini menyediakan ruangan khusus untuk mata pelajaran bahasa Inggris atau language classroom.  Jadi, tidak dilaksanakan di kelas yang sama seperti mata pelajaran lainnya di negeri kita. Kelasnya pun bagus sekali. Penuh dengan poster, hiasan, dan kata-kata yang sesuai dengan momen tertentu yang sedang diperingati. Kebetulan pada saat saya melakukan penelitian, mereka baru saja merayakan Halloween. Jadi, dekorasi dan kata-katanya banyak yang berbau Halloween.
Hal menarik lainnya adalah fasilitas-fasilitas yang tersedia di dalam kelas seperti rak beserta buku-buku yang menarik terletak di sisi kiri-kanan kelas.
Di setiap kelas juga tersedia dua papan tulis, diletakkan di sisi yang berbeda: di sebelah kiri dan kanan tempat duduk murid. Satu di antaranya papan tulis biasa yang bisa ditulisi dengan kapur dan di sisi lainnya tersedia interactive white board (IWB), fasilitas canggih dan keren yang sedang menjamur di negeri Formosa ini. Setiap proses pembelajaran, guru pasti akan menggunakan kedua papan tulis tersebut.
Jumlah murid pada satu kelas tergolong banyak, lebih kurang 30 orang. Oleh sebab itu, guru membagi murid menjadi beberapa kelompok.
Yang agak aneh, belajar bahasa Inggris di sini dalam seminggu hanya dua kali. Setiap pertemuan hanya menghabiskan waktu 40 menit. Tapi untuk belajar bahasa Inggris di bimbingan belajar atau kursus (cram school)--begitu orang Taiwan menyebutnya--menghabiskan waktu dua jam. Di kursus inilah guru lebih menekankan pada skill reading atau kemampuan membaca.
Selain itu, ada kotak kecil berisi papan nilai di sudut papan tulis. Letaknya di sudut atas kiri papan tulis biasa. Di situ diterakan nilai murid dalam kelas tersebut. Cara ini digunakan guru untuk memotivasi murid dan salah satu cara agar murid tidak bandel selama belajar. Papan nilai ini bisa menunjukkan tingkat keseriusan murid selama belajar. Barangkali guru-guru kelas di Aceh bisa mencoba cara ini.
Tulisan ini juga dipublish di Koran Serambi Indonesia

Sunday, October 20, 2013

Lebaran Tanpa Timphan

Oleh ZIKRA YANTI, mahasiswa asal Aceh yang tengah menempuh pendidikan Magister di Taichung, Taiwan.
INI lebaran Idul Adha kedua saya di Taiwan. Di hari yang suci ini, rasa kangen terhadap kampung halaman tak terbendung. Saya membayangkan bisa merayakan lebaran bersama suami, anak, orang tua terkasih, dan teman-teman dekat yang penuh canda. Tak Ada yang cukup tepat untuk menggambarkan betapa indahnya lebaran di kampung bersama keluarga dan sanak saudara. Apalagi, sehari atau dua hari menjelang hari raya, di kampung ada tradisimakmeugang, sebutan untuk pesta daging yang dilakoni masyarakat Aceh.
Bayangan lebaran di Tanah Seulanga terus menari-nari di kepala: makan lontong, sirup manis aneka rasa dan warna disajikan kala berkunjung ke rumah tetangga atau saudara, kue loyang, grieng, bhoi, kacang tojin, dan yang paling mengangenkan adalah timphan.
Ya, ini kali kedua saya berlebaran Idul Adha tanpa makanan itu, tanpa timphan, mengingat saya sedang di perantauan, di Negeri Farmosa (Taiwan) untuk mengembang tugas menuntut ilmu, demi meraih gelar magister. Walau lebaran di Taiwan tak seindah di kampung halaman, tetapi ada hal-hal yang patut disyukuri mengingat saya tidak sendiri dan teman-teman seiman dari belahan dunia lain menjadi pelengkap kehangatan dan kebahagian di hari yang spesial untuk kaum muslim.
Saya sendiri menetap di Kota Taichung, lebih kurang 2 sampai 3 jam perjalanan dari Taipe, ibu kotanya Taiwan. Di pagi Idul Adha, kami menuju masjid dengan jarak tempuh 15 menit dari kampus menggunakan bus dalam kota. Sesampai di masjid, jumlah jemaah yang hadir juga lumayan mengingat banyaknya pekerja muslim dari Indonesia ikut hadir, ditambah lagi dengan pelajar-pelajar muslim dari dari negara lainnya seperti Afrika, India, Turki, Timur Tengah, dan lainnya.
Hal yang menarik adalah dengan adanya bazar kelengkapan muslim dan muslimah yang dikoordinir oleh pekerja Indonesia. Tak jarang banyaknya pekerja wanita yang datang pagi-pagi untuk membeli baju baru dan kemudian langsung menuju kamar mandi untuk mengganti pakaian yang mereka pakai dengan yang baru dibeli.
Sedikit iseng saya bertanya pada seorang pekerja asal Jawa Timur. “Kok diganti, Mbak bajunya.”
“Kan mau pakai baju yang baru,” si Mbak itu menjawab, sambil tersipu, “soalnya kan lebaran, masa pake baju lama, malu dong.” Kali ini ia tersenyum sembari membetulkan bajunya. “Cantik, ngga?” tanyanya.
Hen piaoliang,” saya spontan menjawabnya. Ini adalah ungkapan untuk menyebutkan “sangat cantik”.
Sambil tersipu, si Mbak tadi bilang, “Tolong potoin dong, Mbak.”
Ingin tertawa, tapi saya tahan, sambil menjepret si Mbak dengan baju baru di Idul Adha ini.
Usai salat Idul Adha, jatah kue gratis pun dibagikan untuk mengganjal perut yang masih kosong, lalu dilanjutkan dengan pemotongan hewan kurban massal, yang dimotori oleh dua kelompok yaitu perkumpulan muslim Taichung dan ikatan pekerja Indonesia. Bagi semua warga Indonesia yang ada di sana akan mendapatkan jatah daging kurban yang bias dibawa pulang ke rumah masing-masing. Tapi, tentu, harus mendaftarkan diri dulu ke panitia kurban.
Ritual Idul Adha ditutup dengan makan siang bersama. Bagian ini merupakan kegiatan yang paling ditunggu-tunggu, mengingat menu makan yang disediakan pasti lebih spesial dibandingkan dengan hari Jumat biasanya. Ya, itung-itung sebagai pengganti lontong atau timphan di kampung sendiri.

Wednesday, October 9, 2013

ZAUJATUL AMNA AFGANURISFA: “MY FATHER’S DREAM MADE MY LIFE AS PSYCHOLOGIST”

Cerita ini berawal pertengahan tahun 2004, di suatu sore, aku dan Ayah, duduk sore di beranda rumah yang pada waktu itu ayah sibuk menikmati kopinya. Tampak seperti biasa, dengan senyum khasnya, membuatku tenang dan nyaman, ya senyuman itu selalu di dambakan anak-anaknya, apalagi aku. Ayah orang yang sangat idealis, namun humoris dan bersahabat. Aku masih inget ketika itu disaat aku hampir menuntaskan SMA ku, dimana sedang “galau-galaunya” memilih jurusan  ke tingkat selanjutnya. Akupun  memutuskan untk berdiskusi dengan Ayah.
“Yah…panggilku lirih” ayahpun menoleh seketika dan tersenyum, seolah-olah ayah mengerti dengan perasaanku sore itu. Kenapa aneuk resah? Tentang kuliah ya? Sebenarnya tidak membuatku kaget, kalau ayah seolah-olah ayah bisa membaca pikiranku yang sedang kacau. Dengan nada lesu aku menjawab, “iya Yah” harus kuliah apa, kemana? Pusing Yah, terlalu jauh dan banyak biaya yang dihabiskan” Jelasku panjang lebar tentang program beasiswa di sekolah beberapa hari lalu menerima informasi siswa berprestasi di sekolah untuk kuliah di Jawa. Dengan nada lembut dan mengayominya ayah kembali mencoba menenangkan aku yang sedang “galau” dengan perasaan yang tidak jelas dan bercampur aduk. Ayah memberikan beberapa gambaran. Termasuk memberikan aku ketenangan yang terus memikirkan besarnya angka yang harus dibayar persemester. Apalagi aku suka dan berniat untuk kuliah jurusan kedokteran gigi, angka jutaan yang terpampang membuat aku surut mundur teratur dan menyembunyikan keinginanku depan ayah. Namun, lagi-lagi ayah seakan bisa membaca pikiranku, ayah seolah-olah tidak ingin aku mnguburkan keinginanku, ayah memberikan keputusan terakhir padaku. hingga ayah memberikanku waktu untuk berpikir sebelum deadline beasiswa tersebut. Aku yang masih euphoria dengan kuliah kedokteran gigi, aku tetap kekeuhdengan keinginan ingin menjadi dokter gigi. hingga suatu hari sepulang sekolah, aku membawa semua brosur ke hadapan ayah. Aku yang euphoria karena akan mengisi brosur beasiswaku, dimana setiap siswa diminta untuk mencantumkan tiga pilihan jurusannya. Sudah pasti urutan satu kedokteran gigi, karena tidak ada yang lain yang aku suka. Setelah ayah melihat brosur, ayah mengeluarkan kata-katanya, “Psikologi nggak suka Nak? Kan psikologi juga bagus, apalagi untuk Aceh, bagus itu, karena ini masih baru bagi Aceh dan Aceh akan sangat membutuhkannya di tahun yang akan datang. Psikologi itu ilmu jiwa. Dulu ayah pengen sekolah psikologi namun Ummi (sebutan alm. ibunda ayah) tidak punya biaya dulu buat ayah. Namun, ayah ga akan memaksa juga kalau Aneuk ga suka” jawab ayah, dan tiba-tiba “ya..kan masih bisa diteruskan anak Yah, dan itu kan bisa jadi pilihan jurusan dia yang kedua, kan belum tentu juga lolos dimana” timpal Mamak dari belakang. Tapi kalo lolos aku ga suka ya, psikologi itu susah, kayak ilmu dukun, menebak dan membaca pikiran orang, nanti jadi tukang ramal atau jadi guru judes, jadi guru bimpen“ jelasku mengulas alasan. Sementara ayah hanya tersenyum melihat gaya kekanak-kanakan. Setelah berdiskusi dan ayah memberi gambaran demi gambaran tentang jurusan, hingga akhirnya aku memutuskan utnuk menulis psikologi pilihan kedua dan ilmu keperawatan pilihan ketiga.
****
Bulan berlalu sudah, hingga akhirnya tiba lah ujian EBTANAS, karena kecemasan dan persiapan akan ujian aku pun lupa dengan beasiswa  berprestasi. Setelah berhasil melewati ujian EBTANAS, aku pun berhasil luluS dengan angka yang memuaskan. Namun balasan beasiswa juga tak kunjung datang, hingga akhrnya tibalah masa dimana pembukaan untuk pendaftaran perguruan tinggi, akhirnya aku memutuskan untuk kuliah di perguruan tinggi di Banda Aceh, Universitas Syiah Kuala dengan jurusan kedokteran gigi. Aku tetap kekeuhdengan pilihanku sendiri. Setelah semua proses administrasi selesai aku pun harus menunggu bulan depan untuk tes masuk perguruan tinggi. Hingga akhirnya Tuhan memberikan cobaan di keluarga kami, Mamak masuk rumah sakit. Kurang lebih Mamak di rumah sakit waktu itu, disaat bersamaan aku dapat telepon dari Universitas Diponegoro kalau aku diterima tanpa tes sebagai mahasiswa di UNDIP dengan jurusan psikologi. Sekilas aku sempat melihat ayah tersenyum, sementara aku antara senang dan tidak. Senang karena aku masuk ke universitas ternama no. 5 di Indonesia (pada saat itu) tidak senang, karena bukan jurusan yang aku sukai. Namun karena aku melihat senyuman di wajah ayah, aku pun menguburkan mimpiku sebagai dokter gigi. setelah aku memutuskan untuk sekolah di UNDIP, jawa tengah, lagi-lagi Allah memberi cobaan terberat padaku saat itu. Allah mengambil malaikat bumiku. Mamak meninggal dunia disaat aku pergi untuk membeli tiket pesawat, untuk keberangkatan 10 hari kemudian. Ketika aku pulang, aku kaget, di rumah banyak orang, sementara aku bingung dengan keadaan rumah yang tiba-tiba rame, dan ayah langsung menyambutku di pintu dan memelukku sambil berbisik, Mamak telah tiada. Aku ternganga dan tiba-tiba aku menangis, sambil meremas tiket pesawat ditanganku.
Kepergian Mamak membuatku sangat terpukul, dan aku bertekad tidak akan kuliah di Semarang, aku akan disini saja, Banda Aceh. Batinku sesak. Seolah-olah kebahagiaanku terenggut bersama kepergiaan Mamak, aku pun tidak ada keinginan untuk pergi meninggalkan rumah, hingga suatu hari setelah tujuh hari meninggal Mamak, Ayah mendekatiku dan berkata pelan “ Nak, kapan berangkat sekolah ke Jawa”?. Aku yang masih terpukul tidak bisa menjawab, hanya menggeleng keras. Ayah yang cukup sabar, lalu bertanya “ menggeleng, artinya tidak tahu mau berangkat kapan kan?” jawab ayah yang terus memberiku semanngat walaupun aku tahu, apa arti aku menggeleng kepala.
Sambil menangis dan menjatuhkan kepala di pangkuan Ayah, aku berkata ”Aku ga mau pergi Yah, aku ga mau, aku mau disini bersama ayah, aku ga mau seperti Mamak, Mamak menghembuskan napasnya, tapi aku ga ada disampingnya Yah” lirihku iba di pelukan ayah.
Sambil mengusapkan kepalaku ayah berusaha tegar dan berkata “ Nak, jadi gara-gara itu?coba dengarkan ayah ya?” kalau ALLAH berkehendak, kita serumah pun, kita ga bisa melihat ketika ibu menghembus napas terakhir bukan? Bukankah kita masih serumah ketika ibu meninggal? Jadi ga ada bedanya kamu di jawa, kamu di luar negeri, kamu dirumah, kalau ALLAH tidak menginjinkan kamu ada disamping ibu, maka itu tidak akan terjadi. Yang paling penting adalah doa dari anak yang shalehah, bukan yang penting anaknya ada disampingnya. Ada disamping tapi ga pernah berdoa untuknya? Buat ayah lebih memilih ga ada di samping saat menghembus napas terakhir, tapi anaknya selalu mendoakannya setelah mereka tiada”. ucap ayah memberiku semangat, sekilas aku masih ada senyuman di wajah ayah, walaupun aku yakin itu senyum paksaan. “pergilah nak, jadilah seorang psikolog, psikolog bagi keluarga, bagi Aceh” kata ayah dengan mata berbinar dan sangat semangat. Melihat semangat ayah, akupun iba dan hingga akhirnya aku emmutuskan untuk pergi, walaupun aku ga  yakin dengan diriku sendiri.
***
Akhirnya, aku memutuskan untuk kuliah di undip dengan jurusan psikologi, meskipun kepergian ibu masih membayangi kehidupanku, aku berusaha untuk tegar. Kakakku yang laki-laki mengantarkanku sampai ke Semarang dan setelah hidupku settle di Semarang, semiggu kemudian kakakku kembali ke Aceh. Sebelum dia pulang, iya berpesan “Dik, jadilah psikolog untuk Ayah” pesannya singkat, aku hanya tersenyum. waktu terus berjalan, sementara psikologi masih susah untuk kuterima, namun untuk membahagiakan ayah aku paksakan diri untuk suka, namun sesuatu yang dipaksakan pasti berujung jelek, itulah yang terjadi padaku, akihrnya semester satu pun berlalu, saatnya aku menerima hasil kerja keras semesterku, tak percaya betapa kagetnya aku, nilai IPK terpampang 2.00 disana. Belum habis rasa kagetku, berita duka menyambar wilayah Aceh secara utuh, Tsunami berkekuatan 6.8 SR melanda Aceh, dan menewaskan ribuan nyawa. Aku kembali terpuruk, kaget dan menangis, kenapa cobaan datang sekaligus, belum genap kepergian mamak setahun, aku harus hadapi dengan peristiwa pahit kehilangan dua kakak perempuan kandung, 4 keponakanku dan keluarga besar. Aku menangis karena peristiwa yang menimpa keluarga di tambah dengan aku telah membuat ayah kecewa. Hingga suatu hari aku setelah beberapa minggu paska tsunami aku memberanikan diri berbicara dengan ayah. Sementara ayah hanya diam dan membiarkanku menangis dan melepaskan semua curahan penyesalanku tentang IPK yang sangat jelek.
Aku menagis di hadapaan ayah, kemudian ayah berkata“ ayah sudah tahu dari seminggu lalu, ayah menunggu kok tidak ada kabar darimu semenjak nilai diterima, makanya ayah menunggu” sambungnya yang saat itu membuat aku syok. “ apa? ayah sudah tahu?  Kok bisa” batinku penasaran”.
Rasanya belum habis rasa penasaranku, ayah kembali mengatakan” pihak kampus mengirimi ayah hasilnya, makanya ayah tahu” tapi ayah tidak kecewa, ini hasil yang bagus menurut ayah, karena sabagai orang yg tidak suka sama jurusannya,, tapi masih bagus sebagai pemulaan di awal, dari pada  satu koma nol atau nol koma satu? Hayo…” ayah berusaha bercanda, sementara aku dipenuhi dengan rasa menyesal, malu dan sulit mengekpresikan perasaan itu terhadapnya.
“yah, ini memalukan, yah Aneuk ga yakin, klo tahun depan masih seperti ini, ga bisa yah, yah..pindah jurusan aja bisa? Turun ke level terendah dari psikologi pun boleh” pintaku lirih berharap ayah berkata “iya, ya sudah transfer jurusan saja”. Namun, bener kata orang jauh panggang dari api, ayah pun mengatakan tidak, beliau yakin aku bisa, bisa menuntaskankan dengan sempurna. Keyakinan ayah adalah beban buatku, bagaimana ayah bisa yakin sementara aku sendiri ga yakin. Entahlah, mungkin itu feeling orangtua… batinku menenangkan diri.
****
Hari berlalu, bulan berlalu,semester demi semester pun berlalu, bener adanya tiap semester aku pun menunjukkan peningkatan, walaupun aku tidak bisa cumlaude, hingga akhirnya aku bisa juga bisa juga merasakan yang dinamakan dengan kecemasan menghadapi sidang skripsi. Seminggu sebelum sidang, aku menelpon ayah dan menceritakan bagaimana cemasnya aku dan merasa was-was semakin mendekati hari H. Namun lagi-lagi ayah mampu menentramkan aku yang sedang gundah dengan objek yg tidak jelas bentuknya.
Salah satu omongan ayah yang masih aku ingat adalah ”ga,papa..semua orang telah melewatinya dan ayah yakin kamu mampu, nanti setelah lulus ayah akan ke jawa dan ikut wisuda, ayah bisa jalan-jalan ke Semarang dan kita akan jalan-jalan ke kota lainnya di jawa. Iming-iming ayah mampu menenteramkan hatiku. Sejak saat itu, rasa rindu jalan-jalan dengan ayah membuatku semangat dan level kecemasanku perlahan-lahan turun derajatnya hingga akhirnya aku bisa melewati sidang dengan sempurna, sebagai seorang yang dulunya tidak suka psikologi, kini aku mampu lulus dengan nilai sangat meemuaskan meskipun tidak tergolong cumlaude.
Aku menelepon ayah dan aku sangat senang, dan ayahpun sangat bangga karena kini aku lulus dari sarjana psikologi, beliau selalu bertanya dan kapan tepatnya wisuda diadakan. Setalah semuanya selesai untuk proses skripsi dan menuju persiapan wisuda, H-5 aku menelpon ayah, dan mengatakan ayah sudah bisa membeli tiket dan ke jawa karena hari wisuda sudah pasti dan ayah bisa ke jawa.
Setelah berbicara di telpon, aku pun mulai kegirangan sendiri membayangkan ayah akan datang, meskipun mamak tidak ada di tengah-tengah kami nanti. Namun aku masih memiliki rasa senang, Karena akan ada ayah, kakakku dan juga adek yang akan datang ke hari wisudaku, karena capek menghayal akhrinya aku tertidur, sementara aku tertidur nyenyak ditambah dengan gemuruh hujan yang saling bersahutan.
Seperti biasa subuh hari aku bangun, hendak mengambil wudhu, tiba2 ibu kos mengetuk pintu, dan mengatakan “Mbak, tadi kakaknya Mba dari Jakarta telpon, katanya suruh ke bandara untuk pulang ayah masuk rumah sakit, karena terpeleset kamar mandi. Lemes, terasa hitam sekeliling, mendengar kabar tiba-tiba ayah masuk rumah sakit. Aku langsung mencoba menguasai diri dan 5 menit kemudian aku mencoba meraih hp dan menelpon mbak yang di Jakarta, setelah mendengar penjelasan dari mbak, dengan baju seadanya aku menuju bandara di subuh buta yang diantarkan ibu kos menuju bandara.
Aku lupa akan hari wisuda, dan aku memilih pulang. Setelah melewati perjalanan lebih kurang 3 jam, aku bersama mbakku dari Jakarta kami tiba di rumah. Kami langsung menuju rumah setelah tante menelpon meberitahukan ayah sudah keluar dari rumah sakit, rasanya plong mendengar ayah sudah keluar dari rumah sakit walupun belum sembuh. Setelah sampai di rumah banyak tamu yang menjenguk ayah, aku lari dan masuk ke rumah, sambil berteriak “ayah aku pulaaaaang”.
Ternyata rasa kangen itu harus aku pendam untuk selama-lamanya, yang kini ada dihadapanku hanya sekujur mayat kaku, putih, tersenyum dan tak bersuara, yang siap untuk dikuburkan. Aku duduk dan entah apa yang terjadi aku ga inget. Aku hilang kesadaran sekitar 2 jam. Aku kaget, ternyata ayah sudah meninggal dari semalam, sehari setelah aku menerima telepon dengan ayah. Aku ga percaya, tiada pergi disaat aku lulus kuliah. Seolah-olah memori ikut meguraikan semuanya, ketika llulus SMA ibu pergi, sekarang Ayah. Ingin rasanya berteriak “ya ALLAH, apa rencanaMu” aku ga tahu harus seperti apa tanpa mereka. Rasanya semuanya hilang begitu saja. Hilang dan gelap.
****
Setelah ayah pergi sebulan kemudian, aku masih terpuruk dan terpukul susah untuk bangun, aku kehilangan semangat, hilang teman, hilang sahabat, juga orangtua.  Sementara kakakku terus memberikanku semangat. Karena kepergian ayah, aku sangat terpukul. Disaat aku ingin membahagiakannya, ayah pergi. Ayah tidak bisa melihat aku wisuda. Walupun aku telah mewujudkan kuliah di psikologi, namun ayah sudah tiada rasanya sudah tidak berguna sarjana psikologi yang telah kuraih. Bulan berlalu hingga akhirnya aku memasuki dunia kerja. Aku bekerja di sebuah perguruan tinggi di bidang psikologi sebagai assistant dosen. Karena untuk dosen diharus S2,  aku pun bertekad S2, “walupun aku ga yakin dengan dana S2,mohon doakan Aneuk ya” mantapku pada diri sendiri dalam hati.
Seperti biasanya aku bekerja, mulai jam 8 sampai dengan jam 5 sore. Malamnya aku ikut kursus bahasa inggris, capek karena aku harus menguras energi siang dan malam, tapi aku harus membuat ayah-mamak bangga. Sambil mengikuti kursus aku, mengikuti beberapa seleksi beasiswa dari sebuah lembaga penyedia beasiswa di Aceh. Hingga akhirnya aku mengajukan lamaran ke LPSDM beasiswa di Banda Aceh.
Setelah melalui proses yang panjang, aku dinyatakan sebagai salah satu penerima beasiswa dari lembaga itu. Hati senang bukan main, aku sangat bersyukur, aku bahagia, karena aku akan sekolah master psikologi di luar negri, Taiwan, ROC.
Setiap perjuangan pasti akan ada rintangan dan ujian, demikian juga dengan saya.  Ujian demi ujian saya temui.  Ketika saya dinyatakan lulus dari sebuah lembaga penyediaan beasiswa di salah satu lembaga di Aceh, saya merasa keberhasilan sudah bisa saya genggam. Namun, ternyata ALLAH menguji saya, seminggu kemudian tim lembaga tersebut memanggil saya, menyatakan dikarenakan sesuatu namaku terpaksa dicoret dari daftar penerima beasiswa. Terpukul dan kecewa, itulah perasaan saya pada hari itu. Mungkin Allah punya rencana lain buat saya. Begitulah  kalimat yang keluar dari mulut saya untuk membesarkan hati. Impian melanjutkan kuliah di luar negeri pupus sudah. Namun, rasa pantang menyerah dan terus berusaha tetap saya jalani, demi mencapai cita-cita. Saya yakin bahwa sesungguhnya,” kesungguhan akan membuahkan hasil”. Kata-kata ini menjadi motivasi buat saya, untuk mencoba dan terus mencoba, sampai akhirnya saya mengirim berkas aplikasi beasiswa berikutnya ikut seleksi beasiswa di sebuah jejaring kampus tingkat international.
Setelah tiga bulan berlalu, saya sempat dihinggapi perasaan was-was karena belum ada kabar apapun tentang beasiswa tersebut.  Dengan sikap positif, terus berdoa dan saya serahkan semuanya kepada Allah sambil terus memegang kata-kata “ajaib” yang saya yakini benar: man jadda wa jadda. Barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan mendapatkan hasilnya.”
Ternyata Allah menjawab doa saya. Ketika akhirnya hari Jum’at di bulan Juni, 2011 lalu saya mendapatkan telepon langsung dari Taiwan dan saya dinyatakan sebagai penerima tunggal beasiswa the Department of Social Welfare (DSW) of Taipei City Government” untuk melanjutkan Master of Counseling and Clinical Psychology di Asia University of Taiwan untuk Master Psikologi. Rasa tidak percaya menghinggapi ketika saya dinyatakan lolos sebagai penerima beasiswa dari pemerintahan Taiwan, tak berhenti disitu,  ternyata Allah SWT menambahkan kebahagiaan saya, dengan mendapatkan dua beasiswa sekaligus: dari pemerintahan Taiwan, juga dari kampus di Taiwan tempat di mana saya memilih untuk melanjutkan master psikologi. Akhirnya, di karenakan harus memilih, saya memilih DSW Scholarship.
***
Setelah sampai di Taiwan, saya mengikuti perkulaiah seperti biasanya, banyak hal yang saya dapatkan dari sana. Kejutan demi kejutan ALLAH datangkan dalam diri saya. Rasa syukur tak henti-hentinya saya ucapkan kepada-Nya ketika saya diberi kepercayaan untuk bisa sekolah di luar negeri, mendapatkan kesempatan beasiswa international, bertemu dan belajar dengan orang asing yang belum pernah kenal sebelumnya, mengenal metode baru dalam dunia pendidikan. Setiap akhir semester, Allah seperti terus menerus memberi kejutan demi kejutan buat saya dalam bentuk angka-angka sempurna di lembar prestasi akademik seorang mahasiswa.
Alhamdulillah Rabbku, Engkau menyempurnakan kebahagiannku, menutup semester demi semester mendekati angka sempurna ..I liked it. That’s a gift from God, that I never had before. Kebahagiaan lainnya, di sejumlah agenda kuliah, saya kembali diberi kepercayaan sebagai penghubung sebuah maskapai terkenal Garuda Indonesia (kantor pusat di Taipei) dengan pelajar Indonesia yang berada di Taiwan, dalam penjualan tiket khusus mahasiswa Indonesia Taiwan yang sudah berjalan hampir setahun ini. Kesempatan yang lainnya,  saya dipercaya untuk magang di International Hospital TaichungRen-Ai Hospital sebagai Indonesia Services selama 5 bulan sebelum saya balik ke Indonesia, juli 2013 lalu”. Di sisi lain, dengan segala keterbatasan yang saya miliki, saya terus berusaha membenahi bahasa inggris, bertahan demi cita-cita, akhrnya tahun 2013 bulan Mei saya lulus menyandang gelar Master saya dengan masa study 1 tahun, 8 bulan. Tuhan seolah-olah terus menerus menaburi saya dengan kebahagiaan dan kado-kado terindahnya. Something just happens when we believe. Hari ini, pada saat menulis artikel ini, aku telah menjadi seorang psikolog klinis dan kisah ini berwujud dari impian mulia seorang ayah.
“Hidup adalah proses, hidup adalah belajar. Tanpa ada batas umur dan tanpa ada kata-kata menyerah dan putus asa. Ketika “jatuh” berdiri lagi, ketika “kalah” mencoba lagi, dan ketika gagal terus bangkit lagi. Never give up . Teruslah belajar dan belajar, Sampai akhirnya Allah berkata “telah tiba waktunya untuk kembali.” Maka berjuanglah sebanyak-banyaknya, Karena dari sana kita akan banyak belajar dan belajar, menjadi sosok yang lebih baik dan bermanfaat bagi sekitar.
“Jika apa yang saya dapatkan hari ini adalah sebuah keajaiban, maka keajaiban itu adalah bagian dari kerja keras” (Zaujatul Amna Afganurisfa, S.Psi., M.Sc. 2013).
(Saya harap tulisan ini mampu menjadi suntikan motivasi terutama bagi mereka yang sudah tidak memiliki orangtua, namun memililiki jutaan mimpi. Yakinlah dengan mimpi2mu kawan. Man jadda wajada, saiap yang bersungguh-sungguh, maka dia akan mendapatkannya).

KHAIRUL RIJAL DJAKFAR :“SEMANGAT!,TOEFL DIBAWAH 500 BISA KULIAH DI LUAR NEGERI”

Nama saya Khairul Rijal, dalam bahasa Arab berarti “Laki-laki yang paling Baik”. Nama adalah do’a dan orang tua saya tentu berharap saya menjadi orang baik dan tentu juga bernasib baik. :-)
Sejak kecil saya ingin selalu ke luar negeri, waktu SD, di TVRI saya sangat suka film-film dari luar. Sehingga, sejak saat itu sudah tertanam dalam diri saya agar suatu saat bisa ke luar negeri.
Masalahnya adalah saya sangat malas belajar terutama Bahasa Inggris. Sejak SMP, Bapak saya telah membeli buku ENGLISH GRAMMAR agar saya rajin belajar dan dapat nilai tinggi. Namun lagi-lagi, karena malas saya tak sanggup menghafal dan mengingat-ingat Verb 1, 2, dan 3. apalagi jika menyusun kalimat/sentences dan structure. Pasti akan sangat kacau.
Disisi yang lain, aatu kebiasaan dan jadi hoby saya adalah sangat suka nonton film dan mendengar lagu-lagu barat (english, jadi walaupun saya tidak bisa menulis dan mempraktekkan Bahasa Inggris tapi saya tahu sedikit-banyak kosa kata/vocabulary karena hoby tersebut.
Dari TK sampai S1 orang tua membiayai saya kuliah. Tamat S1 saya lulus PNS di Kabupaten Aceh Timur. Sebagai daerah konflik saat itu, sangat tidak mudah bagi saya untuk belajar memperdalam Bahasa Inggris. Sambil bekerja saya terus mencari jalan mewujudkan impian ke luar negeri. Satu-satunya jalan yang saya lihat adalah dengan kuliah. Tentu saja, kuliah dengan mendapatkan beasiswa.
Tahun 2004 terjadi Gempa Bumi dan Tsunami di Aceh. Sungguh meninggalkan luka yg mendalam. Saat itu banyak bantuan dari luar negeri datang dan salah satunya adalah beasiswa khusus bagi korban tsunami dan masyarakat Aceh. Saya mencoba mendaftar, baik itu IIEF, ADS, APS dan STUNED namun semuanya mensyaratkan TOEFL sementara saya tidak pernah tahu apa itu TOEFL dan bagaimana mengikuti tesnya. Sehingga saya gagal mendapatkan beberapa beasiswa tersebut.
Pada 2006 saya akhirnya mendapatkan beasiswa tugas belajar S2 ke UGM Yogyakarta, selama disana saya mengikuti tes TOEFL dan jadi paham apa itu TOEFL. Salah satu persyaratan wisuda adalah melampirkan hasil tes TOEFL, namun hasil saya tidak pernah mencapai skor 500. Saya beruntung saat itu tidak perlu harus skor 500 untuk bisa lulus dan wisuda.
Di tahun 2008 saya kembali berdinas di kantor dan sejak saat itu pula saya selalu mendaftar Beasiswa Pemerintah Aceh ke Luar Negeri. Lagi-lagi karena TOEFL saya tidak mencapai 500 maka saya selalu gagal tiap tahunnya.
Namun saya tidak menyerah, saya berpikir jika saya selalu gagal karena tidak bisa menaikkan TOEFL sampai 500 maka mengapa saya tidak mencari beasiswa yang bisa menerima hasil TOEFL saya. Akhir 2011, dengan informasi dari teman maka saya mendaftar untuk mendapatkan Beasiswa S2 (lagi) dari salah satu kampus di Taiwan. Akhirnya, Alhamdulillah saya lulus, walaupun hanya mendapat half-scholarship yaitu pembebasan biaya kuliah/tuition waiver dan asrama/dormitory. Sementara untuk biaya hidup mengandalkan tabungan dan berjualan voucher pulsa kepada teman-teman mahasiswa. Sedangkan gaji saya selaku PNS saya serahkan untuk istri yang tinggal bersama anak saya di Langsa.
Sekarang saya sudah masuk semester kedua dan Alhamdulillah nilai di semester pertama cukup bagus dan perkuliahan di Taiwan dengan Bahasa Inggris bisa saya ikuti dengan baik sambil berharap saat nanti mengikuti tes TOEFL lagi, nilai saya bisa mencapai tidak hanya 500 tapi sampai 600. Why not?
Saya yakin, walau TOEFL tinggi menjadi syarat utama kelulusan beasiswa tapi bukan berarti dengan TOEFL rendah kita tidak bisa kuliah di Luar Negeri.
Tetap semangat! Jiayooo!