OLEH AMNA AFGANURISFA, Mahasiswi Magister Psikologi di Asia University dan Asisten Dosen Psikologi pada FK Unsyiah, melaporkan dari Taiwan
DESEMBER, mengingatkan saya pada peristiwa besar yang menimpa Aceh dan khususnya keluarga saya, keluarga Anda, dan keluarga kita semua. Gempa bumi dan tsunami berskala qurani!
Kenangan pahit itu kini telah memasuki tahun kedelapan. Mungkin bagi sebagian orang peristiwa itu diperingati dengan penuh khidmat hari ini, 26 Desember 2012. Termasuk dengan menziarahi kuburan massal yang memang banyak terdapat di Aceh.
Tapi semua itu berbeda dengan apa yang saya alami di Taiwan saat ini. Saya baru saja mengenang kembali tragedi itu bersama para siswa, guru, dan staf sekolah di salah satu SMA di Kaoshiung, Taiwan.
Hari itu, 19 Desember 2012, saya pilih tema tentang bencana alam untuk dipresentasikan di depan murid, guru, dan staf SMA Kaoshiung.
Di aula SMA itu saya dipercaya menceritakan berbagai kisah suka dan duka selama musim dingin di Negeri Formosa itu. Setelah 20 menit bercerita tentang Taiwan, saya pun berkisah tentang apa yang ditugaskan kepada saya, yakni sisi negatif dan positif negara masing-masing. Nah, dari sisi positif inilah semuanya berawal.
Saya putar video yang saya ambil dari sebuah situs internet berjudul “The Aceh Story: The Hope of Love and Forgiveness” yang berdurasi 20 menit. Ketika video hendak ditayangkan, lampu di aula itu diredupkan agar tayangan lebih jelas. Di sela-sela pemutaran video, saya terus menceritakan tentang letak dan kondisi daerah yang ada di video tersebut, yakni Aceh tanoh lon sayang.
Tak lupa pula saya ceritakan tentang keluarga inti, teman, dan beberapa orang kenalan saya yang meninggal saat tsunami melanda Aceh, sewindu lalu. Suasana menjadi hening.
Begitu video selesai diputar dan lampu aula kembali dinyalakan, saya kaget luar biasa. Ternyata para penonton yang memadati hampir seisi ruangan berkaca-kaca matanya. Wajah mereka sendu.
Di tengah rasa haru dan ketakjuban saya, tiba-tiba seorang ibu guru menghampiri dan memeluk saya. Ia berkata lirih yang artinya kurang lebih, “Saya bangga kepada orang-orang Aceh. Saya bangga mereka mampu bertahan dan sangat kuat. Jika itu diberikan kepada kami (masyarakat Taiwan) mungkin kami tidak akan mampu melewatinya.”
Suasana pun makin hening. Saya menjadi sangat terharu, karena meskipun mereka tidak pernah merasakan bagaimana dan apa itu tsunami, namun empati dan simpati mereka yang terdalam sudah mereka perlihatkan terhadap masyarakat Aceh, melalui saya. Sangat luar biasa.
Di aula SMA tersebut doa yang tulus juga mereka panjatkan kepada masyarakat Aceh yang mereka sendiri tidak mengenalnya.
Taiwan memang tidak pernah mengalami tsunami, namun Taiwan pernah mengalami gempa bumi yang juga hampir meluluh-lantakkan negeri ini pada tahun 1999. Menurut siswa dan guru-guru SMA tersebut, peristiwa itu saja sudah sangat mengerikan bagi mereka, konon lagi bencana tsunami mahadahsyat yang melanda Aceh.
Tapi Taiwan kini telah kembali bersinar dan mampu bersaing di dunia internasional dan harapan yang sama mereka haturkan kepada saya agar Aceh pun mampu bersaing dan kondisinya kembali pulih, jauh lebih baik dari keadaan sebelumnya. Apalagi setelah tsunami Aceh meraih hikmah besar, yakni perdamaian antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka.
Tentunya harapan mereka akan menjadi harapan saya dan kita semua, semoga Acehku akan menjadi tanoh rincong yang megah di Nusantara dan dunia. Saya yakin, Aceh pasti bisa.
Tulisan ini juga dimuat di Serambi Indonesia (online)
Makasie Admin Ranub, sudah dimuat hampir 4 kalo tulisan saya. benar2 terimakasih. semoga tulisan -tulisan saya, menjadi motivasi teman2 dalam menulis.
ReplyDeleteMakasie Admin blog Ranub, sudah dimuat hampir 4kali tulisan saya. benar2 terimakasih.
ReplyDeleteSemoga tulisan-tulisan saya, menjadi motivasi teman2 dalam menulis.
Selalu berkreasi... thanks atas tulisannya
ReplyDeleteThanks Admint Blog Ranub...semoga ranub juga sukses...
ReplyDelete