Wednesday, February 27, 2013

Buruh Migran, Libur pun Tetap Belajar

Agus Putra A. Samad, Mahasiswa Program Doctoral di Department of Aquaculture, National Taiwan Ocean University (NTOU), Taiwan.

NAMA Victoria Park dan Keelung Harbour tentu terdengar asing bagi warga Indonesia pada umumnya. Namun, kedua tempat tersebut sangatlah dikenal oleh para mahasiswa maupun Buruh Migran Indonesia (BMI) yang sedang bekerja di Hong Kong dan Taiwan. 

Kedua taman ini sering dijadikan sebagai tempat mengisi aktivitas liburan bagi warga Indonesia yang sedang merantau di kedua wilayah keturunan Cina ini.

Keramaian di Taman Victoria sangat saya rasakan beberapa waktu yang lalu ketika saya mendapatkan undangan untuk memberikan perkuliahan dalam rangka Tutorial Tatap Muka (TTM) dengan mahasiswa Universitas Terbuka (UT) Indonesia di Hong Kong (UT-Hong Kong). Di sela-sela waktu perkuliahan, para tutor turut diperkenalkan dengan kehidupan para mahasiswa UT-Hong Kong yang 99% bekerja sebagai foreign domestic helper (pembantu rumah tangga) yang selalu memanfaatkan hari liburnya untuk melakukan kegiatan-kegiatan positif seperti: kuliah, belajar mengaji, latihan menari, bermain alat musik, dan olahraga di taman, sehingga taman itu mendapat julukan “Kampung Orang Indonesia”.

Pengalaman berkesan yang menjadi perhatian saya adalah tersebarnya warga Indonesia di setiap sudut Kota Hong Kong pada hari libur, terutama di wilayah Causeway Bay yang menjadi salah satu pusat ekonomi terbesar di Hong Kong. Sedangkan pada jam-jam kerja, senyuman orang Indonesia dengan mudah dapat dijumpai di kawasan tersebut, terutama di pusat-pusat usaha yang dijalankan oleh orang-orang Indonesia asli seperti: di warung Indonesia, Plasa GraPARI, Bank Mandiri, Bank BNI, dan Indonesia Building.

Berdasarkan informasi yang saya terima dari rekan-rekan BMI, maupun pihak agensi tenaga kerja, para pekerja Indonesia di Hong Kong berhak atau bahkan diwajibkan oleh para majikannya untuk ke luar rumah pada hari-hari libur. 

Oleh sebab itu, kesempatan inilah yang selalu dimanfaatkan oleh BMI untuk berkumpul dan melepas rindu sesama sahabat ataupun anggota keluarga lainnya yang kebetulan sama-sama sedang bekerja di Hong Kong. Kondisi ini sangatlah bertolak belakang dengan kondisi BMI yang sedang mencari nafkah di Taiwan yang terkesan lebih sulit untuk mengatur waktu liburan mereka yang sifatnya sangat tentatif (dapat berubah mendadak dan amat bergantung pada kondisi). Hal ini disebabkan oleh tuntutan profesi yang mereka jalani seperti: merawat manula dan orang sakit atau bekerja sebagai anak buah kapal kargo dan kapal penangkap ikan.

Meski demikian, para BMI yang bekerja di Taiwan tidak pernah mengeluh. Mereka bahkan selalu berusaha memanfaatkan waktu libur yang ada dengan sebaik mungkin. 

Di bagian utara Taiwan, salah satu tempat favorit yang sering mereka kunjungi adalah Keelung Harbour atau Taman Kayu. Di taman inilah para pahlawan devisa ini berbaur dengan warga Taiwan lainnya sambil menikmati udara segar dan melihat kapal-kapal pesiar berukuran besar.

Berdasarkan pengamatan saya selama ini, satu hal positif yang patut kita banggakan dari para BMI di kedua wilayah tersebut adalah semangat mereka untuk melanjutkan pendidikan meskipun dalam kondisi keuangan dan waktu yang sangat terbatas. 

Hingga saat ini tercatat, jumlah mahasiswa UT-Taiwan dan UT-Hong Kong (seluruhnya berstatus BMI) masing-masing berjumlah 150 dan 120 mahasiswa. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan meningkatnya kesadaran para BMI akan pentingnya pendidikan dan gencarnya promosi yang dilakukan oleh pengurus UT di kedua wilayah tersebut.

Kenyataan di atas tentulah dapat dijadikan sebagai contoh pembelajaran yang baik bagi penduduk Indonesia lainnya, khususnya masyarakat Aceh untuk menyadari akan pentingnya pendidikan demi masa depan yang lebih baik. 


Tulisan ini juga di-publish di Serambi Indonesia (online).

0 comments:

Post a Comment