OLEH KHAIRUL RIJAL, Ketua Majelis Wali Mahasiswa Aceh di Taiwan, melapaorkan dari Taiwan
SEBAGAI sebuah negara kepulauan yang luasnya sekitar 2/3 luas Aceh, tapi dengan populasi lima kali dari jumlah penduduk Aceh, Taiwan “hanya” memiliki enam masjid. Maklum, penduduk asli Taiwan yang muslim tidak sampai satu persen. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi seratus lebih mahasiswa Aceh yang tersebar di Taiwan, terutama bagi prianya yang ingin Jumatan.
Lokasi keenam masjid yang saya hendak ceritakan ini berada di kota-kota besar yang terkadang sangat jauh dari kampus dan tempat tinggal mahasiswa. Di bagian utara Taiwan, tepatnya di Kota Taipei (ibu kota negara) terdapat dua masjid: Taipei Grand Mosque (Masjid Raya Taipei) dan Taipei Cultural Mosque (Masjid Kebudayaan Taipei). Di dekat Bandara Internasional Taoyuan terdapat Masjid Lunggang. Selanjutnya, arah ke selatan Taipei dengan waktu tempuh tiga jam perjalanan darat terdapat tiga masjid di tiga kota lagi. Diberi nama sesuai nama kota masing-masing, yaitu Masjid Taichung di Taiwan Tengah, Masjid Tainan, dan Masjid Kaohsiung di Taiwan Selatan.
Dari enam masjid tersebut, tiga di antaranya pernah saya kunjungi. Pertama, Masjid Raya Taipei. Masjid di pusat Kota Taipei ini dibangun atas kerja sama Pemerintah Taiwan dengan Arab Saudi. Masjid ini menjadi pusat konsultasi bagi warga Taiwan yang ingin mengenal dan masuk Islam. Sering pula dikunjungi pemimpin negara-negara Islam.
Saat datang ke masjid ini untuk shalat Zuhur, saya bertemu Imam Musa, Imam Besar Masjid. Asalnya dari Myanmar, alumnus Arab Saudi, tapi fasih bahasa Mandarin, Inggris, dan tentu saja bahasa Arab. Saya datang bersama seorang teman asli Taiwan yang tertarik pada Islam. Saya perkenalkan ia pada imam, mereka pun diskusi dalam bahasa Mandarin. Imam Musa sangat baik, ia jamu kami makan siang.
Satu informasi penting saya dapatkan darinya bahwa Taiwan saat ini butuh banyak dai (pendakwah) untuk menyebarkan Islam dan membimbing masyarakat muslim asli Taiwan yang selama ini terasing dan mulai banyak lupa tentang ajaran Islam.
Chinese Moslem Association sebagai lembaga resmi persatuan Islam di Taiwan sanggup menggaji para dai puluhan juta rupiah asal mau tinggal dan bisa berbahasa Mandarin. Selain itu, Pemerintah Taiwan juga memberikan visa khusus bagi misionaris agama apa pun.
Masjid kedua yang pernah saya kunjungi adalah Masjid Lunggang yang terletak di Kota Chungli. Masjid hijau ini bertingkat dua. Lantai pertama jadi aula dan lantai dua tempat shalat. Imam masjidnya yang saya kenal adalah Imam Ali, muslim asli Taiwan yang juga alumnus salah satu universitas di Madinah. Umurnya 30-an dan memiliki suara merdu seperti Imam Sudais. Sungguh saya tak sangka bisa mendengar alunan tartil Alquran seindah itu dari seorang Taiwan asli.
Di depan Masjid Lunggang banyak dijual makanan halal yang toko atau rumah makannya milik orang Indonesia, India, maupun muslim Taiwan. Masjid berikutnya dekat dari tempat saya tinggal, yakni Masjid Taichung. Tapi untuk sampai ke masjid ini, makan waktu satu jam perjalanan naik bus. Mahasiswa sering Jumatan di masjid ini dan biasanya disediakan makan siang sebelum shalat dimulai.
Semua masjid di Taiwan tak dibolehkan memakai pelantang suara yang besar. Jamaah paling ramai hadir ke waktu shalat Jumat dan shalat Hari Raya. Mereka berasal dari Indonesia, India, Pakistan, Turki, dan beberapa negara Timur Tengah. Sebagian di antaranya bekerja bahkan menikah dengan penduduk Taiwan untuk syiar Islam serta mendapat status permanent residence (bisa menetap di Taiwan tanpa batas).
Saya berharap, sebagai bagian dari program syariat Islam, Pemerintah Aceh bisa mengirim dai yang cakap ke Taiwan untuk menyebarkan Islam dan kembali menjadikan Aceh sebagai Serambi Mekkah.
Sumber:Serambi Indonesia
0 comments:
Post a Comment