By Agus Putra A. Samad, Mahasiswa S3 di NTOU, Keelung, Taiwan.
Ikan, sebuah nama yang pasti dikenal oleh manusia. Saat ini tercatat sebanyak 25.000 spesies ikan tersebar diseluruh dunia dengan sebaran habitat: 58% hidup di air laut, 41% air tawar dan 1% air payau. Meskipun tidak ada data akurat yang mampu menunjukkan jumlah total ikan di dunia, namun Food and Agriculture Organization (FAO) melaporkan bahwa hasil tangkapan ikan dari perairan umum menunjukkan grafik penurunan dari tahun ke tahun dimulai sejak tahun 1990-an.
Trend penurunan hasil tangkapan ini diduga disebabkan oleh tiga hal utama yaitu: 1) berkurangnya stok ikan dunia, rusaknya ekosistem perairan, dan menurunnya hasil tangkapan nelayan yang disebabkan oleh rendahnya keahlian nelayan serta faktor cuaca. 2) kelebihan penangkapan atau overcapacity yang disebabkan oleh banyaknya jumlah kapal penangkapan ikan yang melakukan aktivitas penangkapan diluar daya dukung suatu perairan. 3) manajemen dan pengaturan, dalam hal ini meskipun setiap negara telah menerapkan peraturan secara ketat, namun dilapangan masih sering terjadi kecurangan. Diantaranya adalah aktivitas penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) dan perilaku penangkapan dan pembudidayaan yang bersifat merusak (destructive fishing) yang masih menjadi persoalan sehingga menjadikan tantangan tersendiri bagi para pemegang kebijakan.
Ketiga faktor tersebut telah menimbulkan kecemasan bagi para pemerhati perikanan yang mengkhawatirkan akan sulitnya menemukan ikan di pasaran sehingga harga ikan melambung tinggi dan masyarakat tidak mampu lagi membeli dan mengkonsumsi ikan. Sebagaimana diketahui bahwa ikan merupakan hewan air yang bernilai protein tinggi dan mudah dicerna oleh tubuh. Lebih lanjut disebutkan bahwa dalam daging ikan mengandung Omega 3 yang dapat membantu pertumbuhan sel otak manusia serta rendah kandungan lemak dan kalori sehingga sangat baik dikonsumsi oleh orang yang sedang mengikuti program diet.
Menghadapi persoalan diatas, membuat para peneliti dan pembuat kebijakan mulai melirik kepada aktivitas budidaya, karena budidaya perikanan dianggap akan mampu menjadi pemecah masalah terhadap kurangnya produksi ikan hasil tangkapan. Dari data dan grafik yang dikeluarkan oleh FAO, terjawab bahwa saat produksi hasil tangkapan ikan menurun, justru produksi budidaya perikanan tumbuh dengan sangat baik, bahkan melebihi dari proporsi yang diharapkan dari sektor ini. Sektor budidaya telah mampu menyediakan 45.6% dari kebutuhan ikan dunia (FAO, 2010).
Informasi ini telah menarik perhatian serius dari ahli perikanan untuk memikirkan metode dan teknologi tepat guna agar produksi dari sektor ini dapat terus ditingkatkan tanpa mengganggu keseimbangan ekosistem alami.
Sebagai negara dengan potensi lahan budidaya perikanan terluas di Asia Tenggara yaitu sebesar 15.59 juta ha, Indonesia memiliki peluang yang sangat besar untuk memajukan usaha budidaya perikanan. Ditjen Perikanan Budidaya (DJPB) menyebutkan bahwa meski pemanfaatan potensi budidaya perikanan belum optimal, namun produksinya menunjukkan peningkatan signifikan dari 4.78 juta ton pada tahun 2009 menjadi 6.97 juta ton di tahun 2011. Jumlah produksi tersebut telah mampu memenuhi 56.33% dari kebutuhan ikan nasional.
Beberapa waktu yang lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif C. Sutardjo, saat membuka rapat kerja teknis (Rakernis) terpadu DJPB di Bandung, mengatakan akan terus mengajak, mendorong dan menfasilitasi Rumah Tangga Perikanan (RTP) budidaya untuk dapat berkembang sehingga mampu berperan dalam meningkatkan ketahanan pangan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat, membuka lapangan kerja dan meningkatkan perolehan devisa negara melalui ekspor hasil perikanan (DJPB, 7 Maret 2012).
Jika melihat potensi provinsi Aceh yang memiliki panjang garis pantai 1.660 km, dengan luas perairan laut 295.370 km dan luas zona ekonomi eksklusif (ZEE) 238.807 km, maka apabila dikelola secara maksimal akan dapat dijadikan sebagai salah satu tulang punggung pembangunan ekonomi Aceh yang berkelanjutan (Badan Investasi dan Promosi Aceh, 2012). Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh (2010) mencatat bahwa luas lahan budidaya produktif di Aceh saat ini adalah 57.840,2 ha, yang meliputi lahan budidaya air payau 51.519,2 ha; air tawar 6.319,9; dan air laut 1.1 ha. Data ini menunjukkan bahwa potensi yang baru tergarap hanyalah sekitar 40,9% dari keseluruhan lahan potensial yaitu seluas 141.383,23 ha. Ini menunjukkan bahwa potensi usaha budidaya perikanan masih terbuka lebar untuk terus dikembangkan.
Berdasarkan data diatas muncul pertanyaan, manakah jalan yang paling baik untuk meningkatkan produksi budidaya perikanan di Aceh? Apakah dengan cara memperluas lahan semaksimal mungkin atau cukup dengan mengelola lahan yang telah dikelola selama ini? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu dibutuhkan diskusi yang intensif antara para penentu kebijakan (pemerintah) bersama dengan penggiat budidaya (stakeholder) yang berpengalaman agar program ini dapat bersinergi dan terencana dengan baik. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa penggunaan lahan yang sudah ada selama ini cukup untuk meningkatkan produksi perikanan apabila tehnik budidaya yang diterapkan adalah sistem budidaya intensif. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa usaha budidaya yang ada di provinsi Aceh selama ini masih banyak berkutat dalam sistem budidaya tradisional.
Sistem budidaya tradisional, semi-intensif dan budidaya intensif bukanlah istilah yang asing di kalangan pelaksana perikanan. Namun, terlihat masih banyak pembudidaya perikanan yang tidak mengetahui batasan khusus dari istilah tersebut, sehingga usaha yang sedang dijalani terkadang berubah dari perencanaan semula akibat minimnya ketersediaan modal, keterbatasan alat dan kurangnya keterampilan pengelola.
Dalam kamus istilah perikanan (2010) disebutkan bahwa budidaya tradisional adalah sistem pemeliharaan ikan dengan padat tebar rendah dan pemberian pakan seadanya. Sedangkan budidaya semi-intensif adalah pemeliharaan ikan dengan padat tebar rendah dan dipelihara dalam lingkungan terkontrol dengan sistem pemberian pakan dan pengelolaan kualitas air yang baik. Sedikit berbeda dengan budidaya semi-intensif, budidaya intensif dilakukan dengan teknik padat tebar yang tinggi diikuti pemberian pakan yang teratur serta pengelolaan kualitas air yang baik dan dipelihara dalam wadah terkontrol.
Dari istilah tersebut terlihat bahwa budidaya intensif telah mengandalkan sitem padat tebar (jumlah benih yang ditebar dikolam) yang tinggi dengan sistem kontrol pakan dan kualitas air yang baik, sehingga bisa dipastikan bahwa meskipun lahan yang digunakan sangat terbatas namun jumlah produksinya tetap tinggi. Metode ini telah lama dipraktekkan oleh para pembudidaya ikan dan udang di negara-negara maju seperti Inggris, Perancis, Rusia, China dan Taiwan.
Dalam sistem budidaya intensif, permasalahan modal sering memunculkan permasalahan dan menjadi kendala tersendiri bagi para pemula. Namun pada hakikatnya budidaya intensif ini akan dapat dijalani oleh setiap pembudidaya jika mereka memiliki motivasi yang kuat dengan terlebih dahulu meningkatkan keterampilan atau skill di bidang ini. Lalu mulailah suatu usaha perikanan dari usaha-usaha kecil.
Misalnya, mulailah dari jumlah kolam yang sedikit dan jika telah mendapat keuntungan baru kemudian menambah jumlah kolam. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh seorang guru besar bidang Aquaculture di National Taiwan Ocean University (NTOU) Prof. Y.H. Chien dalam sebuah perkuliahan umum beberapa waktu yang lalu, beliau mengatakan bahwa ciri-ciri dari suatu usaha budidaya yang bakal gagal adalah apabila usaha tersebut dimulai dengan modal atau investasi yang besar tanpa perencanaan yang matang.
Lebih lanjut disampaikan bahwa mempelajari kebutuhan pasar juga akan menentukan kelanjutan usaha. Kejelian dari pembudidaya dalam memenuhi permintaan pasar juga harus benar-benar diperhatikan. Sebagai contoh, lakukan usaha budidaya ikan air tawar di daerah dengan tingkat permintaan ikan air tawar yang tinggi, begitu juga dengan jenis ikan air payau dan air laut. Lakukanlah usaha budidaya ditempat yang terdekat dengan wilayah pemasaran agar dapat menghemat biaya transportasi. Oleh sebab itu, sebelum memulai usaha budidaya sebaiknya konsultasikan terlebih dahulu kepada dinas terkait ataupun kepada para pelaksana budidaya yang lebih berpengalaman agar terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam perencanaan dan manajemen usaha.
Sumber:TheGlobleJurnal
0 comments:
Post a Comment