OLEH MUSLEM DAUD MEd Mgmt PhD Student di NTCU-Taichung, Taiwan.
SURVEI menunjukkan bahwa siswa-siswa di sekolah Cina Taipei (Taiwan) tidak menyukai matematika. Namun, hasil tes kemampuan matematika mereka justru berada pada peringkat teratas dunia bersama Korea Selatan, Singapura, Jepang, dan Hong Kong (Cina).
Pencapaian ini melampaui prestasi siswa-siswi dari negara kuat seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, dan Australia. Sementara itu, prestasi siswa di Malaysia dan Thailand masih lebih baik dibanding Indonesia yang berada di kisaran 35 dari 60 negara yang ikut dalam tes tersebut.
Dua sisi berbeda--prestasi yang dicapai dan ketidaktertarikan siswa terhadap matematika--ini menjadi bagian dari publikasi Trends in International Mathematics and Science Study (TIMMS), sebuah lembaga di Amerika yang bekerja sama dengan 60 negara peserta yang ikut dalam tes ini. Peserta tes adalah siswa kelas 4 SD dan siswa kelas 2 SLTP sebanyak 4.000-an per negara peserta. Indonesia sendiri hanya ikut tes untuk tingkat SLTP saja. Tes ini diselenggarakan empat tahun sekali, melibatkan lebih dari 250.000 siswa di seluruh dunia.
Tren ketidaksukaan siswa-siswa Taiwan terhadap matematika ditunjukkan secara kontinyu. Buktinya, siswa-siswi Taiwan berada di peringkat 36 pada tahun 2011 atas ketidaksukaan mereka terhadap matematika, peringkat 39 pada tahun 2007, peringkat 42 tahun 2003, dan peringkat 32 pada tahun 1999.
Sementara itu, prestasi dunia yang diraih siswa-siswa Taiwan adalah peringkat 3 pada tahun 2011, peringkat 1 tahun 2007, peringkat 5 tahun 2003, dan peringkat 4 tahun 1999.
Lalu muncul dua pertanyaan, kenapa dua sisi berbeda ini bisa terjadi pada sebuah subjek yang sama, yaitu siswa-siswi Taiwan? Pertanyaan kedua, kiban cara (bagaimana caranya) siswa-siswi tersebut dapat mencapai prestasi segemilang itu?
Untuk menjawab pertanyaan pertama, antara lain, dapat ditinjau dari sisi psikologis di mana siswa-siswi Taiwan dan juga siswa di negara lainnya lebih low profile (berendah hati) dalam menjawab pertanyaan bahwa mereka tak mau berspekulasi dan sesumbar bahwa mereka sebetulnya mampu sebelum melakukannya. Kemungkinan lain adalah mereka memang tidak suka matematika, karena harus selalu bergelut dengan angka-angka dan rumus-rumus.
Untuk menjawab pertanyaan kedua bagaimana cara mencapai prestasi tersebut, sesungguhnya dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain: 1) sumber belajar, 2) proses dan kedisiplinan belajar, 3) lingkungan belajar dan dukungan keluarga.
Ternyata, siswa-siswi Taiwan punya sumber belajar yang sangat memadai, mulai dari buku teks berbagai penerbit, alat bantu belajar/ media, dan berbagai sumber belajar penunjang lainnya, baik yang tersedia di sudut-sudut baca dalam kelas, maupun di dalam perpustakaan. Ini merupakan dukungan pemerintah yang cukup besar.
Proses belajar juga berperan penting bagi siswa untuk terus-menerus mempertahankan prestasinya dalam peringkat lima besar dunia. Siswa-siswi Taiwan sangat disiplin belajar dan doyan ikut les.
Berdasarkan tanya jawab saya degan rekan sekuliahan di National Taichung University, rupanya pelajar-pelajar Taiwan menghabiskan waktu mereka untuk belajar rata-rata 14 hingga 16 jam per hari. Anak-anak SLTP, misalnya, sudah ke luar rumah sekitar pukul 6 pagi dan pulang ke rumah pukul 22.00 malam. Mereka pergi dari rumah dan sampai di sekolah pukul 7, lalu belajar hingga pukul 12.30 dibarengi dengan istirahat satu jam. Dilanjutkan dengan belajar dari pukul 14.00 hingga pukul 17.00. Pada pukul 17.00 ke pukul 18.00 ada tambahan les atau olah raga di sekolah. Pukul 19.00 hingga pukul 21.00 mereka ikut les di luar sekolah. Pulang dan sampai di rumah pukul 22.00.
Kenyataan ini telah menginspirasi Pemerintah Indonesia dalam merumuskan Kurikulum 2013 di mana siswa-siswi diharapkan menghabiskan waktu lebih banyak untuk belajar.
Lingkungan belajar dan dukungan keluarga juga turut berperan dalam mendongkrak prestasi siswa-siswi. Saya tak temukan anak-anak usia sekolah yang berkeliaran pada saat jam sekolah, apalagi tak sekolah. Di samping itu, orang tua pun terus mendukung anak mereka untuk belajar dan mengukir prestasi membanggakan. Orang tua pun tidak mau dibantu oleh anaknya yang masih usia sekolah, misalnya, untuk menjalankan bisnis/jualan. Kenyataan ini berbeda sekali dengan di tempat kita, di mana masih terdapat anak-anak usia sekolah yang tidak sekolah dengan alasan berbeda, termasuk mengemis untuk menghidupi keluarga.
Tulisan ini juga dipublish di Serambi Indonesia.
0 comments:
Post a Comment