Oleh Hafnidar Hasbi, (Master Student Department of Psychology, Asia University) melaporkan dari Taiwan
Di Taiwan, suasana Ramadhan tak terasa sedikit pun. Tidak ada suara azan. Di mana-mana orang kerap memamerkan auratnya, karena bertepatan dengan musim panas. Kita tak bisa menemukan masjid atau musala dalam jarak yang dekat seperti di Aceh.
Sebuah gebrakan luar biasa jika di Taiwan dapat berdiri masjid kampus. Tidak mungkin bagi Taiwanese yang mayoritas nonmuslim untuk menyediakan masjid di kampus. Namun, kini masji itu menjadi kenyataan. Worship room yang berukuran 5x8 dan 5x5 meter berdiri kokoh sebagai “masjid” bagi mahasiswa muslim di Taotung University of Technology, Hsinchu dan Asia University Taiwan, Taichung.
Taiwan dikenal sebagai negeri formusa, 98 persen penduduknya penganut agama Konghuchu, Budha, dan Kristen, sisanya 2 persen saja penganut agama Islam. Selain itu, fenomena keagamaan di Taiwan cukup memprihatinkan. Agama cenderung hanya diminati oleh kalangan lanjut usia. Sedangkan pemuda-pemudi Taiwan sedang bergairah mengejar kesejajaran kemajuan teknologi dengan Cina, Jepang, bahkan Amerika. Pemuda-pemudi Taiwan tak punya cukup waktu untuk datang ke vihara, gereja, juga masjid. Agama dianggap sebagai budaya tradisional, penghambat kemajuan.
Meski demikian, penghargaan terhadap keberagaman agama tetap ada. Budaya dan kebiasaan Taiwanese juga tidak cukup kondusif bagi muslim. Hampir semua makanan mengandung babi. Taiwanese juga memiliki kebiasaan menggunakan tisu (tanpa air) untuk membersihkan kemaluan dan dubur setelah buang air besar/kecil.
Menghadiri shalat Jumat menjadi perjuangan terberat pada setiap minggu. Taiwan yang memiliki 12 county/city, hanya memiliki lima masjid. Menuju Masjid Taichung, mahasiswa muslim Asia University Taiwan harus menempuh waktu tiga jam (pp) menggunakan bus kota. Beberapa mahasiswa terpaksa tidak hadir shalat Jumat, karena jadwal kuliah dan praktikum memang tak mengenal jadwal shalat.
Pascatsunami melanda Aceh, mahasiswa Indonesia mendominasi bangku di berbagai universitas di Taiwan. Kedatangan mahasiswa Indonesia, khususnya mahasiswa Aceh, menjadikan negeri formusa ini punya warna lain. Taiwanese semakin familiar dengan gadis berjilbab, pemuda bersarung, bahkan gerakan-gerakan shalat dan masjid.
Di Taotung University, masjid kampus berdiri tahun 2009 atas prakarsa mahasiswa muslim dari Timur Tengah. Kemudian menyusul di Asia University Taiwan pada awal tahun 2011 yang diprakarsai oleh mahasiswa muslim Aceh.
Ramadhan tahun lalu adalah kali pertama Pemerintah Aceh mengirimkan mahasiswa terbanyak ke Taiwan, khususnya ke kampus Asia University Taiwan. Keberadaan mahasiswa muslim Aceh di sini mendesak otoritas kampus untuk mendirikan masjid. Pada dasarnya perjuangan ini sudah berlangsung sejak tahun 2008. Mahasiswa Aceh angkatan pertama: Ramzi Adriman, Ari Budyansyah, dan Rosdiana telah duluan mengusulkan musala ke rektorat kampus. Dukungan penuh juga datang dari Komisi Beasiswa Aceh (KBA). Ketua KBA, Dr Qismullah Yusuf menyurati Prof Hans Hsio, Direktur Centre for International Academic Exchange Asia University Taiwan tentang kebutuhan tempat ibadah bagi mahasiswa Aceh. Beruntung, Profesor Hsio memahaminya. Beliau pernah berkunjung ke Aceh dan berdecak kagum ketika menyaksikan masjid dan musala tersebar di mana-mana dengan arsitektur yang memukai. “Masjid bagian dari darah daging orang Aceh,” simpulnya.
Agar masjid kampus terealisasi, mahasiswa muslim Asia University Taiwan harus bisa meyakinkan pemangku jabatan yang lain. Muhammad Khalil, Gubernur Forum Mahasiswa Muslim Indonesia Taiwan (Formmit) Wilayah Tengah dalam proposalnya menguraikan panjang lebar tentang pentingnya shalat berjemaah dan masjid kampus bagi mahasiswa muslim, mulai dari rasionalitas pentingnya shalat, waktu shalat, sampai dengan tata cara gerakan shalat dan wudu. Foto Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudiono, yang sedang shalat menjadi acuan bahwa orang sepenting dan sesibuk SBY saja harus shalat lima waktu. Alhasil, awal April 2011, Masjid Kampus Asia University Taiwan berdiri dengan label worship room. Begitu judul ruangan yang diberikan oleh Asia University Taiwan. Meskipun bangunan indah yang dikelilingi taman mini ini diberikan dengan banyak catatan, mahasiswa muslim Asia University menyambut antusias dengan menyebutnya masjid kampus.
Perjuangan belum selesai, tugas selanjutnya adalah memakmurkan masjid. Semoga Worship Room Asia University bisa tetap menjadi masjid kampus, selamanya.
Sumber :Serambi Indonesia
0 comments:
Post a Comment