Saturday, March 30, 2013

Plastik Kresek pun Harus Bayar

Oleh IRDA YUNITA,  Master Student at Civil Engineering Department National Cheng Kung University, Tainan, Taiwan      

SELAMA tinggal dan menuntut ilmu di Taiwan, kalau sudah mendengar kata belanja yang terlintas di pikiran saya adalah jangan lupa membawa kantong kresek sendiri atau memakai tas ransel berukuran besar. Ya, supermarket dan swalayan di Negeri Formosa ini tidak akan menyediakan plastik kresek untuk kita bawa seberat apa pun barang yang kita beli. Kasir pasti akan meminta bayaran 1 NTD (sekitar 325 rupiah) untuk plastik belanjaan berukuran sedang atau 2 NTD untuk yang berukuran besar. 

Di toko swalayan, ketika membayar biasanya kasir akan menanyakan dulu apakah kita ingin sekalian membeli plastik kresek untuk pembungkus atau tidak? Kasir tidak akan menganggap kita pelit bila kita menjawab “bu yao” yang artinya “tidak mau” karena kita membawa kantong plastik sendiri. Di Taiwan, hal itu sudah biasa. 

Supermarket dan swalayan di Taiwan pun memperbolehkan pelanggan membawa tas masuk. Mungkin karena di sini tak ada pengutil.

Pengalaman ini tentu saja berbeda dengan suasana berbelanja di toko-toko Indonesia pada umumnya maupun di Aceh khususnya. Untuk barang dagangan sekecil apa pun, konsumen pasti akan mendapatkan plastik. Mengapa di Taiwan plastik kresek pun harus dibayar? Menggunakan plastik kresek telah menjadi sesuatu yang dianggap praktis dan terkadang sulit digantikan dalam kehidupan masyarakat kita. Namun, ternyata benda imut ini menyimpan bahaya besar di baliknya. Banyak orang yang sadar dan tahu tapi tetap saja tidak peduli. Pada kenyataannya, bahaya limbah plastik bukanlah omong kosong. 

Plastik sangat sulit hancur dan memerlukan waktu sekitar 1.000 tahun untuk terurai secara alami. kalaupun plastik dapat terurai, toh partikel dari plastik tersebut tetap akan mencemari air dan tanah. Apabila dibakar, plastik menghasilkan dioksin yang dapat memicu kanker, hepatitis, pembengkakan hati, gangguan sistem saraf, dan depresi. 

Di negara kita, harga plastik kresek sangat murah dan biasanya malah digratiskan. Padahal plastik terbuat dari minyak bumi yang merupakan sumber energi langka yang sangat dibutuhkan manusia. Diperkirakan penggunaan kantong plastik mencapai 500 juta-1 miliar per tahunnya. Kantong plastik sebanyak itu bila dibentangkan panjangnya bisa untuk membungkus bumi sampai sepuluh kali!

Mari kita mencontoh Taiwan. Dengan jumlah penduduk mendekati 23 juta orang dan luas 36.000 kilometer persegi, Taiwan adalah negara yang padat penduduk, tapi hanya punya sedikit sumber daya alam. Karena kepadatan penduduk yang tinggi dan tanah yang dapat digunakan terbatas, sehingga pembuangan limbah selalu menjadi perdebatan sengit di Taiwan.

Di luar negeri, isu ini bukanlah hal yang baru. Taiwan menjadi salah satu negara yang menerapkan peraturan yang memperketat swalayan memberikan tas belanja plastik secara cuma-cuma selain Filipina, Swedia, Skotlandia, Jerman, Prancis, Hong Kong, Irlandia, Finlandia, Denmark, Swiss, Tanzania, Bangladesh, Afrika Selatan, dan Singapura. Kini dengan adanya peraturan seperti itu di Taiwan, pemakaian tas belanja plastik menjadi berkurang secara drastis dan tentu saja hal ini merupakan kemajuan dalam upaya pelestarian lingkungan. 

Untuk Indonesia, saya pernah membaca sudah ada salah satu supermarket di Jakarta yang berinisiatif secara serentak di tujuh cabangnya untuk tidak lagi memberikan kantung belanja secara gratis kepada pelanggan. Di Aceh, hal seperti ini belum pernah saya temui. Apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi sampah plastik mungkin bisa dimulai dari diri sendiri.

Kurangilah penggunaan kantung plastik. Jangan malu membawa kantung plastik sendiri saat berbelanja atau gunakan tas belanja yang bisa dilipat. Kalau memang terpaksa menggunakan plastik, satukan saja barang yang kita beli ke dalam satu plastik, tanpa perlu menggunakan banyak plastik. Selain itu, simpanlah kantung plastik yang masih bisa dipakai. Ini besar dampak positifnya bagi generasi kita saat ini dan mendatang.

Tulisan ini juga di publish di Serambi Indonesia.

0 comments:

Post a Comment