Oleh Ibnu Sahidhir, Master student at National Taiwan Ocean University, Keelung-Taiwan.
Sudah hampir setahun
Saya berada di tengah-tengah etnis Cina Taiwan, tepatnya di Kota Keelung. Untuk
mengobati kangen kampung, Saya ingin berbagi. Saya betul-betul kangen karena
memang tidak pernah pulang di liburan semester.
Setahun berlalu namun
detaknya masih terasa. Ada gembira saat menonton lucunya Kung Fu Panda 2 dan
Yes Man yang saya putar di kabin pesawat. Ada emosi gembira saat mendarat di
Tao Yuan International Airport. Ada bahagia saat melihat senyum ramah staf-staf ESIT
(Elite Study in Taiwan, sebuah lembaga di bawah Kementerian Pendidikan Taiwan
yang membantu mengurus beasiswa). Ada rasa haru saat bertemu rekan-rekan
Indonesia. Ada juga yang meneteskan air mata.
Mengenal Mandarin
Pada suatu kesempatan,
Saya mengunjungi toko buku terdekat dari tempat Saya tinggal. Banyak buku
dilabel permanen sekitar Rp. 25ribu. Mungkin subsidi pemerintah. Namun sayang,
walaupun murah dibanding di Indonesia semuanya berbahasa mandarin. Buku yang
berbahasa inggris harganya lebih dari tiga kali harga buku terjemahannya.
Topiknya pun terbatas pada novel dan art.
Belajar mandarin memang
betul-betul beda. Betul-betul sulit. Tidak sama dengan belajar hanacaraka jawa
yang merupakan alphabet, kata-kata bisa disusun dengan mudah. Beruntung Saya
masuk kelas international, jadi tak perlu baca tulis china.
Sebelum di Keelung, Saya
belajar Mandarin di Kota Chung Li tujuannya sekedar mempermudah sosialisasi.
Selama bulan pertama kami menjadi siswa pemula di kelas mandarin. Kursus
diadakan di Chung Yuan Christian University, universitas yang indah dan
rindang. Pengajar Kami, semua perempuan dan masih muda (30-an) , berpakaian
sangat santai dan penyabar, membuat semua murid terkesan.
Belajar mandarin cukup
menantang. Perlu berpikir beberapa kali. Tulisan China disusun dari gambar yang
termodifikasi bertahun-tahun menjadi seperti sekarang ini -disebut karakter.
Satu konsep berpikir satu gambar. Belajar mandarin berarti menyusun kembali
dunia pengalaman kita dalam gambar, dalam garis-garis yang tak terbaca kecuali
setelah cara bacanya dibuat tulisan latin (Pin Yin). Namun demikian, tata
bahasa mandarin tidak rumit, mudah dipelajari.
Menghapalkan satu konsep
berarti menghapalkan cara menulis garis-garis. Kemudian menghapalkan cara
bacanya –termasuk nada- tulisan dan cara baca sering tak berpola. Sama-sama ‘di’
tetapi beda tulisan dan beda arti. Dari latin, kata diterjemahkan dalam bahasa
Inggris. Akhirnya ide dicerna dalam bahasa Indonesia. Kerja yang berat dan
sangat membutuhkan konsentrasi penuh. Dengan demikian menuangkan ide dalam
bahasa tulis menjadi lebih lama.
Solusi untuk masalah ini
percakapan. Namun sayang, banyaknya kata yang hampir berhomofon membuat ini
juga sulit. Banyak kata-kata yang tidak tepat di lidah Indonesia seperti ‘peng’
dibaca antara e dan o, membedakan zhi, chi, che, qi, shi, she, shei. Ditambah 4
nada yang berbeda.
Ide sering
direpresentasikan dalam satu suku kata atau dua, sehingga mendengarkan lebih
sulit karena ide disampaikan dengan lebih cepat. Ditambah lagi dengan kata
berhomonim dan berhomofon yang sangat banyak dan hanya bisa dibedakan dari
tulisan aslinya.
Kalimat jitu
Bergaul dengan mahasiswa
internasional ada juga buruknya. Kawan-kawan saya kebanyakan dari Amerika
Latin, Asia dan Afrika. Teman sekamar yang sekaligus teman satu lab orang
Malaysia. Bahasa inggris sedikit berkembang, mandarin yang dipelajari sebulan
pun banyak terlupakan. Sampai sekarang percakapan saya seputar itu-itu juga,
tidak bisa dipakai untuk pertarungan nyata. Beda dengan seorang teman yang
kawan-kawan labnya orang Taiwan, setahun saja mandarinnya sudah bisa buat
pidato di parlemen. Namun walau sulit, saya tetap punya kalimat-kalimat
ampuh untuk menyelesaikan pembicaraan.
Suatu hari, kolega
professor telepon apakah prof ada. Jikalau prof tak ada, Saya tinggal bilang
“lao shi bu zai (guru gak ada).” Kalau dia tidak menutup telepon, kalimat itu
tinggal saya ulang sampai dia diam. Kalau ada tamu ke lab
saat prof ada di kelas, Saya tinggal bilang, “Lao shi sang ke (guru mengajar).”
Saya ulang juga yang ini kalau tamu masih juga tidak angkat kaki. Kalau kewalahan saya
ganti jurus “wo bu shuo zhong wen, wo shuo ying wen (Saya tidak bercakap mandarin,
saya bisanya inggris).” Nah kalo dia bisa inggris, selamatlah saya, kalau tidak
dia harus mengalah pergi. Kadang saya sok-sokan
meladeni cakap mandarin dengan tamu. Karena aksen china Saya memang bagus, dia
langsung cas cis cus cakap mandarin. Maka jurus terakhir yang paling ampuh
adalah “Dui bu qi, wo bu zhi dao (maaf, saya tidak tahu).” Atau kadang juga
“Ding bu dong (tidak paham).”
Yang tidak kalah manjur,
“please, wo de zhong wen bu hao (Mandarinku jelek).” Kalau dia paham maksud
Saya dan tidak nyerocos lagi, Saya akhiri dengan “xie-xie nin (terima kasih).”
Chinglish (Chinese
English)
Lidah orang china juga
beda kalau bercakap inggris. Sebulan pertama Saya harus berfokus betul-betul
untuk menerka ucapan inggris profesor. Sering minta pengulangan kata, membuat
Saya segan. Walaupun konteks kalimat
sering membantu, kebingungan sering terjadi juga. Orang china kesulitan berucap
‘r’. Suatu kali seorang prof berucap ‘foling’ saya terka pasti ‘fouling’ tapi
setelah konfirmasi ternyata foreign.
Mereka sulit juga
berucap ‘d’. Saat yang lain, prof berkata ’sitokin’ dan terkaan saya pasti
‘cytokines’ tapi meleset, yang dia maksud adalah ‘pseudogenes’.
Tiga bulan pertama
adalah yang tersulit namun juga yang terindah. Saat-saat berikutnya bergaul
menjadi lebih mudah tapi kerja riset kadang menutupi keindahan itu.
0 comments:
Post a Comment