Cerita ini berawal pertengahan tahun 2004, di suatu sore, aku dan Ayah, duduk sore di beranda rumah yang pada waktu itu ayah sibuk menikmati kopinya. Tampak seperti biasa, dengan senyum khasnya, membuatku tenang dan nyaman, ya senyuman itu selalu di dambakan anak-anaknya, apalagi aku. Ayah orang yang sangat idealis, namun humoris dan bersahabat. Aku masih inget ketika itu disaat aku hampir menuntaskan SMA ku, dimana sedang “galau-galaunya” memilih jurusan ke tingkat selanjutnya. Akupun memutuskan untk berdiskusi dengan Ayah.
“Yah…panggilku lirih” ayahpun menoleh seketika dan tersenyum, seolah-olah ayah mengerti dengan perasaanku sore itu. Kenapa aneuk resah? Tentang kuliah ya? Sebenarnya tidak membuatku kaget, kalau ayah seolah-olah ayah bisa membaca pikiranku yang sedang kacau. Dengan nada lesu aku menjawab, “iya Yah” harus kuliah apa, kemana? Pusing Yah, terlalu jauh dan banyak biaya yang dihabiskan” Jelasku panjang lebar tentang program beasiswa di sekolah beberapa hari lalu menerima informasi siswa berprestasi di sekolah untuk kuliah di Jawa. Dengan nada lembut dan mengayominya ayah kembali mencoba menenangkan aku yang sedang “galau” dengan perasaan yang tidak jelas dan bercampur aduk. Ayah memberikan beberapa gambaran. Termasuk memberikan aku ketenangan yang terus memikirkan besarnya angka yang harus dibayar persemester. Apalagi aku suka dan berniat untuk kuliah jurusan kedokteran gigi, angka jutaan yang terpampang membuat aku surut mundur teratur dan menyembunyikan keinginanku depan ayah. Namun, lagi-lagi ayah seakan bisa membaca pikiranku, ayah seolah-olah tidak ingin aku mnguburkan keinginanku, ayah memberikan keputusan terakhir padaku. hingga ayah memberikanku waktu untuk berpikir sebelum deadline beasiswa tersebut. Aku yang masih euphoria dengan kuliah kedokteran gigi, aku tetap kekeuhdengan keinginan ingin menjadi dokter gigi. hingga suatu hari sepulang sekolah, aku membawa semua brosur ke hadapan ayah. Aku yang euphoria karena akan mengisi brosur beasiswaku, dimana setiap siswa diminta untuk mencantumkan tiga pilihan jurusannya. Sudah pasti urutan satu kedokteran gigi, karena tidak ada yang lain yang aku suka. Setelah ayah melihat brosur, ayah mengeluarkan kata-katanya, “Psikologi nggak suka Nak? Kan psikologi juga bagus, apalagi untuk Aceh, bagus itu, karena ini masih baru bagi Aceh dan Aceh akan sangat membutuhkannya di tahun yang akan datang. Psikologi itu ilmu jiwa. Dulu ayah pengen sekolah psikologi namun Ummi (sebutan alm. ibunda ayah) tidak punya biaya dulu buat ayah. Namun, ayah ga akan memaksa juga kalau Aneuk ga suka” jawab ayah, dan tiba-tiba “ya..kan masih bisa diteruskan anak Yah, dan itu kan bisa jadi pilihan jurusan dia yang kedua, kan belum tentu juga lolos dimana” timpal Mamak dari belakang. Tapi kalo lolos aku ga suka ya, psikologi itu susah, kayak ilmu dukun, menebak dan membaca pikiran orang, nanti jadi tukang ramal atau jadi guru judes, jadi guru bimpen“ jelasku mengulas alasan. Sementara ayah hanya tersenyum melihat gaya kekanak-kanakan. Setelah berdiskusi dan ayah memberi gambaran demi gambaran tentang jurusan, hingga akhirnya aku memutuskan utnuk menulis psikologi pilihan kedua dan ilmu keperawatan pilihan ketiga.
****
Bulan berlalu sudah, hingga akhirnya tiba lah ujian EBTANAS, karena kecemasan dan persiapan akan ujian aku pun lupa dengan beasiswa berprestasi. Setelah berhasil melewati ujian EBTANAS, aku pun berhasil luluS dengan angka yang memuaskan. Namun balasan beasiswa juga tak kunjung datang, hingga akhrnya tibalah masa dimana pembukaan untuk pendaftaran perguruan tinggi, akhirnya aku memutuskan untuk kuliah di perguruan tinggi di Banda Aceh, Universitas Syiah Kuala dengan jurusan kedokteran gigi. Aku tetap kekeuhdengan pilihanku sendiri. Setelah semua proses administrasi selesai aku pun harus menunggu bulan depan untuk tes masuk perguruan tinggi. Hingga akhirnya Tuhan memberikan cobaan di keluarga kami, Mamak masuk rumah sakit. Kurang lebih Mamak di rumah sakit waktu itu, disaat bersamaan aku dapat telepon dari Universitas Diponegoro kalau aku diterima tanpa tes sebagai mahasiswa di UNDIP dengan jurusan psikologi. Sekilas aku sempat melihat ayah tersenyum, sementara aku antara senang dan tidak. Senang karena aku masuk ke universitas ternama no. 5 di Indonesia (pada saat itu) tidak senang, karena bukan jurusan yang aku sukai. Namun karena aku melihat senyuman di wajah ayah, aku pun menguburkan mimpiku sebagai dokter gigi. setelah aku memutuskan untuk sekolah di UNDIP, jawa tengah, lagi-lagi Allah memberi cobaan terberat padaku saat itu. Allah mengambil malaikat bumiku. Mamak meninggal dunia disaat aku pergi untuk membeli tiket pesawat, untuk keberangkatan 10 hari kemudian. Ketika aku pulang, aku kaget, di rumah banyak orang, sementara aku bingung dengan keadaan rumah yang tiba-tiba rame, dan ayah langsung menyambutku di pintu dan memelukku sambil berbisik, Mamak telah tiada. Aku ternganga dan tiba-tiba aku menangis, sambil meremas tiket pesawat ditanganku.
Kepergian Mamak membuatku sangat terpukul, dan aku bertekad tidak akan kuliah di Semarang, aku akan disini saja, Banda Aceh. Batinku sesak. Seolah-olah kebahagiaanku terenggut bersama kepergiaan Mamak, aku pun tidak ada keinginan untuk pergi meninggalkan rumah, hingga suatu hari setelah tujuh hari meninggal Mamak, Ayah mendekatiku dan berkata pelan “ Nak, kapan berangkat sekolah ke Jawa”?. Aku yang masih terpukul tidak bisa menjawab, hanya menggeleng keras. Ayah yang cukup sabar, lalu bertanya “ menggeleng, artinya tidak tahu mau berangkat kapan kan?” jawab ayah yang terus memberiku semanngat walaupun aku tahu, apa arti aku menggeleng kepala.
Sambil menangis dan menjatuhkan kepala di pangkuan Ayah, aku berkata ”Aku ga mau pergi Yah, aku ga mau, aku mau disini bersama ayah, aku ga mau seperti Mamak, Mamak menghembuskan napasnya, tapi aku ga ada disampingnya Yah” lirihku iba di pelukan ayah.
Sambil mengusapkan kepalaku ayah berusaha tegar dan berkata “ Nak, jadi gara-gara itu?coba dengarkan ayah ya?” kalau ALLAH berkehendak, kita serumah pun, kita ga bisa melihat ketika ibu menghembus napas terakhir bukan? Bukankah kita masih serumah ketika ibu meninggal? Jadi ga ada bedanya kamu di jawa, kamu di luar negeri, kamu dirumah, kalau ALLAH tidak menginjinkan kamu ada disamping ibu, maka itu tidak akan terjadi. Yang paling penting adalah doa dari anak yang shalehah, bukan yang penting anaknya ada disampingnya. Ada disamping tapi ga pernah berdoa untuknya? Buat ayah lebih memilih ga ada di samping saat menghembus napas terakhir, tapi anaknya selalu mendoakannya setelah mereka tiada”. ucap ayah memberiku semangat, sekilas aku masih ada senyuman di wajah ayah, walaupun aku yakin itu senyum paksaan. “pergilah nak, jadilah seorang psikolog, psikolog bagi keluarga, bagi Aceh” kata ayah dengan mata berbinar dan sangat semangat. Melihat semangat ayah, akupun iba dan hingga akhirnya aku emmutuskan untuk pergi, walaupun aku ga yakin dengan diriku sendiri.
***
Akhirnya, aku memutuskan untuk kuliah di undip dengan jurusan psikologi, meskipun kepergian ibu masih membayangi kehidupanku, aku berusaha untuk tegar. Kakakku yang laki-laki mengantarkanku sampai ke Semarang dan setelah hidupku settle di Semarang, semiggu kemudian kakakku kembali ke Aceh. Sebelum dia pulang, iya berpesan “Dik, jadilah psikolog untuk Ayah” pesannya singkat, aku hanya tersenyum. waktu terus berjalan, sementara psikologi masih susah untuk kuterima, namun untuk membahagiakan ayah aku paksakan diri untuk suka, namun sesuatu yang dipaksakan pasti berujung jelek, itulah yang terjadi padaku, akihrnya semester satu pun berlalu, saatnya aku menerima hasil kerja keras semesterku, tak percaya betapa kagetnya aku, nilai IPK terpampang 2.00 disana. Belum habis rasa kagetku, berita duka menyambar wilayah Aceh secara utuh, Tsunami berkekuatan 6.8 SR melanda Aceh, dan menewaskan ribuan nyawa. Aku kembali terpuruk, kaget dan menangis, kenapa cobaan datang sekaligus, belum genap kepergian mamak setahun, aku harus hadapi dengan peristiwa pahit kehilangan dua kakak perempuan kandung, 4 keponakanku dan keluarga besar. Aku menangis karena peristiwa yang menimpa keluarga di tambah dengan aku telah membuat ayah kecewa. Hingga suatu hari aku setelah beberapa minggu paska tsunami aku memberanikan diri berbicara dengan ayah. Sementara ayah hanya diam dan membiarkanku menangis dan melepaskan semua curahan penyesalanku tentang IPK yang sangat jelek.
Aku menagis di hadapaan ayah, kemudian ayah berkata“ ayah sudah tahu dari seminggu lalu, ayah menunggu kok tidak ada kabar darimu semenjak nilai diterima, makanya ayah menunggu” sambungnya yang saat itu membuat aku syok. “ apa? ayah sudah tahu? Kok bisa” batinku penasaran”.
Rasanya belum habis rasa penasaranku, ayah kembali mengatakan” pihak kampus mengirimi ayah hasilnya, makanya ayah tahu” tapi ayah tidak kecewa, ini hasil yang bagus menurut ayah, karena sabagai orang yg tidak suka sama jurusannya,, tapi masih bagus sebagai pemulaan di awal, dari pada satu koma nol atau nol koma satu? Hayo…” ayah berusaha bercanda, sementara aku dipenuhi dengan rasa menyesal, malu dan sulit mengekpresikan perasaan itu terhadapnya.
“yah, ini memalukan, yah Aneuk ga yakin, klo tahun depan masih seperti ini, ga bisa yah, yah..pindah jurusan aja bisa? Turun ke level terendah dari psikologi pun boleh” pintaku lirih berharap ayah berkata “iya, ya sudah transfer jurusan saja”. Namun, bener kata orang jauh panggang dari api, ayah pun mengatakan tidak, beliau yakin aku bisa, bisa menuntaskankan dengan sempurna. Keyakinan ayah adalah beban buatku, bagaimana ayah bisa yakin sementara aku sendiri ga yakin. Entahlah, mungkin itu feeling orangtua… batinku menenangkan diri.
****
Hari berlalu, bulan berlalu,semester demi semester pun berlalu, bener adanya tiap semester aku pun menunjukkan peningkatan, walaupun aku tidak bisa cumlaude, hingga akhirnya aku bisa juga bisa juga merasakan yang dinamakan dengan kecemasan menghadapi sidang skripsi. Seminggu sebelum sidang, aku menelpon ayah dan menceritakan bagaimana cemasnya aku dan merasa was-was semakin mendekati hari H. Namun lagi-lagi ayah mampu menentramkan aku yang sedang gundah dengan objek yg tidak jelas bentuknya.
Salah satu omongan ayah yang masih aku ingat adalah ”ga,papa..semua orang telah melewatinya dan ayah yakin kamu mampu, nanti setelah lulus ayah akan ke jawa dan ikut wisuda, ayah bisa jalan-jalan ke Semarang dan kita akan jalan-jalan ke kota lainnya di jawa. Iming-iming ayah mampu menenteramkan hatiku. Sejak saat itu, rasa rindu jalan-jalan dengan ayah membuatku semangat dan level kecemasanku perlahan-lahan turun derajatnya hingga akhirnya aku bisa melewati sidang dengan sempurna, sebagai seorang yang dulunya tidak suka psikologi, kini aku mampu lulus dengan nilai sangat meemuaskan meskipun tidak tergolong cumlaude.
Aku menelepon ayah dan aku sangat senang, dan ayahpun sangat bangga karena kini aku lulus dari sarjana psikologi, beliau selalu bertanya dan kapan tepatnya wisuda diadakan. Setalah semuanya selesai untuk proses skripsi dan menuju persiapan wisuda, H-5 aku menelpon ayah, dan mengatakan ayah sudah bisa membeli tiket dan ke jawa karena hari wisuda sudah pasti dan ayah bisa ke jawa.
Setelah berbicara di telpon, aku pun mulai kegirangan sendiri membayangkan ayah akan datang, meskipun mamak tidak ada di tengah-tengah kami nanti. Namun aku masih memiliki rasa senang, Karena akan ada ayah, kakakku dan juga adek yang akan datang ke hari wisudaku, karena capek menghayal akhrinya aku tertidur, sementara aku tertidur nyenyak ditambah dengan gemuruh hujan yang saling bersahutan.
Seperti biasa subuh hari aku bangun, hendak mengambil wudhu, tiba2 ibu kos mengetuk pintu, dan mengatakan “Mbak, tadi kakaknya Mba dari Jakarta telpon, katanya suruh ke bandara untuk pulang ayah masuk rumah sakit, karena terpeleset kamar mandi. Lemes, terasa hitam sekeliling, mendengar kabar tiba-tiba ayah masuk rumah sakit. Aku langsung mencoba menguasai diri dan 5 menit kemudian aku mencoba meraih hp dan menelpon mbak yang di Jakarta, setelah mendengar penjelasan dari mbak, dengan baju seadanya aku menuju bandara di subuh buta yang diantarkan ibu kos menuju bandara.
Aku lupa akan hari wisuda, dan aku memilih pulang. Setelah melewati perjalanan lebih kurang 3 jam, aku bersama mbakku dari Jakarta kami tiba di rumah. Kami langsung menuju rumah setelah tante menelpon meberitahukan ayah sudah keluar dari rumah sakit, rasanya plong mendengar ayah sudah keluar dari rumah sakit walupun belum sembuh. Setelah sampai di rumah banyak tamu yang menjenguk ayah, aku lari dan masuk ke rumah, sambil berteriak “ayah aku pulaaaaang”.
Ternyata rasa kangen itu harus aku pendam untuk selama-lamanya, yang kini ada dihadapanku hanya sekujur mayat kaku, putih, tersenyum dan tak bersuara, yang siap untuk dikuburkan. Aku duduk dan entah apa yang terjadi aku ga inget. Aku hilang kesadaran sekitar 2 jam. Aku kaget, ternyata ayah sudah meninggal dari semalam, sehari setelah aku menerima telepon dengan ayah. Aku ga percaya, tiada pergi disaat aku lulus kuliah. Seolah-olah memori ikut meguraikan semuanya, ketika llulus SMA ibu pergi, sekarang Ayah. Ingin rasanya berteriak “ya ALLAH, apa rencanaMu” aku ga tahu harus seperti apa tanpa mereka. Rasanya semuanya hilang begitu saja. Hilang dan gelap.
****
Setelah ayah pergi sebulan kemudian, aku masih terpuruk dan terpukul susah untuk bangun, aku kehilangan semangat, hilang teman, hilang sahabat, juga orangtua. Sementara kakakku terus memberikanku semangat. Karena kepergian ayah, aku sangat terpukul. Disaat aku ingin membahagiakannya, ayah pergi. Ayah tidak bisa melihat aku wisuda. Walupun aku telah mewujudkan kuliah di psikologi, namun ayah sudah tiada rasanya sudah tidak berguna sarjana psikologi yang telah kuraih. Bulan berlalu hingga akhirnya aku memasuki dunia kerja. Aku bekerja di sebuah perguruan tinggi di bidang psikologi sebagai assistant dosen. Karena untuk dosen diharus S2, aku pun bertekad S2, “walupun aku ga yakin dengan dana S2,mohon doakan Aneuk ya” mantapku pada diri sendiri dalam hati.
Seperti biasanya aku bekerja, mulai jam 8 sampai dengan jam 5 sore. Malamnya aku ikut kursus bahasa inggris, capek karena aku harus menguras energi siang dan malam, tapi aku harus membuat ayah-mamak bangga. Sambil mengikuti kursus aku, mengikuti beberapa seleksi beasiswa dari sebuah lembaga penyedia beasiswa di Aceh. Hingga akhirnya aku mengajukan lamaran ke LPSDM beasiswa di Banda Aceh.
Setelah melalui proses yang panjang, aku dinyatakan sebagai salah satu penerima beasiswa dari lembaga itu. Hati senang bukan main, aku sangat bersyukur, aku bahagia, karena aku akan sekolah master psikologi di luar negri, Taiwan, ROC.
Setiap perjuangan pasti akan ada rintangan dan ujian, demikian juga dengan saya. Ujian demi ujian saya temui. Ketika saya dinyatakan lulus dari sebuah lembaga penyediaan beasiswa di salah satu lembaga di Aceh, saya merasa keberhasilan sudah bisa saya genggam. Namun, ternyata ALLAH menguji saya, seminggu kemudian tim lembaga tersebut memanggil saya, menyatakan dikarenakan sesuatu namaku terpaksa dicoret dari daftar penerima beasiswa. Terpukul dan kecewa, itulah perasaan saya pada hari itu. Mungkin Allah punya rencana lain buat saya. Begitulah kalimat yang keluar dari mulut saya untuk membesarkan hati. Impian melanjutkan kuliah di luar negeri pupus sudah. Namun, rasa pantang menyerah dan terus berusaha tetap saya jalani, demi mencapai cita-cita. Saya yakin bahwa sesungguhnya,” kesungguhan akan membuahkan hasil”. Kata-kata ini menjadi motivasi buat saya, untuk mencoba dan terus mencoba, sampai akhirnya saya mengirim berkas aplikasi beasiswa berikutnya ikut seleksi beasiswa di sebuah jejaring kampus tingkat international.
Setelah tiga bulan berlalu, saya sempat dihinggapi perasaan was-was karena belum ada kabar apapun tentang beasiswa tersebut. Dengan sikap positif, terus berdoa dan saya serahkan semuanya kepada Allah sambil terus memegang kata-kata “ajaib” yang saya yakini benar: man jadda wa jadda. Barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan mendapatkan hasilnya.”
Ternyata Allah menjawab doa saya. Ketika akhirnya hari Jum’at di bulan Juni, 2011 lalu saya mendapatkan telepon langsung dari Taiwan dan saya dinyatakan sebagai penerima tunggal beasiswa the Department of Social Welfare (DSW) of Taipei City Government” untuk melanjutkan Master of Counseling and Clinical Psychology di Asia University of Taiwan untuk Master Psikologi. Rasa tidak percaya menghinggapi ketika saya dinyatakan lolos sebagai penerima beasiswa dari pemerintahan Taiwan, tak berhenti disitu, ternyata Allah SWT menambahkan kebahagiaan saya, dengan mendapatkan dua beasiswa sekaligus: dari pemerintahan Taiwan, juga dari kampus di Taiwan tempat di mana saya memilih untuk melanjutkan master psikologi. Akhirnya, di karenakan harus memilih, saya memilih DSW Scholarship.
***
Setelah sampai di Taiwan, saya mengikuti perkulaiah seperti biasanya, banyak hal yang saya dapatkan dari sana. Kejutan demi kejutan ALLAH datangkan dalam diri saya. Rasa syukur tak henti-hentinya saya ucapkan kepada-Nya ketika saya diberi kepercayaan untuk bisa sekolah di luar negeri, mendapatkan kesempatan beasiswa international, bertemu dan belajar dengan orang asing yang belum pernah kenal sebelumnya, mengenal metode baru dalam dunia pendidikan. Setiap akhir semester, Allah seperti terus menerus memberi kejutan demi kejutan buat saya dalam bentuk angka-angka sempurna di lembar prestasi akademik seorang mahasiswa.
Alhamdulillah Rabbku, Engkau menyempurnakan kebahagiannku, menutup semester demi semester mendekati angka sempurna ..I liked it. That’s a gift from God, that I never had before. Kebahagiaan lainnya, di sejumlah agenda kuliah, saya kembali diberi kepercayaan sebagai penghubung sebuah maskapai terkenal Garuda Indonesia (kantor pusat di Taipei) dengan pelajar Indonesia yang berada di Taiwan, dalam penjualan tiket khusus mahasiswa Indonesia Taiwan yang sudah berjalan hampir setahun ini. Kesempatan yang lainnya, saya dipercaya untuk magang di International Hospital Taichung, Ren-Ai Hospital sebagai Indonesia Services selama 5 bulan sebelum saya balik ke Indonesia, juli 2013 lalu”. Di sisi lain, dengan segala keterbatasan yang saya miliki, saya terus berusaha membenahi bahasa inggris, bertahan demi cita-cita, akhrnya tahun 2013 bulan Mei saya lulus menyandang gelar Master saya dengan masa study 1 tahun, 8 bulan. Tuhan seolah-olah terus menerus menaburi saya dengan kebahagiaan dan kado-kado terindahnya. Something just happens when we believe. Hari ini, pada saat menulis artikel ini, aku telah menjadi seorang psikolog klinis dan kisah ini berwujud dari impian mulia seorang ayah.
“Hidup adalah proses, hidup adalah belajar. Tanpa ada batas umur dan tanpa ada kata-kata menyerah dan putus asa. Ketika “jatuh” berdiri lagi, ketika “kalah” mencoba lagi, dan ketika gagal terus bangkit lagi. Never give up . Teruslah belajar dan belajar, Sampai akhirnya Allah berkata “telah tiba waktunya untuk kembali.” Maka berjuanglah sebanyak-banyaknya, Karena dari sana kita akan banyak belajar dan belajar, menjadi sosok yang lebih baik dan bermanfaat bagi sekitar.
“Jika apa yang saya dapatkan hari ini adalah sebuah keajaiban, maka keajaiban itu adalah bagian dari kerja keras” (Zaujatul Amna Afganurisfa, S.Psi., M.Sc. 2013).
(Saya harap tulisan ini mampu menjadi suntikan motivasi terutama bagi mereka yang sudah tidak memiliki orangtua, namun memililiki jutaan mimpi. Yakinlah dengan mimpi2mu kawan. Man jadda wajada, saiap yang bersungguh-sungguh, maka dia akan mendapatkannya).