Oleh Ruzana Dhiauddin, Aceh Student at National Central University, Chongli-Taiwan
SUDAH dua tahun saya menjalani Ramadan di negera formosa ini. Menjadi muslim minoritas memberikan pengalaman berbeda bagi puasa saya. Sejak September 2012 lalu, saya mengambil program master di bidang Remote Sensing Science and Technology, National Central University.
Seperti yang diketahui penganut Islam di Taiwan sangat sedikit. Kebanyakan masyarakat disana menganut ajaran Budha, Kristen atau sama sekali tak beragama (atheis). Selama Ramadan aktifitas penduduk berjalan seperti hari biasanya. Sekolah dan perkuliahan tetap berlangsung. Tidak ada percepatan jadwal pulang seperti lazimnya di Indonesia. Rumah makan dan cafe pun tetap beroperasi sepanjang hari.
Kampus tempat saya belajar, termasuk kampus dengan jumlah muslim yang sedikit. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Maka Islam pun terdengar asing bagi rekan-rekan kampus. Banyak yang heran ketika saya menggunakan jilbab atau melaksanakan shalat. Terlebih ketika saya melaksanakan ibadah puasa, mereka menatap saya iba yang harus menahan lapar dahaga.
“Why don’t you eat?”
“So, you cannot eat anything for 1 month? Is it okay?”
Maka tak jarang ekspresi mereka membuat saya tertawa. Saya kerap menjelaskan kepada mereka tentang arti puasa. Walaupun saya menjadi warga minoritas, saya tidak mengalami kesulitan menjalankan ibadah. Setidaknya pihak kampus memberi izin ketika saya ingin melaksanakan shalat di jam perkuliahan. Ataupun sahur bersama teman-teman di lobby asrama.
Ini adalah tahun kedua saya berpuasa di luar Aceh. Jauh dari keluarga dan teman-teman terkadang membuat saya rindu ingin pulang. Rindu dengan tradisi meugang, kuah cram crum ataupun penganan berbuka saat Ramadan ataupun sahur. Walaupun seperti itu saya masih bisa berkumpul dengan teman-teman muslim Aceh untuk berbuka atau sahur bersama dengan menu sederhana, seperti mie goreng atau bubur.
Tahun ini Ramadan di Taiwan bertepatan dengan musim panas. Durasi berpuasanya sedikit lebih lama sekitar 16 jam setiap harinya. Tetapi itu tidak menghalangi untuk tetap berpuasa. Bahkan sebagian dari kami semakin bersemangat menyambut Ramadan, yang berarti ada jamuan gratis di mesjid. Terkadang kami sering mendapat tentengan bekal ketika pulang.
Disini terdapat tujuh mesjid di seluruh Taiwan. Letaknya yang berjauhan membuat muslim kesulitan untuk melaksanakan shalat Tarawih. Saya yang bermukim di Zhongli, Taiwan bagian tengah, harus bertukar dua kali bus dengan jarak 40 menit perjalanan menuju Masjid Longgang yang paling dekat dengan kampus. Ketika usai Tarawih pun saya harus buru-buru pulang mengingat bus ke kampus cuma sampai pukul 22.10.
Jujur saya sangat merindukan berbuka puasa di Indonesia. Disini tidak ada penanda selayak sirine atau bedug jika waktu berbuka tiba. Saya dan teman-teman hanya mengandalkan jadwal imsakiyah yang dibagikan pengurus masjid. Jika sedang berbuka di masjid biasanya menunggu suara Imam memimpin doa berbuka.
Begitu juga dengan suara cempreng bocah-bocah yang berteriak melalui speaker mesjid ketika sahur yang dulunya agak menganggu, kini menjadi hal yang sangat saya rindukan. Terlebih berburu takjil di sore hari. Ramadhan mubarrak!
-Ruzana Dhiauddin-
Juga di-publish di Atjehpost
0 comments:
Post a Comment