Ranup Lampuan

Aceh student Association in Taiwan

Likok Pulo

Memperknalkan marwah bangsa dan budaya adalah kewajiban bagi kami, walau jauh dari negeri "Indatu"

Halal Bihalal Idul Adha 2012

Kebersamaan di hari yanng mulia adalah kebahagian yang tak terkira hidup di negeri orang

Edventure

Merasakan apa yang belum pernah ada di negeri sendiri adalah cita-cita dari setiap individu

Taipei 101

"If you can dream it, you can do it" Bermimpilah setinggi-tingginya.

Thursday, November 22, 2012

Besar, Peluang Dakwah di Taiwan

OLEH TAUFIQ MAULANA, Penerima Beasiswa Pemerintah Aceh Program Taiwan 2012 di National Cheng Kung University, melaporkan dari Tainan

ALHAMDULILLAH, sudah tiga bulan saya berada di Taiwan untuk melanjutkan studi S3 di Jurusan Institute of International Management di National Cheng Kung University (NCKU) di Kota Tainan, Taiwan. Banyak hal yang menarik perhatian saya selama berada di negeri ini.

Pertama, Taiwan jumlah muslimnya sedikit. Dengan penganut Islam yang hanya 0,3% dari total populasi di Taiwan (sekitar 45.000 orang, data tahun 2007), menjadikan mereka minoritas di sini. 

Hal ini juga dapat terlihat dari minimnya jumlah masjid di Taiwan yang hanya enam buah, tersebar dari ujung utara hingga selatan negeri ini. Disebabkan jumlah muslim yang sedikit, maka mendapatkan makanan halal menjadi tantangan tersendiri bagi muslim di sini, khususnya bagi perantau. Baik yang sedang kuliah maupun yang mencari nafkah. 

Cara yang paling aman mengatasi kendala ini adalah memasak sendiri daripada membeli di warung makan, karena hampir di seluruh warung makan di sini menyediakan menu pork (babi). Makanya penting bagi seseorang yang beniat menetap di Taiwan ataupun di negara minoritas musllim lainnya untuk membekali diri dengan kemampuan memasak walaupun dengan menu yang sangat sederhana.

Hal menarik kedua adalah, karena jumlah muslimnya sedikit, maka kekompakan sesama muslim di sini sangat tinggi. Sekadar informasi, para mahasiswa muslim Indonesia di Taiwan tergabung dalam sebuah wadah organisasi bernama Formmit (Forum Mahasiswa Muslim Indonesia di Taiwan). Salah satu contohnya adalah para mahasiswa muslim yang kuliah di NCKU berhasil melobi pihak asrama untuk menyediakan tempat shalat bagi mahasiswa muslim. Akhirnya, pihak dormitory mengizinkan sebuah ruang terbuka di lantai tiga asrama dijadikan sebagai masjid yang mampu menampung 60 orang jamaah. 

Setelah itu, para mahasiswa muslim di sini bergotong royong  menjadikan masjid tersebut nyaman bagi siapa pun untuk beribadah. Misalnya, bekerja sama membersihkan dan merapikan masjid, menyediakan kelengkapan shalat seperti tikar, sajadah, dan mukena, mengumpulkan dana swadaya mahasiswa untuk merenovasi atap masjid, dan lain-lain. Alhamdulillah, masjid yang terletak di Sheng Li 6 asrama mahasiswa NCKU pun kini ramai dikunjungi mahasiswa muslim. Bukan saja berasal dari Indonesia, tetapi juga dari negara lain seperti Bangladesh, Iran, Mesir, dan India. 

Pada Hari Raya Idul Adha yang lalu di masjid ini diadakan shalat Idul Adha yang dihadiri sekitar 40 jamaah. Ini merupakan kali pertama shalat hari raya dilaksanakan di Asrama Mahasiswa NCKU.

Hal menarik berikutnya adalah ternyata banyak orang di sini yang belum mengenal Islam, kalaupun pernah mendengar Islam, itu dari sumber yang keliru yang tidak menggambarkan Islam sebagaimana mestinya. Dalam beberapa kesempatan, saya pernah berdiskusi tentang Islam dengan beberapa mahasiswa kafir dan terlihat jelas keawaman mereka tentang agama ini. Hal-hal mendasar yang sering mereka tanyakan seperti masalah shalat, jilbab, dan makanan halal menunjukkan bahwa mereka memang benar-benar awam, polos, dan  tak tahu akan hal tersebut. Soalan-soalan yang diajukan pun jauh dari kesan mengetes atau debat kusir yang tak ada ujung pangkalnya sebagaimana sering ditemukan bila berdiskusi dengan orang-orang nonmuslim yang sudah mengenal Islam. 

Di sinilah peran seorang mahasiswa muslim dituntut untuk mendakwahkan atau menyampaikan Islam yang sebenarnya. Sebagaimana pesan Rasulullaah saw kepada umatnya untuk menyampaikan ajaran Islam walau hanya satu ayat. Artinya, bagi yang mau terbuka besar peluang dakwah di Taiwan. 

Saya sangat menganjurkan kepada setiap mahasiswa Aceh yang ingin atau sedang kuliah di luar negeri, khususnya di negara yang minoritas muslim, untuk membekali diri dengan kemampuan menjadi imam, khatib dan mengaji, ditambah lagi dengan kemampuan berkomunikasi dengan bahasa tempatan. Insya Allah semua kemampuan tersebut akan termanfaatkan dengan baik. Trust me, it works!
Sumber Serambi Indonesia

Thursday, November 8, 2012

Tingginya Kesadaran Berolahraga di Taipei

OLEH dr WIRA WINARDI, Penerima Beasiswa Pemerintah Aceh Program Taiwan 2012, Taipei Medical University, melaporkan dari Taiwan

SUDAH lebih tiga bulan saya berada di Kota Taipei, Taiwan, untuk kuliah magister atas sponsor Pemerintah Aceh yang difasilitasi oleh Lembaga Peningkatan Sumber Daya Manusia (LPSDM) Aceh. Selama di Taipei, banyak hal yang saya cermati dari sudut pandang saya sebagai dokter. Salah satunya adalah pola hidup positif masyarakat di negeri ini.

Taiwan adalah salah satu negara yang diklaim mempunyai sistem asuransi terbaik di dunia. Dengan mengandalkan National Health Insurance (NHI), masyarakatnya dapat mengakses fasilitas kesehatan dengan biaya yang relatif ringan dan berkeadilan. Bahkan, untuk banyak jenis pelayanan pasien hanya perlu membayar uang pendaftaran saja.

Layaknya kebijakan asuransi, penyedia program akan lebih diuntungkan dengan semakin berkurangnya jumlah pasien yang sakit dan dirawat. Oleh karna itu, Pemerintah Taiwan begitu gencar melakukan penyuluhan kesehatan dan pencegahan penyakit. Salah satu yang menarik untuk diperhatikan adalah upaya pemerintah dalam mendorong masyarakat untuk aktif berolahraga.

Di Kota Taipei yang merupakan tempat saya tinggal dan kuliah, pemerintah kotanya menyediakan banyak sarana olahraga untuk masyarakat umum. Paling tidak ada tujuh pusat olahraga yang saya ketahui, enam lainnya sedang dalam tahap pembangunan, dan seluruhnya dapat diakses dengan mudah oleh setiap warga kota.

Pemerintah juga membangun jalur hiking di kaki bukit serta jalur pinggir sungai yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berolahraga di akhir pekan bersama keluarga.

Selain itu, Dinas Olahraga Kota Taipei juga sangat serius bekerja untuk mendidik masyarakat agar bergaya hidup sehat. Salah satunya adalah dengan menggelar kompetisi rutin olahraga yang meliputi segala kelompok. Ada pertandingan khusus untuk anak, wanita, bahkan kompetisi olahraga bagi penyandang cacat.  Pemerintah juga rutin menyebarkan brosur pertandingan maupun even olahraga kepada masyarakat.

Di kota ini, bukanlah pemandangan yang langka, jika kita menjumpai warganya mengenakan baju olahraga lengkap, melakukan jogging pada malam hari, berhubung siang hari rutinitas tugasnya sangat padat. Setiap sore, fasilitas publik, termasuk taman kompleks perumahan, kampus, sekolah, penuh dengan warga kota dari berbagai lapis usia yang berolahraga dengan beragam permainan. Saya sendiri sering memperhatikan lansia yang begitu bersemangat berolahraga. Mereka mampu berdiri berjam-jam di taman kompleks perumahan untuk sekadar gerakan kecil yang mampu mereka lakukan.

Didukung oleh komitmen pemerintah dalam mengedukasi serta menyediakan fasilitas yang memadai, hal ini menjadi faktor pendorong bagi masyarakat untuk rutin berolahraga dan bergaya hidup sehat. 

Hal ini sangat mungkin untuk kita terapkan secara perlahan, namun berkesinambungan di Aceh. Apalagi dengan baiknya mutu kesehatan masyarakat akan berimbas pada menurunnya dana APBA yang terpakai untuk menyubsidi program pengobatan, sehingga bisa dialokasikan kepada sektor prioritas lainnya.

Yang lebih penting lagi, bila warga sehat dan bugar, maka akan meningkat produktivitas hariannya. Kesemuanya akan berdampak pula pada kuatnya ketahanan sumber daya manusia di Propinsi Aceh yang kita cintai ini. Semoga.
Sumber:Serambi Indonesia

Saturday, November 3, 2012

Halal bi Halal Mahasiswa Aceh di National Dong Hwa University (NDHU)


HUALIEN -- Pada tanggal 6 hingga 7 Oktober 2012 mahasiswa Aceh yang sedang belajar di Taiwan berkunjung ke NDHU. Sekitar 15 mahasiswa dari kampus yang berbeda-beda datang untuk bersilaturrahim dan juga menyambut kedatangan  mahasiswa baru ke negeri Fomosa, khususnya NDHU. Perjalanan mahasiswa Aceh ke NDHU menumpuh jarak yang cukup jauh, kurang lebih memakan waktu 4 jam. Adapun agenda dari kegiatan ini adalah makan siang bersama, dengan menu khas Aceh (kuah plik U) kemudian dilanjutkan dengan keliling NDHU, makan malam  dan pemutaran “movie maker”. Film ini tentang perjalanan mahasiswa NDHU dari kedatangan mereka di Taoyuan Airport, training bahasa mandarin di kota Chungli sampai dengan tiba di NDHU. Kegiatan ini berlangsung bersamaan dengan makan malam. Dalam waktu yang bersamaan, kami berbagi pengalaman dan kesan selama belajar di Taiwan. Akhirnya malam tiba, kami berisitirahat mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan aktivitas keesokan harinya.



Keesokan harinya 7 Oktober 2012, kami semua menyantap hidangan sarapan pagi dengan tema nasi guri sembari membahas kegiatan berikutnya. Adapun inti dari kegiatan hari ini yaitu jalan-jalan ke Taroko dan Liyu Lake yang merupakan tempat pariwisata yang terkenal di Kota Hulien. Sepertinya perjalanan mereka cukup memberi kesan indahnya kota Hualien dan NDHU.

Dengan diadakan kegiatan ini, membuat kami lebih mengenal satu sama lain, khusunya antara semua mahasiswa Aceh yang sedang belajar di Taiwan dan juga untuk berbagi informasi tentang kampus masing-masing. Kami mahasiwa Aceh NDHU merasa bahagia dengan kedatangan teman-teman semua. Kami berharap dengan adanya silaturrahim ini bisa mempererat hubungan ukhuwah antara mahasiswa Aceh yang sedang belajar di Taiwan

Kami mewakili teman-teman semua di NDHU mengucapkan terima kasih banyak atas kedatangannya dan ditunggu untuk kedatangan selanjutnya.

By Ipah & Elf

Ke Taiwan, Kunjungilah Pasar Malam Feng Chia

Oleh Zikra Yanti, Master Student at Natioanal Chung Hsing University, Taichung-Taiwan.

BAGI Anda yang suka berliburan, datanglah ke Taiwan. Negara beribukota Taipe ini dikenal mempunyai banyak museum, seperti National Palace Museum, Chiang Kai Shek Memorial Halla, hingga Miniatur Museum of Taiwan. Bisa juga mengunjungi danau terbesar di Taiwan, yaitu Sun Moon Lake, yang terletak di luar Kota Taipe.

Setelah lelah menikmati panorama kota, baiknya Anda perlu mengunjungi pusat perbelanjaan, untuk mencari buah tangan bagi kerabat Anda di rumah. Saya menyarankan Anda mengunjungi pasar malam (night market) Feng Chia. Ini merupakan surga belanja malam di Taiwan.
Terletak di Kota Taichung, pasar malam ini hanya berjarak dua kilometer dari Kota Taipe, bila menggunakan bus antarkota. Pasar ini mulai dibuka pada pukul 17.00 hingga tengah malam, 24.00. Feng Chia merupakan pasar malam terbesar dan paling populer di Taiwan.
Tak kurang dari 1.000 toko, vendor, dan warung lapisan Wenhua Rd, Feng Chia Rd, Fuxing Rd, dan Xian Rd. Anda bisa berburu koleksi baju, celana, rok, sepatu, sandal, tas, dan pernak-pernik dengan pelbagai model juga tersedia lengkap di pasar malam yang satu ini.
Lebih-lebih, bagi para pecinta fashion ala Korea, segala jenis dan model tersedia lengkap, baik untuk anak-anak, remaja dan orang dewasa, mulai dari ukuran kecil hingga ukuran yang paling besar sekalipun tersedia dengan lengkap.
Soal harga tidak perlu khawatir. Sebab, harga yang ditawarkan sangat murah. Mulai dari NTd 100 “yi bay” apabila disebut dalam bahasa Zhong wen (Mandarin Traditional). Kalau dirupiahkan sekitar 30.000. Bahkan tidak jarang setiap warga atau turis yang berburu harga “yi bay”.
Jangan ragukan kualitas barang yang diperjual-belikan di sini. Dijamin Anda tak akan kecewa. Bahkan, apabila beruntung dan pintar dalam urusan tawar-menawar, Anda dapat membeli tas dan sepatu yang terbuat dari kulit asli hanya NTd 1.000 atau tak lebih dari Rp300.000. Murah kan?
Ada juga tips yang harus diperhatikan kala bertandang ke Feng Chia. Orang Cina, termasuk orang Taiwan, percaya betul pada mitos Cina kuno. Menurut mereka, pembeli pertama dan terakhir dipercaya sebagai pembawa keberuntungan bagi pedagang.
Jadi, banyak warga dan turis selalu berusaha menjadi pembeli pertama atau terakhir. Bahkan, ada yang sengaja menunggu atau datang lebih awal sebelum toko dibuka untuk membeli barang yang diinginkan. Apabila anda salah seorang yang beruntung menjadi pelanggan utama dan yang terakhir, maka berapapun harga yang anda tawar pasti akan diiyakan oleh pemilik dagangan. Selamat berbelanja. 
Sumber:Acehkita

Kaohsiung, Taiwan dan Idul Kurban 1433H

Alil dan Opi (sebut saja demikian), alumni Asia University, Taiwan dan Visiting Scholar di National Sun-Yat Sen University, Taiwan. Keduanya baru tiba di tanah rantau (Taiwan) satu bulan lamanya. Idul Kurban kali ini merupakan hari pertama mereka merayakan hari besar "bersama" dan jauh dari keluarga. 

Taiwan dengan 23 juta-an penduduknya dan ukuran negara yang hampir sama dengan Belanda, memang tidak memiliki libur khusus bagi yang merayakan hari besar Islam seperti ini, dikarenakan muslim yang sangat minoritas. Namun, apakah minoritas dari segi jumlah boleh membuat mereka yang mencari ilmu di sini harus meruntuhkan esensi Idul Kurban?

Pukul 07.00 ketika terik belum meninggi, mereka berlepas dari rumah di bilangan Sizihwan bay. Daerah tinggal mereka merupakan daerah pesisir yang dikelilingi beberapa spot (tempat) menarik bagi turis lokal dan internasional. 

Di sekitar rumah terdapat Kaohsiung Port (pelabuhan), tempat beberapa kapal pesiar singgah secara periodik. Ada juga Love River (sungai cinta), tempat yang sangat romantis dengan suasana dan fasilitas bersepeda yang sangat nyaman. 

Selain itu, juga didapati kampus dengan nuansa scenic dan historis di gunung Cai (Cai Shan) bernama National Sun-Yat Sen University. Kampus yang masuk dalam top 500 ranking kampus dunia ini, terletak tepat di pinggir laut dan hampir semua gedung berada di atas gunung, sehingga pemandangan sekitar kala di kampus seolah melengkapi keindahan pelabuhan dan sungai cinta.

Pukul 8.00 mereka tiba di masjid Kaohsiung untuk melaksanakan shalat Idul Adha. Namun, jika dibandingkan dengan semarak hari besar di negeri sendiri serasa ada yang kurang. 

Kala mereka tiba, tidak ada takbir yang menggema sebelum shalat Ied. Sanak kerabat pun seolah tak ada, tapi yang ada yakni saudara-saudara seirama dalam harmoni perantauan. Sebut saja namanya Mas Fauzy yang sudah 9 tahun bekerja di Taiwan dan Mas Surono dengan raihan 4 tahun untuk mencari maisyah (penghasilan). Bersama Alil dan Opi, juga ada Mbak Gina yang telah berada di Taiwan 11 tahun untuk mencari rezeki. 

Dengan saudara-saudara baru ini, mereka merasakan jauhnya keluarga namun ukhuwah (persaudaraan) itu tetap kokoh di hari besar ini. Hari yang mengingatkan kita pada pengorbanan Ibrahim a.s dan Ismail a.s untuk menaati perintah Tuhan-Nya.

Imam Hussein adalah imam di Masjid Kaohsiung. Sama seperti kala Alil (Red. ketika masih sendiri) di dua tahun lalu, kala ia merayakan hari raya Idul Fitri di Kaohsiung saat menempuh studi master. Semangat Imam Hussein masih sama dengan campuran tiga bahasa dalam ceramah singkat sebelum khutbah Ied.

Ada pesan tegas yang membekas, bahwa kita semua adalah Mudarris (guru), kita semua adalah da'i (penyeru). Jadi, dimanapun kita berada, sampaikan apa itu Islam dan sampaikan bahwa Islam itu punya kemuliaan (izzah).

Selepas shalat Ied, Alil dan Opi lekas bergegas menuju Taichung guna memenuhi undangan silaturrahim mahasiswa Indonesia di Asia University. Jika Kaohsiung terletak di ujung Selatan Taiwan dengan kehangatannya serta pemandangannya yang khas, Taichung adalah kota di wilayah tengah dengan nuansa bisnis yang semarak namun kebutuhan sehari-hari lebih terjangkau. Sebut saja jika di Kaohsiung dengan 100 NT (+/- Rp 30.000) bisa mendapatkan 6 buah Apel, di Taichung dengan harga sama bisa mendapatkan 8 buah. 

Sesampai di Taichung, Alil dan Opi menuju masjid Taichung untuk bertemu kawan lama serta memperkenalkan Opi kepada Pak Imam Abdullah. Maklum saja, sebelum menikah 3 bulan yang lalu, Alil meminta do'a kepada pak Imam, dan sebagai tindak lanjut ia memperkenalkan istrinya kali ini. 

Di masjid ini dulu, Alil bersama para rekan menjalin silaturrahim di berbagai organisasi mahasiswa dan pekerja. Idul Kurban tahun ini, seolah silaturrahim itu masih terjaga dan penuh dengan nuansa keakraban di tanah rantau.

Sebelum menuju Asia University, mereka  singgah sebentar di rumah Ketua PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) di Taiwan yang juga berasal dari Aceh, Bang Ramzi namanya. Tiap lebaran di Taiwan, tidak sah kalau belum ke rumah Bang Ramzi dengan hidangan khas Indonesia dimulai dari rujak, lontong ditemani rendang. Mereka seolah kembali ke rumah, bukan rumah sebenarnya namun rumah tempat para mahasiswa Indonesia dan yang berasal dari Aceh kerap kali berkumpul dari wilayah Taipei (Utara), Taichung (tengah) hingga Tainan (Selatan).

Sebelum pulang, agaknya Alil dan Opi masih terhitung linto dan dara baro (Red. sebutan dalam bahasa Aceh bagi pasangan pengantin baru). Tak lupa, keluarga Bang Ramzi memberikan sedikit salam tempel seperti adat yang telah berlaku di tanah rencong.

Maghrib pun tiba, mereka segera shalat berjamaah di mushola kecil nan teduh di Asia University. Selepas shalat Isya, semua telah berkumpul dan dikejutkan dengan kehadiran para mahasiswa/i dari Utara hingga Selatan, dari National Taiwan University Science and Technology(NTUST) di Taipei hingga National University of Tainan(NUTN) di Tainan. Sekitar 30-an mahasiswa rantau berkumpul, mendengar tausyiah, makan rendang  (lagi) hingga pemutaran film Al-Fatih.

Pukul 20.00, tiba saatnya bagi Alil dan Opi kembali ke sekitaran Love River, tempat di mana rumah mereka berada. Kaohsiung ke Taichung yang memakan perjalanan 2 jam menggunakan bus, seakan tak ada artinya dibandingkan ukhuwah Islamiyah (persaudaraan) di tanah rantau ini.

Teringat satu pesan lagi dari Imam Hussein, "Dari Idul Kurban, kita belajar ketaatan dan pengorbanan dari bapak para Nabi (Ibrahim a.s), pengorbanan yang hanya ditujukan kepada Allah SWT. Hendaknya para kaum muslimin mampu mengelola waktunya di dunia, agar ibadah-ibadah kepada-Nya adalah bagian dari ketaatan dan pengorbanan waktu dan hidup kita untuk-Nya."

Salam hangat dari Kaohsiung. 

Sumber :Republika

Peluang Usaha Perikanan Aceh

By Agus Putra A. Samad, Mahasiswa S3 di NTOU, Keelung, Taiwan.

Ikan, sebuah nama yang pasti dikenal oleh manusia. Saat ini tercatat sebanyak 25.000 spesies ikan tersebar diseluruh dunia dengan sebaran habitat: 58%  hidup di air laut, 41% air tawar dan 1% air payau. Meskipun tidak ada data akurat yang mampu menunjukkan jumlah total ikan di dunia,  namun  Food and Agriculture Organization (FAO) melaporkan bahwa hasil tangkapan ikan dari perairan umum menunjukkan grafik penurunan dari tahun ke tahun dimulai sejak tahun 1990-an.
Trend penurunan hasil tangkapan ini diduga disebabkan oleh tiga hal utama yaitu: 1) berkurangnya stok ikan dunia, rusaknya ekosistem perairan, dan menurunnya hasil tangkapan nelayan yang disebabkan oleh rendahnya keahlian nelayan serta faktor cuaca. 2) kelebihan penangkapan atau overcapacity yang disebabkan oleh banyaknya jumlah kapal penangkapan ikan yang melakukan aktivitas penangkapan diluar daya dukung suatu perairan. 3) manajemen dan pengaturan, dalam hal ini meskipun setiap negara telah menerapkan peraturan secara ketat, namun dilapangan masih sering terjadi kecurangan. Diantaranya adalah aktivitas penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) dan perilaku penangkapan dan pembudidayaan yang bersifat merusak (destructive fishing) yang masih menjadi persoalan sehingga menjadikan tantangan tersendiri bagi para pemegang kebijakan.
Ketiga faktor tersebut  telah menimbulkan kecemasan bagi para pemerhati perikanan yang mengkhawatirkan akan sulitnya menemukan ikan di pasaran sehingga harga ikan melambung tinggi dan masyarakat tidak mampu lagi membeli dan mengkonsumsi ikan. Sebagaimana diketahui bahwa ikan merupakan hewan air yang bernilai protein tinggi dan mudah dicerna oleh tubuh. Lebih lanjut disebutkan bahwa dalam daging ikan mengandung Omega 3 yang dapat membantu pertumbuhan sel otak manusia serta rendah kandungan lemak dan kalori sehingga sangat baik dikonsumsi oleh orang yang sedang mengikuti program diet.
Menghadapi persoalan diatas, membuat para peneliti dan pembuat kebijakan mulai melirik kepada aktivitas budidaya, karena budidaya perikanan dianggap akan mampu menjadi pemecah masalah terhadap kurangnya produksi ikan hasil tangkapan. Dari data dan grafik yang dikeluarkan oleh FAO, terjawab bahwa saat produksi hasil tangkapan ikan menurun, justru produksi budidaya perikanan tumbuh dengan sangat baik, bahkan melebihi dari proporsi yang diharapkan dari sektor ini. Sektor budidaya telah mampu menyediakan 45.6% dari kebutuhan ikan dunia (FAO, 2010).
Informasi ini telah menarik perhatian serius dari ahli perikanan untuk memikirkan metode dan teknologi tepat guna agar produksi dari sektor ini dapat terus ditingkatkan tanpa mengganggu keseimbangan ekosistem alami.
Sebagai negara dengan potensi lahan budidaya perikanan terluas di Asia Tenggara yaitu sebesar 15.59 juta ha, Indonesia memiliki peluang yang sangat besar untuk memajukan usaha budidaya perikanan. Ditjen Perikanan Budidaya (DJPB) menyebutkan bahwa meski pemanfaatan potensi budidaya perikanan belum optimal, namun produksinya menunjukkan peningkatan signifikan dari 4.78 juta ton pada tahun 2009 menjadi 6.97 juta ton di tahun 2011. Jumlah produksi tersebut telah mampu memenuhi 56.33% dari kebutuhan ikan nasional.  
Beberapa waktu yang lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif C. Sutardjo, saat membuka rapat kerja teknis (Rakernis) terpadu DJPB di Bandung, mengatakan akan terus mengajak, mendorong dan menfasilitasi Rumah Tangga Perikanan (RTP) budidaya untuk dapat berkembang sehingga mampu berperan dalam meningkatkan ketahanan pangan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat, membuka lapangan kerja dan meningkatkan perolehan devisa negara melalui ekspor hasil perikanan (DJPB, 7 Maret 2012).
Jika melihat potensi provinsi Aceh yang memiliki panjang garis pantai 1.660 km, dengan luas perairan laut 295.370 km dan luas zona ekonomi eksklusif (ZEE) 238.807 km, maka apabila dikelola secara maksimal akan dapat dijadikan sebagai salah satu tulang punggung pembangunan ekonomi Aceh yang berkelanjutan (Badan Investasi dan Promosi Aceh, 2012). Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh (2010) mencatat bahwa luas lahan budidaya produktif di Aceh saat ini adalah 57.840,2 ha, yang meliputi lahan budidaya air payau 51.519,2 ha; air tawar 6.319,9; dan air laut 1.1 ha. Data ini menunjukkan bahwa potensi yang baru tergarap hanyalah sekitar 40,9% dari keseluruhan lahan potensial yaitu seluas 141.383,23 ha. Ini menunjukkan bahwa potensi usaha budidaya perikanan masih terbuka lebar untuk terus dikembangkan.
Berdasarkan data diatas muncul pertanyaan, manakah jalan yang paling baik untuk meningkatkan produksi budidaya perikanan di Aceh? Apakah dengan cara memperluas lahan semaksimal mungkin atau cukup dengan mengelola lahan yang telah dikelola selama ini? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu dibutuhkan diskusi yang intensif antara para penentu kebijakan (pemerintah) bersama dengan penggiat budidaya (stakeholder) yang berpengalaman agar program ini dapat bersinergi dan terencana dengan baik. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa penggunaan lahan yang sudah ada selama ini cukup untuk meningkatkan produksi perikanan apabila tehnik budidaya yang diterapkan adalah sistem budidaya intensif. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa usaha budidaya yang ada di provinsi Aceh selama ini masih banyak berkutat dalam sistem budidaya tradisional.
Sistem budidaya tradisional, semi-intensif dan budidaya intensif bukanlah istilah yang asing di kalangan pelaksana perikanan. Namun, terlihat masih banyak pembudidaya perikanan yang tidak mengetahui batasan khusus dari istilah tersebut, sehingga usaha yang sedang dijalani terkadang berubah dari perencanaan semula akibat minimnya ketersediaan modal, keterbatasan alat dan kurangnya keterampilan pengelola.
Dalam kamus istilah perikanan (2010) disebutkan bahwa budidaya tradisional adalah sistem pemeliharaan ikan dengan padat tebar rendah dan pemberian pakan seadanya. Sedangkan budidaya semi-intensif adalah pemeliharaan ikan dengan padat tebar rendah dan dipelihara dalam lingkungan terkontrol dengan sistem pemberian pakan dan pengelolaan kualitas air yang baik. Sedikit berbeda dengan budidaya semi-intensif, budidaya intensif dilakukan dengan teknik padat tebar yang tinggi diikuti pemberian pakan yang teratur serta pengelolaan kualitas air yang baik dan dipelihara dalam wadah terkontrol.
Dari istilah tersebut terlihat bahwa budidaya intensif telah mengandalkan sitem padat tebar (jumlah benih yang ditebar dikolam) yang tinggi dengan sistem kontrol pakan dan kualitas air yang baik, sehingga bisa dipastikan bahwa meskipun lahan yang digunakan sangat terbatas namun jumlah produksinya tetap tinggi. Metode ini telah lama dipraktekkan oleh para pembudidaya ikan dan udang di negara-negara maju seperti Inggris, Perancis, Rusia, China dan Taiwan.
Dalam sistem budidaya intensif, permasalahan modal sering memunculkan permasalahan dan menjadi kendala tersendiri bagi para pemula. Namun pada hakikatnya budidaya intensif ini akan dapat dijalani oleh setiap pembudidaya jika mereka memiliki motivasi yang kuat dengan terlebih dahulu meningkatkan keterampilan atau skill di bidang ini. Lalu mulailah suatu usaha perikanan dari usaha-usaha kecil.
Misalnya, mulailah dari jumlah kolam yang sedikit dan jika telah mendapat keuntungan baru kemudian menambah jumlah kolam. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh seorang guru besar bidang Aquaculture di National Taiwan Ocean University (NTOU) Prof. Y.H. Chien dalam sebuah perkuliahan umum beberapa waktu yang lalu, beliau mengatakan bahwa ciri-ciri dari suatu usaha budidaya yang bakal gagal adalah apabila usaha tersebut dimulai dengan modal atau investasi yang besar tanpa perencanaan yang matang.
Lebih lanjut disampaikan bahwa mempelajari kebutuhan pasar juga akan menentukan kelanjutan usaha. Kejelian dari pembudidaya dalam memenuhi  permintaan pasar juga harus benar-benar diperhatikan. Sebagai contoh, lakukan usaha budidaya ikan air tawar di daerah dengan tingkat permintaan ikan air tawar yang tinggi, begitu juga dengan jenis ikan air payau dan air laut. Lakukanlah usaha budidaya ditempat yang terdekat dengan wilayah pemasaran agar dapat menghemat biaya transportasi. Oleh sebab itu, sebelum memulai usaha budidaya sebaiknya konsultasikan terlebih dahulu kepada dinas terkait ataupun kepada para pelaksana budidaya yang lebih berpengalaman agar terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam perencanaan dan manajemen usaha.
Sumber:TheGlobleJurnal