Ranup Lampuan

Aceh student Association in Taiwan

Likok Pulo

Memperknalkan marwah bangsa dan budaya adalah kewajiban bagi kami, walau jauh dari negeri "Indatu"

Halal Bihalal Idul Adha 2012

Kebersamaan di hari yanng mulia adalah kebahagian yang tak terkira hidup di negeri orang

Edventure

Merasakan apa yang belum pernah ada di negeri sendiri adalah cita-cita dari setiap individu

Taipei 101

"If you can dream it, you can do it" Bermimpilah setinggi-tingginya.

Monday, February 17, 2014

Wajah Baru Pendidikan Taiwan

OLEH MUSLEM DAUD, MEd. Mgmt, Dosen Universitas Serambi Mekkah, sekarang mahasiwa Program Doktoral Educational Measurement and Statistics di NTCU,Taichung-Taiwan
BILA Indonesia punya aturan Wajib Belajar (Wajar) 9 Tahun sejak 1994, Taiwan justru sudah menerapkannya sejak tahun 1968. Artinya, Indonesia tertinggal 26 tahun jika kita merujuk pada regulasi Wajar Indonesia berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1994.
Kemudian, sejak tahun 2005/2006, artinya delapan tahun lalu, Pemerintah Taiwan sudah berpikir untuk menerapkan Wajib Belajar 12 Tahun. Ini berarti, biaya pendidikan untuk Sekolah Dasar (SD = 6 tahun), (SLTP = 3 tahun) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA = 3 tahun) total 12 tahun, semuanya gratis karena ditanggung negara.
Kebijakan ini ditempuh karena Taiwan ingin semua anak negerinya wajib sekolah hingga tamat SLTA (SMU/MA).
Selain itu, berbagai kajian dilakuan dan langkah-langkah strategis pun diambil. Sejauh yang saya amati, kajian-kajian yang dilakukan itu, antara lain, menjaring pendapat masyarakat tentang regulasi yang akan dijalankan ini. Salah satu hasil tahun 2006 menunjukkan bahwa 78,4% masyarakat Taiwan mendukung rencana pemerintah ini (Depdiknas Taiwan, 2006).
Hasil polling ini turut menyemangati pemerintah bahwa apa yang mereka rencanakan mendapat dukungan mayoritas penduduk. Topik Wajar 12 Tahun ini kemudian turut menghiasi diskusi-diskusi anggota dewan Taiwan untuk melahirkan undang-undang guna menopang program nasional ini.
Sementara itu, kementerian terkait mengambil langkah-langkah perencanaan jangka panjang untuk pendanaan supaya Program Wajar ini bisa dijalankan.
Di samping itu, dinas terkait juga memperbaiki infrastruktur pendidikan, perekrutan guru dan tenaga kependidikan yang memadai, serta menyediakan media dan resource pendidikan (buku-buku perpustakaan, alat-alat lab, dan lainnya) yang memadai sehingga ketika Wajar 12 Tahun ‘ketok palu’, maka semuanya sudah siap.
Otomatis pula pihak sekolah negeri tidak punya alasan untuk mengutip biaya apa pun dari orang tua murid ketika Wajar 12 Tahun dijalankan di Negeri Formosa ini. Dengan demikian, Taiwan akan mengukir sejarah sekaligus wajah baru di bidang pendidikan untuk kemudian duduk sejajar dengan beberapa negara yang punya kebijakan serupa seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Polandia.
Di sisi lain, Indonesia sejak tahun 2012, sudah mulai juga mewacanakan Wajar 12 Tahun dan kabarnya akan diterapkan tahun 2014 ini. Kita percaya bahwa selama tiga tahun ini (note: Taiwan butuh delapan tahun), berbagai kajian dan analisis sudah dipertimbangkan masak-masak untuk kesuksesan Wajar 12 Tahun. Namun, yang dikhawatirkan adalah implementasi di lapangan nantinya berkaitan dengan pendanaan yang membuat sekolah terpaksa harus tetap mengutip biaya dari murid walau program itu sudah dilaksanakan.
Oleh karena itu, Pemerintah Aceh sebetulnya bisa ‘mencuri’ start penerapan dan penganggaran untuk “Wajar 12 Tahun Aceh” yakni dengan mengalokasikan anggaran dari dana Otonomi Khusus untuk dunia pendidikan sejak SD hingga SLTA untuk tahun 2014. Tentunya program dan penganggaran ini harus dibarengi dengan qanun (peraturan daerah), sehingga dana ini bisa cair tepat waktu.
Saya yakin Program Wajar Aceh sangat signifikan dan tidak saja bermanfaat ganda; untuk mengatasi ketertinggalan kualitas manusia Aceh masa depan dan sebagai subsidi kepada orang tua, tetapi juga bagian dari tanggung jawab eksekutif dan legislatif Aceh terhadap penerapan hadis Nabi saw yang berbunyi Utlubul ilma minal mahdi ilal lahdi (Tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang lahat).
Hadis di atas merupakan salah satu rujukan jitu yang mengindikasikan bahwa pendidikan adalah wajib. Sayangnya, rujukan ini tidak sepenuhnya dijadikan referensi oleh pemerintah kita dalam merancang program dan pendanaan pendidikan di tanah air, sekalipun kebanyakan kita adalah muslim. Itu yang, antara lain, membedakan kita dengan Taiwan. Lantas pertanyaannya, kalau rakyat Taiwan bisa, mengapa kita tidak? 
Tulisan ini juga di publish di koran Serambi Indonesia

Berlibur di Kampus Taiwan

OLEH JAMILAH AKBAR, Konselor Sekolah Sukma Bangsa Bireuen, penerima Beasiswa Pemerintah Aceh, melaporkan dari Taiwan
LIBURAN musim dingin di Taiwan saat ini sedang berlangsung. Pada musim liburan inilah saya justru menemukan begitu banyak fakta menarik tentang kebiasaan unik masyarakat di Taiwan. Salah satunya adalah kebiasaan berlibur di kampus, termasuk di tempat saya kuliah (Program S2 Konseling pada National Chiayi University). Ya, kampus adalah salah satu tempat liburan utama bagi masyarakat Taiwan dan juga kaum pendatang.
Tak bisa dipungkiri bahwa kampus-kampus di Taiwan sangat beda suasananya. Hampir seluruh universitas di sini memiliki lingkungan yang asri dan sangat nyaman. Pepohonan yang rindang, karya seni beraneka macam, taman bunga yang menawan, serta danau buatan dengan pemandangan yang menyejukkan mata, sangat mudah dijumpai di setiap kampus. Beberapa kampus terkenal malah memiliki desain gedung yang unik, museum bertema khusus plus taman bunga warna-warni yang kemudian menjadi objek wisata dan tempat favorit bagi orang/keluarga yang ingin tamasya.
Apalagi coffe shop, minimarket, dan guest house tersedia lengkap untuk memenuhi kebutuhan pengunjung. Bus kota dari dan ke kampus juga terjadwal sepanjang hari. Pihak kampus tampaknya memang dengan sengaja secara khusus membuat lingkungan kampus menjadi nyaman dan merawatnya dengan baik, sehingga layak dinikmati oleh siapa pun. Bukan hanya untuk warga kampus, tapi juga bagi masyarakat umum yang haus akan tempat liburan alternatif selain mal atau pusat-pusat perbelanjaan.
Perpustakaan adalah daya tarik lain dari berwisata di kampus-kampus Taiwan. Perpustakaan yang luas dan nyaman sangat umum untuk dijumpai. Rata-rata perpustakaan kampus baik negeri maupun swasta berukuran sangat luas, dilengkapi wi-fi gratis, ruang baca yang nyaman, serta bahan bacaan yang sangat memadai (mulai dari komik sampai buku/jurnal berskala lokal maupun internasional). Perpustakaan ini juga dapat diakses oleh hampir seluruh lapisan masyarakat, mulai dari mahasiswa, pengunjung dari kampus lain, serta masyarakat umum.
Bagi pengunjung yang berstatus mahasiswa, tak peduli dari kampus mana dia berasal, asalkan dapat menunjukkan kartu mahasiswanya, maka mereka dapat berkunjung dan menikmati layanan perpustakaan di sana secara gratis. Sedangkan bagi masyarakat umum dapat akses yang sama dengan menunjukkan kartu tanda pengenal resmi/KTP.
Hal lain yang juga menarik adalah perpustakaan di sini tetap buka sampai malam hari maupun pada hari libur.
Di masa liburan ini pula saya saksikan banyak anak kecil yang berkunjung ke pustaka ditemani orang tuanya dan menghabiskan waktu di sana seharian untuk membaca buku.
Selain universitas, kompleks sekolah dasar dan menengah juga menjadi pilihan utama. Berbeda jauh dengan desain sekolah pada umumnya di negara kita, SD dan SMP di Taiwan desainnya sangat menarik dan indah dipandang. Gedung dan lapangan yang luas, cat warna-warni, tembok sekolah yang penuh lukisan dan poster edukasi, lingkungan yang bersih dari sampah, ditambah lagi taman bunga yang cantik, sehingga membuat semua orang betah berlama-lama di sini.
Bahkan beberapa sekolah dasar dan menengah secara khusus telah menjadi tujuan field trip atau kunjungan lapangan bagi mahasiswa-mahasiswi. Terutama jika sekolah dasar dan menengah tersebut memiliki program pengembangan budaya lokal dan komunitas.
Sebuah pengalaman yang sangat berharga saya peroleh ketika mengunjungi SD Evergreen Lily dan Sekolah Menengah Timur di Pingtung, daerah bagian selatan Taiwan. Kedua sekolah ini secara nyata unik. Terletak di daerah perbukitan yang dikelilingi perkampungan masyarakat suku asli Taiwan, sekolah ini telah menjadi tujuan utama wisata sejak lama. Di sini pengunjung dapat mempelajari secara dekat bagaimana sekolah melestarikan kebudayaaan daerah dan mengembangkan program komunitas bagi siswa-siswinya. Materi kebudayaan dan kearifan lokal seperti adat istiadat, bahasa, sastra, dan seni menjadi bahasan utama.
Berbagai contoh program unggulan yang telah terlaksana serta hasil karya siswa dipamerkan untuk dinikmati oleh umum. Berbagai hasil karya siswa yang unik dapat dibeli oleh pengunjung sebagai cenderamata dan sekaligus untuk penggalangan dana (fund rising). Pihak sekolah juga menyediakan informasi berupa video dokumenter dan diskusi interaktif dengan manajemen sekolah. Di hari-hari tertentu, para pengunjung malahan dapat berinteraksi dengan siswa secara langsung, menikmati tampilan kreasi seni dan mencoba berbagai kegiatan budaya yang unik seperti membuat kerajinan tangan, belajar tari, membuat kue, dan mencicipi kuliner khas tradisional masyarakat setempat yang disediakan khusus oleh sekolah dengan bantuan masyarakat sekitar. Sungguh sangat mengesankan. Barangkali Dinas Pendidikan bersama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh bisa mengembangkan konsep wisata yang terintegrasi seperti ini, tentu saja dengan berbasis nilai dan budaya khas Aceh. Demi Aceh yang lebih maju dan berjaya. 
Tulisan ini juga dipublish di koran Serambi Indonesia

Mayoritas Guru SD Taiwan Bergelar Master

OLEH MUSLEM DAUD, MEd.Mgmt, Dosen Universitas Serambi Mekkah, sekarang studi doktoral di NTCU Taiwan, Taichung-Taiwan
SEMESTER ini (semester III) banyak hal baru dari sisi akademik maupun nonakademik yang saya dapatkan sebagai mahasiswa di program doktoral (S3/PhD) di Universitas Pendidikan Negeri Taichung Taiwan (NTCU), Republik Cina. Salah satunya adalah mayoritas guru sekolah dasar (SD) di Taiwan ternyata bergelar master (S2).
Kondisi ini tentu berbeda jika ingin kita bandingkan dengan situasi kita di mana masih ada tenaga pengajar di perguruan tinggi yang masih memperbantukan tenaga pengajar bergelar S1. Sementara di Taiwan, guru yang sehari-hari mengajar di jenjang SD, sebagian besarnya sudah mengantongi ijazah S2. Jika kita merujuk ke Undang-Undang Sisdiknas 2003 yang mensyaratkan ijazah S2 sebagai tingkat pendidikan terendah menjadi dosen, maka sebagian besar guru SD di Taiwan sudah memenuhi kualifikasi jadi dosen di Indonesia.
Apa yang saya sampaikan ini benar-benar sebuah kejutan dari sebuah penelusuran sederhana yang tidak pernah saya rencanakan. Rasa keingintahuan saya muncul ketika awal semester ini ada satu mata kuliah yang mahasiswanya digabung antara mahasiswa lokal (berasal dari Taiwan) dan mahasiswa internasional (berasal luar Taiwan, Korea Selatan, Vietnam, Thailand, dan Indonesia). Pada semester-semester lalu, dalam kelas internasional tak ada mahasiswa lokal, tapi kali ini benar-benar beda. Dalam pikiran saya, ini kesempatan bagus untuk mendapatkan wacana dan pemahaman baru dari sudut pandang berbeda lewat berbagai presentasi, adu argumentasi, dan seterusnya.
Tak ada yang berbeda dalam bulan pertama dan kesan yang ada adalah saya bersama rekan kelas internasional lainnya mendapatkan kesempatan bagus untuk belajar dengan mahasiswa/i lokal.
Pada bulan kedua, sudah mulai ada persentasi, pemaparan ide, dan tanya jawab yang intens di dalam kelas. Hal ini dikarenakan sebelum memaparkan presentasi mereka memperkenalkan diri yang membuat mahasiswa internasional tercengang sekalipun kami coba menutupinya. Di slide pertama presentasi mereka cantumkan nama beserta tempat mereka bekerja. Ternyata, rata-rata rekan sekelas saya itu guru SD. Hanya dua orang yang dosen. Kenyataan di atas itulah membuat saya ingin mengetahui lebih jauh tingkat pendidikan guru SD Taiwan mengingat rekan-rekan sekelas kami tersebut sekarang sedang mengambil program doktor. Bagaimana dengan guru-guru SD lainnya?
Berdasarkan pertanyaan di atas, saya meminta waktu berdiskusi dengan beberapa rekan tersebut. Diskusi pertama saya lakukan dengan rekan bernama Lu-Yu Ju, guru SD Li Xing Xiao Xue di Kecamatan Bei Xi Taichung. Ia katakan, di sekolahnya paling kurang terdapat 80% guru sudah S2, sementara 5% persennya sudah S3.
Diskusi kedua saya lakukan dengan rekan bernama Bai-Xiao Shan, guru SD Chang Hua Xiao Xue di Kecamatan Chang Hua. Menurutnya, di sekolahnya paling kurang 60% guru sudah S2, sementara 4% sudah S3. Ia tambahkan bahwa sekolahnya tergolong sekolah besar sehingga kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi harus disiasati dengan beban mengajar bagi guru-guru. 
Sementara itu, diskusi ketiga saya lakukan dengan rekan bernama Shih-Hsiu Chia, guru SD Guan Fu Xiao Xue, berasal dari luar Kota Taichung (Kabupaten Nantao). Ia sebutkan bahwa di sekolahnya paling kurang 80% guru sudah S2, sementara 10% persennya S3.
Untuk mengkroscek informasi itu, saya minta kesempatan untuk berdiskusi dengan rekan bernama Chun-Jey Chang, pegawai Dinas Pendidikan Kota Taichung. Ia juga salah seorang mahasiswa di dalam kelas kami kali ini. Dia tak dapat menyebutkan secara pasti berapa persentasi guru Taichung yang sudah S2. Namun ia perkirakan 70% hingga 80% sudah S2 dan antara 3% hingga 7% sudah S3. Sementara sisa lainnya masih S1 yang terdiri atas guru baru diangkat atau guru-guru yang akan memasuki masa pensiun.
Berdasarkan paparan di atas, maka analogi sederhananya, jika guru SD saja rata-rata sudah S2 (bahkan sudah S3), maka guru SLTP, apalagi SLTA hampir dapat dipastikan persentase tingkat pendidikan, khususnya yang sudah S2 pasti lebih tinggi. Pantas saja Taiwan selalu berada di peringkat dunia dalam pencapaian prestasi pendidikan, karena guru-guru mereka berpendidikan lebih tinggi satu hingga dua tingkat dari guru-guru lain di dunia (lihat hasil PISA 2013). Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan ini menginspirasi kita di Aceh, daerah yang salah satu keistimewaannya justru di bidang pendidikan.
Tulisan ini juga di publish di koran Serambi Indonesia

Makan Tidur di SD Taiwan

OLEH PUAN TURSINA, mahasiswi Program Magister di University Chiayi, Chiayi-Taiwan.
TANPA terasa lima bulan sudah saya tinggalkan Aceh, bermukim di Taiwan untuk melanjutkan kuliah. Waktu terasa begitu singkat. Saat ini tinggal menunggu hasil akhir dari semua usaha yang sudah saya lakukan selama satu semester mendalami ilmu di National Chiayi University.
Saat kuliah saya mengambil mata kuliah Theories and Methods of  Teaching. Salah satu tugas yang harus dilakukan adalah mengobservasi guru mata pelajaran bahasa Inggris di sebuah sekolah dasar (SD). Semua serba menakjubkan, padahal SD yang saya datangi itu letaknya di sekitar pinggiran kota. Namanya Minhsiung Elementary School, Chiayi.
Alasan saya memilih sekolah ini karena saya hanya memiliki sepeda sebagai alat transportasi dan letak sekolah itu dekat dengan asrama tempat saya tinggal.
Banyak hal menarik yang saya dapatkan selama melakukan observasi dan berbeda jauh dibandingkan proses pembelajaran yang ada di kampung halaman saya, Aceh. Hal-hal yang berbeda itu, antara lain, disediakan menu makan siang dan kesempatan untuk tidur siang bagi murid-muridnya sebelum melanjutkan pelajaran sesi siang.
Sebenarnya jadwal belajar murid di sini tak jauh beda dengan sebagian SD di Aceh, mereka mulai belajar dari pukul 07.30-04.00. Menurut amatan saya, ini hal yang unik, pada pukul 12.00 siang mereka istirahat, makan siang bersama dengan melahap makanan yang disediakan sekolah.
Setelah sesi makan siang usai, murid-murid diharuskan tidur siang hingga pukul 01.10 dan pelajaran selanjutnya dimulai pada pukul 01.20. Hal seperti ini sebetulnya juga diterapkan di Jepang. Nah, apakah Aceh mau mencobanya?
Hal lain yang beda adalah ruangan khusus. Sekolah ini menyediakan ruangan khusus untuk mata pelajaran bahasa Inggris atau language classroom.  Jadi, tidak dilaksanakan di kelas yang sama seperti mata pelajaran lainnya di negeri kita. Kelasnya pun bagus sekali. Penuh dengan poster, hiasan, dan kata-kata yang sesuai dengan momen tertentu yang sedang diperingati. Kebetulan pada saat saya melakukan penelitian, mereka baru saja merayakan Halloween. Jadi, dekorasi dan kata-katanya banyak yang berbau Halloween.
Hal menarik lainnya adalah fasilitas-fasilitas yang tersedia di dalam kelas seperti rak beserta buku-buku yang menarik terletak di sisi kiri-kanan kelas.
Di setiap kelas juga tersedia dua papan tulis, diletakkan di sisi yang berbeda: di sebelah kiri dan kanan tempat duduk murid. Satu di antaranya papan tulis biasa yang bisa ditulisi dengan kapur dan di sisi lainnya tersedia interactive white board (IWB), fasilitas canggih dan keren yang sedang menjamur di negeri Formosa ini. Setiap proses pembelajaran, guru pasti akan menggunakan kedua papan tulis tersebut.
Jumlah murid pada satu kelas tergolong banyak, lebih kurang 30 orang. Oleh sebab itu, guru membagi murid menjadi beberapa kelompok.
Yang agak aneh, belajar bahasa Inggris di sini dalam seminggu hanya dua kali. Setiap pertemuan hanya menghabiskan waktu 40 menit. Tapi untuk belajar bahasa Inggris di bimbingan belajar atau kursus (cram school)--begitu orang Taiwan menyebutnya--menghabiskan waktu dua jam. Di kursus inilah guru lebih menekankan pada skill reading atau kemampuan membaca.
Selain itu, ada kotak kecil berisi papan nilai di sudut papan tulis. Letaknya di sudut atas kiri papan tulis biasa. Di situ diterakan nilai murid dalam kelas tersebut. Cara ini digunakan guru untuk memotivasi murid dan salah satu cara agar murid tidak bandel selama belajar. Papan nilai ini bisa menunjukkan tingkat keseriusan murid selama belajar. Barangkali guru-guru kelas di Aceh bisa mencoba cara ini.
Tulisan ini juga dipublish di Koran Serambi Indonesia