Ranup Lampuan

Aceh student Association in Taiwan

Likok Pulo

Memperknalkan marwah bangsa dan budaya adalah kewajiban bagi kami, walau jauh dari negeri "Indatu"

Halal Bihalal Idul Adha 2012

Kebersamaan di hari yanng mulia adalah kebahagian yang tak terkira hidup di negeri orang

Edventure

Merasakan apa yang belum pernah ada di negeri sendiri adalah cita-cita dari setiap individu

Taipei 101

"If you can dream it, you can do it" Bermimpilah setinggi-tingginya.

Sunday, October 20, 2013

Lebaran Tanpa Timphan

Oleh ZIKRA YANTI, mahasiswa asal Aceh yang tengah menempuh pendidikan Magister di Taichung, Taiwan.
INI lebaran Idul Adha kedua saya di Taiwan. Di hari yang suci ini, rasa kangen terhadap kampung halaman tak terbendung. Saya membayangkan bisa merayakan lebaran bersama suami, anak, orang tua terkasih, dan teman-teman dekat yang penuh canda. Tak Ada yang cukup tepat untuk menggambarkan betapa indahnya lebaran di kampung bersama keluarga dan sanak saudara. Apalagi, sehari atau dua hari menjelang hari raya, di kampung ada tradisimakmeugang, sebutan untuk pesta daging yang dilakoni masyarakat Aceh.
Bayangan lebaran di Tanah Seulanga terus menari-nari di kepala: makan lontong, sirup manis aneka rasa dan warna disajikan kala berkunjung ke rumah tetangga atau saudara, kue loyang, grieng, bhoi, kacang tojin, dan yang paling mengangenkan adalah timphan.
Ya, ini kali kedua saya berlebaran Idul Adha tanpa makanan itu, tanpa timphan, mengingat saya sedang di perantauan, di Negeri Farmosa (Taiwan) untuk mengembang tugas menuntut ilmu, demi meraih gelar magister. Walau lebaran di Taiwan tak seindah di kampung halaman, tetapi ada hal-hal yang patut disyukuri mengingat saya tidak sendiri dan teman-teman seiman dari belahan dunia lain menjadi pelengkap kehangatan dan kebahagian di hari yang spesial untuk kaum muslim.
Saya sendiri menetap di Kota Taichung, lebih kurang 2 sampai 3 jam perjalanan dari Taipe, ibu kotanya Taiwan. Di pagi Idul Adha, kami menuju masjid dengan jarak tempuh 15 menit dari kampus menggunakan bus dalam kota. Sesampai di masjid, jumlah jemaah yang hadir juga lumayan mengingat banyaknya pekerja muslim dari Indonesia ikut hadir, ditambah lagi dengan pelajar-pelajar muslim dari dari negara lainnya seperti Afrika, India, Turki, Timur Tengah, dan lainnya.
Hal yang menarik adalah dengan adanya bazar kelengkapan muslim dan muslimah yang dikoordinir oleh pekerja Indonesia. Tak jarang banyaknya pekerja wanita yang datang pagi-pagi untuk membeli baju baru dan kemudian langsung menuju kamar mandi untuk mengganti pakaian yang mereka pakai dengan yang baru dibeli.
Sedikit iseng saya bertanya pada seorang pekerja asal Jawa Timur. “Kok diganti, Mbak bajunya.”
“Kan mau pakai baju yang baru,” si Mbak itu menjawab, sambil tersipu, “soalnya kan lebaran, masa pake baju lama, malu dong.” Kali ini ia tersenyum sembari membetulkan bajunya. “Cantik, ngga?” tanyanya.
Hen piaoliang,” saya spontan menjawabnya. Ini adalah ungkapan untuk menyebutkan “sangat cantik”.
Sambil tersipu, si Mbak tadi bilang, “Tolong potoin dong, Mbak.”
Ingin tertawa, tapi saya tahan, sambil menjepret si Mbak dengan baju baru di Idul Adha ini.
Usai salat Idul Adha, jatah kue gratis pun dibagikan untuk mengganjal perut yang masih kosong, lalu dilanjutkan dengan pemotongan hewan kurban massal, yang dimotori oleh dua kelompok yaitu perkumpulan muslim Taichung dan ikatan pekerja Indonesia. Bagi semua warga Indonesia yang ada di sana akan mendapatkan jatah daging kurban yang bias dibawa pulang ke rumah masing-masing. Tapi, tentu, harus mendaftarkan diri dulu ke panitia kurban.
Ritual Idul Adha ditutup dengan makan siang bersama. Bagian ini merupakan kegiatan yang paling ditunggu-tunggu, mengingat menu makan yang disediakan pasti lebih spesial dibandingkan dengan hari Jumat biasanya. Ya, itung-itung sebagai pengganti lontong atau timphan di kampung sendiri.

Wednesday, October 9, 2013

ZAUJATUL AMNA AFGANURISFA: “MY FATHER’S DREAM MADE MY LIFE AS PSYCHOLOGIST”

Cerita ini berawal pertengahan tahun 2004, di suatu sore, aku dan Ayah, duduk sore di beranda rumah yang pada waktu itu ayah sibuk menikmati kopinya. Tampak seperti biasa, dengan senyum khasnya, membuatku tenang dan nyaman, ya senyuman itu selalu di dambakan anak-anaknya, apalagi aku. Ayah orang yang sangat idealis, namun humoris dan bersahabat. Aku masih inget ketika itu disaat aku hampir menuntaskan SMA ku, dimana sedang “galau-galaunya” memilih jurusan  ke tingkat selanjutnya. Akupun  memutuskan untk berdiskusi dengan Ayah.
“Yah…panggilku lirih” ayahpun menoleh seketika dan tersenyum, seolah-olah ayah mengerti dengan perasaanku sore itu. Kenapa aneuk resah? Tentang kuliah ya? Sebenarnya tidak membuatku kaget, kalau ayah seolah-olah ayah bisa membaca pikiranku yang sedang kacau. Dengan nada lesu aku menjawab, “iya Yah” harus kuliah apa, kemana? Pusing Yah, terlalu jauh dan banyak biaya yang dihabiskan” Jelasku panjang lebar tentang program beasiswa di sekolah beberapa hari lalu menerima informasi siswa berprestasi di sekolah untuk kuliah di Jawa. Dengan nada lembut dan mengayominya ayah kembali mencoba menenangkan aku yang sedang “galau” dengan perasaan yang tidak jelas dan bercampur aduk. Ayah memberikan beberapa gambaran. Termasuk memberikan aku ketenangan yang terus memikirkan besarnya angka yang harus dibayar persemester. Apalagi aku suka dan berniat untuk kuliah jurusan kedokteran gigi, angka jutaan yang terpampang membuat aku surut mundur teratur dan menyembunyikan keinginanku depan ayah. Namun, lagi-lagi ayah seakan bisa membaca pikiranku, ayah seolah-olah tidak ingin aku mnguburkan keinginanku, ayah memberikan keputusan terakhir padaku. hingga ayah memberikanku waktu untuk berpikir sebelum deadline beasiswa tersebut. Aku yang masih euphoria dengan kuliah kedokteran gigi, aku tetap kekeuhdengan keinginan ingin menjadi dokter gigi. hingga suatu hari sepulang sekolah, aku membawa semua brosur ke hadapan ayah. Aku yang euphoria karena akan mengisi brosur beasiswaku, dimana setiap siswa diminta untuk mencantumkan tiga pilihan jurusannya. Sudah pasti urutan satu kedokteran gigi, karena tidak ada yang lain yang aku suka. Setelah ayah melihat brosur, ayah mengeluarkan kata-katanya, “Psikologi nggak suka Nak? Kan psikologi juga bagus, apalagi untuk Aceh, bagus itu, karena ini masih baru bagi Aceh dan Aceh akan sangat membutuhkannya di tahun yang akan datang. Psikologi itu ilmu jiwa. Dulu ayah pengen sekolah psikologi namun Ummi (sebutan alm. ibunda ayah) tidak punya biaya dulu buat ayah. Namun, ayah ga akan memaksa juga kalau Aneuk ga suka” jawab ayah, dan tiba-tiba “ya..kan masih bisa diteruskan anak Yah, dan itu kan bisa jadi pilihan jurusan dia yang kedua, kan belum tentu juga lolos dimana” timpal Mamak dari belakang. Tapi kalo lolos aku ga suka ya, psikologi itu susah, kayak ilmu dukun, menebak dan membaca pikiran orang, nanti jadi tukang ramal atau jadi guru judes, jadi guru bimpen“ jelasku mengulas alasan. Sementara ayah hanya tersenyum melihat gaya kekanak-kanakan. Setelah berdiskusi dan ayah memberi gambaran demi gambaran tentang jurusan, hingga akhirnya aku memutuskan utnuk menulis psikologi pilihan kedua dan ilmu keperawatan pilihan ketiga.
****
Bulan berlalu sudah, hingga akhirnya tiba lah ujian EBTANAS, karena kecemasan dan persiapan akan ujian aku pun lupa dengan beasiswa  berprestasi. Setelah berhasil melewati ujian EBTANAS, aku pun berhasil luluS dengan angka yang memuaskan. Namun balasan beasiswa juga tak kunjung datang, hingga akhrnya tibalah masa dimana pembukaan untuk pendaftaran perguruan tinggi, akhirnya aku memutuskan untuk kuliah di perguruan tinggi di Banda Aceh, Universitas Syiah Kuala dengan jurusan kedokteran gigi. Aku tetap kekeuhdengan pilihanku sendiri. Setelah semua proses administrasi selesai aku pun harus menunggu bulan depan untuk tes masuk perguruan tinggi. Hingga akhirnya Tuhan memberikan cobaan di keluarga kami, Mamak masuk rumah sakit. Kurang lebih Mamak di rumah sakit waktu itu, disaat bersamaan aku dapat telepon dari Universitas Diponegoro kalau aku diterima tanpa tes sebagai mahasiswa di UNDIP dengan jurusan psikologi. Sekilas aku sempat melihat ayah tersenyum, sementara aku antara senang dan tidak. Senang karena aku masuk ke universitas ternama no. 5 di Indonesia (pada saat itu) tidak senang, karena bukan jurusan yang aku sukai. Namun karena aku melihat senyuman di wajah ayah, aku pun menguburkan mimpiku sebagai dokter gigi. setelah aku memutuskan untuk sekolah di UNDIP, jawa tengah, lagi-lagi Allah memberi cobaan terberat padaku saat itu. Allah mengambil malaikat bumiku. Mamak meninggal dunia disaat aku pergi untuk membeli tiket pesawat, untuk keberangkatan 10 hari kemudian. Ketika aku pulang, aku kaget, di rumah banyak orang, sementara aku bingung dengan keadaan rumah yang tiba-tiba rame, dan ayah langsung menyambutku di pintu dan memelukku sambil berbisik, Mamak telah tiada. Aku ternganga dan tiba-tiba aku menangis, sambil meremas tiket pesawat ditanganku.
Kepergian Mamak membuatku sangat terpukul, dan aku bertekad tidak akan kuliah di Semarang, aku akan disini saja, Banda Aceh. Batinku sesak. Seolah-olah kebahagiaanku terenggut bersama kepergiaan Mamak, aku pun tidak ada keinginan untuk pergi meninggalkan rumah, hingga suatu hari setelah tujuh hari meninggal Mamak, Ayah mendekatiku dan berkata pelan “ Nak, kapan berangkat sekolah ke Jawa”?. Aku yang masih terpukul tidak bisa menjawab, hanya menggeleng keras. Ayah yang cukup sabar, lalu bertanya “ menggeleng, artinya tidak tahu mau berangkat kapan kan?” jawab ayah yang terus memberiku semanngat walaupun aku tahu, apa arti aku menggeleng kepala.
Sambil menangis dan menjatuhkan kepala di pangkuan Ayah, aku berkata ”Aku ga mau pergi Yah, aku ga mau, aku mau disini bersama ayah, aku ga mau seperti Mamak, Mamak menghembuskan napasnya, tapi aku ga ada disampingnya Yah” lirihku iba di pelukan ayah.
Sambil mengusapkan kepalaku ayah berusaha tegar dan berkata “ Nak, jadi gara-gara itu?coba dengarkan ayah ya?” kalau ALLAH berkehendak, kita serumah pun, kita ga bisa melihat ketika ibu menghembus napas terakhir bukan? Bukankah kita masih serumah ketika ibu meninggal? Jadi ga ada bedanya kamu di jawa, kamu di luar negeri, kamu dirumah, kalau ALLAH tidak menginjinkan kamu ada disamping ibu, maka itu tidak akan terjadi. Yang paling penting adalah doa dari anak yang shalehah, bukan yang penting anaknya ada disampingnya. Ada disamping tapi ga pernah berdoa untuknya? Buat ayah lebih memilih ga ada di samping saat menghembus napas terakhir, tapi anaknya selalu mendoakannya setelah mereka tiada”. ucap ayah memberiku semangat, sekilas aku masih ada senyuman di wajah ayah, walaupun aku yakin itu senyum paksaan. “pergilah nak, jadilah seorang psikolog, psikolog bagi keluarga, bagi Aceh” kata ayah dengan mata berbinar dan sangat semangat. Melihat semangat ayah, akupun iba dan hingga akhirnya aku emmutuskan untuk pergi, walaupun aku ga  yakin dengan diriku sendiri.
***
Akhirnya, aku memutuskan untuk kuliah di undip dengan jurusan psikologi, meskipun kepergian ibu masih membayangi kehidupanku, aku berusaha untuk tegar. Kakakku yang laki-laki mengantarkanku sampai ke Semarang dan setelah hidupku settle di Semarang, semiggu kemudian kakakku kembali ke Aceh. Sebelum dia pulang, iya berpesan “Dik, jadilah psikolog untuk Ayah” pesannya singkat, aku hanya tersenyum. waktu terus berjalan, sementara psikologi masih susah untuk kuterima, namun untuk membahagiakan ayah aku paksakan diri untuk suka, namun sesuatu yang dipaksakan pasti berujung jelek, itulah yang terjadi padaku, akihrnya semester satu pun berlalu, saatnya aku menerima hasil kerja keras semesterku, tak percaya betapa kagetnya aku, nilai IPK terpampang 2.00 disana. Belum habis rasa kagetku, berita duka menyambar wilayah Aceh secara utuh, Tsunami berkekuatan 6.8 SR melanda Aceh, dan menewaskan ribuan nyawa. Aku kembali terpuruk, kaget dan menangis, kenapa cobaan datang sekaligus, belum genap kepergian mamak setahun, aku harus hadapi dengan peristiwa pahit kehilangan dua kakak perempuan kandung, 4 keponakanku dan keluarga besar. Aku menangis karena peristiwa yang menimpa keluarga di tambah dengan aku telah membuat ayah kecewa. Hingga suatu hari aku setelah beberapa minggu paska tsunami aku memberanikan diri berbicara dengan ayah. Sementara ayah hanya diam dan membiarkanku menangis dan melepaskan semua curahan penyesalanku tentang IPK yang sangat jelek.
Aku menagis di hadapaan ayah, kemudian ayah berkata“ ayah sudah tahu dari seminggu lalu, ayah menunggu kok tidak ada kabar darimu semenjak nilai diterima, makanya ayah menunggu” sambungnya yang saat itu membuat aku syok. “ apa? ayah sudah tahu?  Kok bisa” batinku penasaran”.
Rasanya belum habis rasa penasaranku, ayah kembali mengatakan” pihak kampus mengirimi ayah hasilnya, makanya ayah tahu” tapi ayah tidak kecewa, ini hasil yang bagus menurut ayah, karena sabagai orang yg tidak suka sama jurusannya,, tapi masih bagus sebagai pemulaan di awal, dari pada  satu koma nol atau nol koma satu? Hayo…” ayah berusaha bercanda, sementara aku dipenuhi dengan rasa menyesal, malu dan sulit mengekpresikan perasaan itu terhadapnya.
“yah, ini memalukan, yah Aneuk ga yakin, klo tahun depan masih seperti ini, ga bisa yah, yah..pindah jurusan aja bisa? Turun ke level terendah dari psikologi pun boleh” pintaku lirih berharap ayah berkata “iya, ya sudah transfer jurusan saja”. Namun, bener kata orang jauh panggang dari api, ayah pun mengatakan tidak, beliau yakin aku bisa, bisa menuntaskankan dengan sempurna. Keyakinan ayah adalah beban buatku, bagaimana ayah bisa yakin sementara aku sendiri ga yakin. Entahlah, mungkin itu feeling orangtua… batinku menenangkan diri.
****
Hari berlalu, bulan berlalu,semester demi semester pun berlalu, bener adanya tiap semester aku pun menunjukkan peningkatan, walaupun aku tidak bisa cumlaude, hingga akhirnya aku bisa juga bisa juga merasakan yang dinamakan dengan kecemasan menghadapi sidang skripsi. Seminggu sebelum sidang, aku menelpon ayah dan menceritakan bagaimana cemasnya aku dan merasa was-was semakin mendekati hari H. Namun lagi-lagi ayah mampu menentramkan aku yang sedang gundah dengan objek yg tidak jelas bentuknya.
Salah satu omongan ayah yang masih aku ingat adalah ”ga,papa..semua orang telah melewatinya dan ayah yakin kamu mampu, nanti setelah lulus ayah akan ke jawa dan ikut wisuda, ayah bisa jalan-jalan ke Semarang dan kita akan jalan-jalan ke kota lainnya di jawa. Iming-iming ayah mampu menenteramkan hatiku. Sejak saat itu, rasa rindu jalan-jalan dengan ayah membuatku semangat dan level kecemasanku perlahan-lahan turun derajatnya hingga akhirnya aku bisa melewati sidang dengan sempurna, sebagai seorang yang dulunya tidak suka psikologi, kini aku mampu lulus dengan nilai sangat meemuaskan meskipun tidak tergolong cumlaude.
Aku menelepon ayah dan aku sangat senang, dan ayahpun sangat bangga karena kini aku lulus dari sarjana psikologi, beliau selalu bertanya dan kapan tepatnya wisuda diadakan. Setalah semuanya selesai untuk proses skripsi dan menuju persiapan wisuda, H-5 aku menelpon ayah, dan mengatakan ayah sudah bisa membeli tiket dan ke jawa karena hari wisuda sudah pasti dan ayah bisa ke jawa.
Setelah berbicara di telpon, aku pun mulai kegirangan sendiri membayangkan ayah akan datang, meskipun mamak tidak ada di tengah-tengah kami nanti. Namun aku masih memiliki rasa senang, Karena akan ada ayah, kakakku dan juga adek yang akan datang ke hari wisudaku, karena capek menghayal akhrinya aku tertidur, sementara aku tertidur nyenyak ditambah dengan gemuruh hujan yang saling bersahutan.
Seperti biasa subuh hari aku bangun, hendak mengambil wudhu, tiba2 ibu kos mengetuk pintu, dan mengatakan “Mbak, tadi kakaknya Mba dari Jakarta telpon, katanya suruh ke bandara untuk pulang ayah masuk rumah sakit, karena terpeleset kamar mandi. Lemes, terasa hitam sekeliling, mendengar kabar tiba-tiba ayah masuk rumah sakit. Aku langsung mencoba menguasai diri dan 5 menit kemudian aku mencoba meraih hp dan menelpon mbak yang di Jakarta, setelah mendengar penjelasan dari mbak, dengan baju seadanya aku menuju bandara di subuh buta yang diantarkan ibu kos menuju bandara.
Aku lupa akan hari wisuda, dan aku memilih pulang. Setelah melewati perjalanan lebih kurang 3 jam, aku bersama mbakku dari Jakarta kami tiba di rumah. Kami langsung menuju rumah setelah tante menelpon meberitahukan ayah sudah keluar dari rumah sakit, rasanya plong mendengar ayah sudah keluar dari rumah sakit walupun belum sembuh. Setelah sampai di rumah banyak tamu yang menjenguk ayah, aku lari dan masuk ke rumah, sambil berteriak “ayah aku pulaaaaang”.
Ternyata rasa kangen itu harus aku pendam untuk selama-lamanya, yang kini ada dihadapanku hanya sekujur mayat kaku, putih, tersenyum dan tak bersuara, yang siap untuk dikuburkan. Aku duduk dan entah apa yang terjadi aku ga inget. Aku hilang kesadaran sekitar 2 jam. Aku kaget, ternyata ayah sudah meninggal dari semalam, sehari setelah aku menerima telepon dengan ayah. Aku ga percaya, tiada pergi disaat aku lulus kuliah. Seolah-olah memori ikut meguraikan semuanya, ketika llulus SMA ibu pergi, sekarang Ayah. Ingin rasanya berteriak “ya ALLAH, apa rencanaMu” aku ga tahu harus seperti apa tanpa mereka. Rasanya semuanya hilang begitu saja. Hilang dan gelap.
****
Setelah ayah pergi sebulan kemudian, aku masih terpuruk dan terpukul susah untuk bangun, aku kehilangan semangat, hilang teman, hilang sahabat, juga orangtua.  Sementara kakakku terus memberikanku semangat. Karena kepergian ayah, aku sangat terpukul. Disaat aku ingin membahagiakannya, ayah pergi. Ayah tidak bisa melihat aku wisuda. Walupun aku telah mewujudkan kuliah di psikologi, namun ayah sudah tiada rasanya sudah tidak berguna sarjana psikologi yang telah kuraih. Bulan berlalu hingga akhirnya aku memasuki dunia kerja. Aku bekerja di sebuah perguruan tinggi di bidang psikologi sebagai assistant dosen. Karena untuk dosen diharus S2,  aku pun bertekad S2, “walupun aku ga yakin dengan dana S2,mohon doakan Aneuk ya” mantapku pada diri sendiri dalam hati.
Seperti biasanya aku bekerja, mulai jam 8 sampai dengan jam 5 sore. Malamnya aku ikut kursus bahasa inggris, capek karena aku harus menguras energi siang dan malam, tapi aku harus membuat ayah-mamak bangga. Sambil mengikuti kursus aku, mengikuti beberapa seleksi beasiswa dari sebuah lembaga penyedia beasiswa di Aceh. Hingga akhirnya aku mengajukan lamaran ke LPSDM beasiswa di Banda Aceh.
Setelah melalui proses yang panjang, aku dinyatakan sebagai salah satu penerima beasiswa dari lembaga itu. Hati senang bukan main, aku sangat bersyukur, aku bahagia, karena aku akan sekolah master psikologi di luar negri, Taiwan, ROC.
Setiap perjuangan pasti akan ada rintangan dan ujian, demikian juga dengan saya.  Ujian demi ujian saya temui.  Ketika saya dinyatakan lulus dari sebuah lembaga penyediaan beasiswa di salah satu lembaga di Aceh, saya merasa keberhasilan sudah bisa saya genggam. Namun, ternyata ALLAH menguji saya, seminggu kemudian tim lembaga tersebut memanggil saya, menyatakan dikarenakan sesuatu namaku terpaksa dicoret dari daftar penerima beasiswa. Terpukul dan kecewa, itulah perasaan saya pada hari itu. Mungkin Allah punya rencana lain buat saya. Begitulah  kalimat yang keluar dari mulut saya untuk membesarkan hati. Impian melanjutkan kuliah di luar negeri pupus sudah. Namun, rasa pantang menyerah dan terus berusaha tetap saya jalani, demi mencapai cita-cita. Saya yakin bahwa sesungguhnya,” kesungguhan akan membuahkan hasil”. Kata-kata ini menjadi motivasi buat saya, untuk mencoba dan terus mencoba, sampai akhirnya saya mengirim berkas aplikasi beasiswa berikutnya ikut seleksi beasiswa di sebuah jejaring kampus tingkat international.
Setelah tiga bulan berlalu, saya sempat dihinggapi perasaan was-was karena belum ada kabar apapun tentang beasiswa tersebut.  Dengan sikap positif, terus berdoa dan saya serahkan semuanya kepada Allah sambil terus memegang kata-kata “ajaib” yang saya yakini benar: man jadda wa jadda. Barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan mendapatkan hasilnya.”
Ternyata Allah menjawab doa saya. Ketika akhirnya hari Jum’at di bulan Juni, 2011 lalu saya mendapatkan telepon langsung dari Taiwan dan saya dinyatakan sebagai penerima tunggal beasiswa the Department of Social Welfare (DSW) of Taipei City Government” untuk melanjutkan Master of Counseling and Clinical Psychology di Asia University of Taiwan untuk Master Psikologi. Rasa tidak percaya menghinggapi ketika saya dinyatakan lolos sebagai penerima beasiswa dari pemerintahan Taiwan, tak berhenti disitu,  ternyata Allah SWT menambahkan kebahagiaan saya, dengan mendapatkan dua beasiswa sekaligus: dari pemerintahan Taiwan, juga dari kampus di Taiwan tempat di mana saya memilih untuk melanjutkan master psikologi. Akhirnya, di karenakan harus memilih, saya memilih DSW Scholarship.
***
Setelah sampai di Taiwan, saya mengikuti perkulaiah seperti biasanya, banyak hal yang saya dapatkan dari sana. Kejutan demi kejutan ALLAH datangkan dalam diri saya. Rasa syukur tak henti-hentinya saya ucapkan kepada-Nya ketika saya diberi kepercayaan untuk bisa sekolah di luar negeri, mendapatkan kesempatan beasiswa international, bertemu dan belajar dengan orang asing yang belum pernah kenal sebelumnya, mengenal metode baru dalam dunia pendidikan. Setiap akhir semester, Allah seperti terus menerus memberi kejutan demi kejutan buat saya dalam bentuk angka-angka sempurna di lembar prestasi akademik seorang mahasiswa.
Alhamdulillah Rabbku, Engkau menyempurnakan kebahagiannku, menutup semester demi semester mendekati angka sempurna ..I liked it. That’s a gift from God, that I never had before. Kebahagiaan lainnya, di sejumlah agenda kuliah, saya kembali diberi kepercayaan sebagai penghubung sebuah maskapai terkenal Garuda Indonesia (kantor pusat di Taipei) dengan pelajar Indonesia yang berada di Taiwan, dalam penjualan tiket khusus mahasiswa Indonesia Taiwan yang sudah berjalan hampir setahun ini. Kesempatan yang lainnya,  saya dipercaya untuk magang di International Hospital TaichungRen-Ai Hospital sebagai Indonesia Services selama 5 bulan sebelum saya balik ke Indonesia, juli 2013 lalu”. Di sisi lain, dengan segala keterbatasan yang saya miliki, saya terus berusaha membenahi bahasa inggris, bertahan demi cita-cita, akhrnya tahun 2013 bulan Mei saya lulus menyandang gelar Master saya dengan masa study 1 tahun, 8 bulan. Tuhan seolah-olah terus menerus menaburi saya dengan kebahagiaan dan kado-kado terindahnya. Something just happens when we believe. Hari ini, pada saat menulis artikel ini, aku telah menjadi seorang psikolog klinis dan kisah ini berwujud dari impian mulia seorang ayah.
“Hidup adalah proses, hidup adalah belajar. Tanpa ada batas umur dan tanpa ada kata-kata menyerah dan putus asa. Ketika “jatuh” berdiri lagi, ketika “kalah” mencoba lagi, dan ketika gagal terus bangkit lagi. Never give up . Teruslah belajar dan belajar, Sampai akhirnya Allah berkata “telah tiba waktunya untuk kembali.” Maka berjuanglah sebanyak-banyaknya, Karena dari sana kita akan banyak belajar dan belajar, menjadi sosok yang lebih baik dan bermanfaat bagi sekitar.
“Jika apa yang saya dapatkan hari ini adalah sebuah keajaiban, maka keajaiban itu adalah bagian dari kerja keras” (Zaujatul Amna Afganurisfa, S.Psi., M.Sc. 2013).
(Saya harap tulisan ini mampu menjadi suntikan motivasi terutama bagi mereka yang sudah tidak memiliki orangtua, namun memililiki jutaan mimpi. Yakinlah dengan mimpi2mu kawan. Man jadda wajada, saiap yang bersungguh-sungguh, maka dia akan mendapatkannya).

KHAIRUL RIJAL DJAKFAR :“SEMANGAT!,TOEFL DIBAWAH 500 BISA KULIAH DI LUAR NEGERI”

Nama saya Khairul Rijal, dalam bahasa Arab berarti “Laki-laki yang paling Baik”. Nama adalah do’a dan orang tua saya tentu berharap saya menjadi orang baik dan tentu juga bernasib baik. :-)
Sejak kecil saya ingin selalu ke luar negeri, waktu SD, di TVRI saya sangat suka film-film dari luar. Sehingga, sejak saat itu sudah tertanam dalam diri saya agar suatu saat bisa ke luar negeri.
Masalahnya adalah saya sangat malas belajar terutama Bahasa Inggris. Sejak SMP, Bapak saya telah membeli buku ENGLISH GRAMMAR agar saya rajin belajar dan dapat nilai tinggi. Namun lagi-lagi, karena malas saya tak sanggup menghafal dan mengingat-ingat Verb 1, 2, dan 3. apalagi jika menyusun kalimat/sentences dan structure. Pasti akan sangat kacau.
Disisi yang lain, aatu kebiasaan dan jadi hoby saya adalah sangat suka nonton film dan mendengar lagu-lagu barat (english, jadi walaupun saya tidak bisa menulis dan mempraktekkan Bahasa Inggris tapi saya tahu sedikit-banyak kosa kata/vocabulary karena hoby tersebut.
Dari TK sampai S1 orang tua membiayai saya kuliah. Tamat S1 saya lulus PNS di Kabupaten Aceh Timur. Sebagai daerah konflik saat itu, sangat tidak mudah bagi saya untuk belajar memperdalam Bahasa Inggris. Sambil bekerja saya terus mencari jalan mewujudkan impian ke luar negeri. Satu-satunya jalan yang saya lihat adalah dengan kuliah. Tentu saja, kuliah dengan mendapatkan beasiswa.
Tahun 2004 terjadi Gempa Bumi dan Tsunami di Aceh. Sungguh meninggalkan luka yg mendalam. Saat itu banyak bantuan dari luar negeri datang dan salah satunya adalah beasiswa khusus bagi korban tsunami dan masyarakat Aceh. Saya mencoba mendaftar, baik itu IIEF, ADS, APS dan STUNED namun semuanya mensyaratkan TOEFL sementara saya tidak pernah tahu apa itu TOEFL dan bagaimana mengikuti tesnya. Sehingga saya gagal mendapatkan beberapa beasiswa tersebut.
Pada 2006 saya akhirnya mendapatkan beasiswa tugas belajar S2 ke UGM Yogyakarta, selama disana saya mengikuti tes TOEFL dan jadi paham apa itu TOEFL. Salah satu persyaratan wisuda adalah melampirkan hasil tes TOEFL, namun hasil saya tidak pernah mencapai skor 500. Saya beruntung saat itu tidak perlu harus skor 500 untuk bisa lulus dan wisuda.
Di tahun 2008 saya kembali berdinas di kantor dan sejak saat itu pula saya selalu mendaftar Beasiswa Pemerintah Aceh ke Luar Negeri. Lagi-lagi karena TOEFL saya tidak mencapai 500 maka saya selalu gagal tiap tahunnya.
Namun saya tidak menyerah, saya berpikir jika saya selalu gagal karena tidak bisa menaikkan TOEFL sampai 500 maka mengapa saya tidak mencari beasiswa yang bisa menerima hasil TOEFL saya. Akhir 2011, dengan informasi dari teman maka saya mendaftar untuk mendapatkan Beasiswa S2 (lagi) dari salah satu kampus di Taiwan. Akhirnya, Alhamdulillah saya lulus, walaupun hanya mendapat half-scholarship yaitu pembebasan biaya kuliah/tuition waiver dan asrama/dormitory. Sementara untuk biaya hidup mengandalkan tabungan dan berjualan voucher pulsa kepada teman-teman mahasiswa. Sedangkan gaji saya selaku PNS saya serahkan untuk istri yang tinggal bersama anak saya di Langsa.
Sekarang saya sudah masuk semester kedua dan Alhamdulillah nilai di semester pertama cukup bagus dan perkuliahan di Taiwan dengan Bahasa Inggris bisa saya ikuti dengan baik sambil berharap saat nanti mengikuti tes TOEFL lagi, nilai saya bisa mencapai tidak hanya 500 tapi sampai 600. Why not?
Saya yakin, walau TOEFL tinggi menjadi syarat utama kelulusan beasiswa tapi bukan berarti dengan TOEFL rendah kita tidak bisa kuliah di Luar Negeri.
Tetap semangat! Jiayooo!

ZAUJATUL AMNA AFGANURISFA : “MAN JADDA WA JADDA”

Belajar di luar negeri, sejujurnya bukan soal gengsi, tapi lebih kepada belajar mencari hikmah yang berserakan di muka bumi. “…bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumuah : 10). Hai Kawan, kenalkan nama saya Zaujatul Amna Afganurisfa (yang kini baru lima bulan menyandang gelar Master of Counseling and Clinical Psychology). Saya berasal dari Aceh, setiap orang percaya setiap nama memiliki doa yang baik bagi anak-anaknya, demikian halnya dengan orang tua saya sehingga saya diberi nama seperti itu yang bearti istri yang setia (wallahualam, itu hanya sebuah doa buat saya kelak).
Mendapatkan Beasiswa keluar negeri adalah impian setiap orang, termasuk saya. Beasiswa merupakan salah cara akses untuk bisa stay dan kuliah di luar negeri, juga travelling ke tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi. Awalnya nggak pede buat applybeasiswa, karena IPK pas-pasan dan nilai yang paling buruk adalah nilai TOEFL yang hanya 400. Jangankan di luar negeri, Indonesia saja untuk lanjutin master rasanya lewat sebagai mahasiswa cadangan. Tapi karena keinginan yang kuat, akhirnya saya bisa melanjutkan S2 di ASIA UNIVERSITY (AU Taiwan) yang dikenal dengan sebutan “the most beautiful campus in Taiwan” untuk Jurusan Psychology yang pada saat itu menjadi salah satu program international di Taiwan.
Sekarang, Saya akan berbagi pengalaman saya mendapatkan kesempatan beasiswa dan kerja part-time di luar negeri, semoga ini bisa menjadikan motivasi bagi teman-teman untuk mendapatkan kesempatan kuliah di luar negeri. Cerita ini berawal dari satu setengah tahun lalu. Ketika saat itu saya menjadi satu-satunya dari Aceh yang berhasil mendapatkan beasiswa dari pemerintahan Taiwan, “the Department of Social Welfare (DSW) of Taipei City Government” untuk melanjutkan Master of Counseling and Clinical Psychology di Asia University di Taiwan.
Tak mudah bagi saya untuk mendapatkan semua itu. Butuh jerih payah dan usaha yang tak kenal lelah. Mulai dari saya harus membenahi bahasa inggris saya yang sangat amburadul. Saya terpaksa ambil kelas malam. Kerja dari jam 08.00-15.00, dari jam 19.30 – 21.20 saya ikut les bahasa inggris. Semangat yang tak pernah karam dalam diri saya untuk bisa melanjutkan pendidikan. Saya mulai ikutin seleksi lembaga penyediaan beasiswa Aceh, juga ikut dalam seleksi beasiswa online di beberapa negara yang menjadi pilihan saya. Walaupun capek saya tetap istiqomah dngan mimpi-mimpi saya. Setiap perjuangan pasti akan ada rintangan dan ujian, demikian juga dengan saya. Ujian demi ujian saya temui.
Ketika saya dinyatakan lulus dari sebuah lembaga penyediaan beasiswa di salah satu lembaga di Aceh, saya merasa keberhasilan sudah bisa saya genggam. Namun, Allah SWT menguji saya, dikarenakan sesuatu hal nama saya tercoret dari daftar penerima beasiswa itu, dengan penjelasan yang tidak masuk akal menurut saya, saya hanya bisa pasrah dan dengan berat hati saya melepaskan. Mungkin Allah punya rencana lain buat saya. Begitulah kalimat yang keluar dari mulut saya untuk membesarkan hati. Impian melanjutkan kuliah di luar negeri pupus sudah. Namun, rasa pantang menyerah dan terus berusaha tetap saya jalani, demi mencapai cita-cita. Saya yakin bahwa,”siapa yang bersungguh, maka dia akan mendapatkan hasilnya”. Kata-kata ini menjadi motivasi buat saya, untuk mencoba dan terus mencoba, sampai akhirnya saya mengirim berkas aplikasi beasiswa berikutnya, ikut seleksi beasiswa di sebuah jejaring kampus tingkat international lainnya di wilayah Asia.
Setelah tiga bulan berlalu, saya sempat dihinggapi perasaan was-was karena belum ada kabar apapun tentang beasiswa tersebut. Dengan sikap positif, saya terus melanjutkan aktiviatas les saya seperti biasa, tak lupa terus berdoa dan saya serahkan semuanya kepada Allah sambil terus memegang kata-kata “ajaib” yang saya yakini benar: “man jadda wa jadda” (Barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan mendapatkan hasilnya).
Ternyata Allah menjawab doa saya. Ketika akhirnya hari Jum’at di bulan Juni, 2011 lalu saya mendapatkan telepon langsung dari Taiwan dan saya dinyatakan sebagai penerima tunggal asal Aceh yang lolos seleksi beasiswa dari pemerintah Taipe untuk meneruskan kuliah Master Psikologi di Taiwan. Rasa tidak percaya menghinggapi ketika saya dinyatakan lolos sebagai penerima beasiswa dari pemerintahan Taiwan. Tak berhenti disitu, ternyata Allah SWT menambahkan kebahagiaan saya, dengan mendapatkan dua beasiswa sekaligus: dari pemerintahan Taiwan, juga dari kampus di Taiwan tempat di mana saya memilih untuk melanjutkan master psikologi.
Akhirnya, saya harus memilih salah satu dari dua beasiswa itu. Rasa ketidakpercayaan diri kembali menyergap saya saat diminta mengurus keperluan seperti passport, visa dan legalisir beberapa dukumen lainnya untuk keberangkatan ke Taiwan pada September 2011. Namun, lagi-lagi rasa ingin melanjutkan sekolah lebih besar dari rasa deg-degan yang menghinggapi jiwa saya saat itu. “Ini pengalaman baru dan ini tugasku untuk menyambut dunia baruku dan Taiwan akan menjadi Aceh di hatiku,” batin saya kemudian untuk menyemagati diri saya sendiri. Setelah 1 tahun kemudian saya berada di tanah formosa (istilah lain dari Negara Taiwan – Republik of Cina) banyak pengalaman yang bisa saya petik dari negara kepulauan yang kecil ini. Arti tentang keramahtamahan taiwanese peopleculture, season yang berbeda, dan dunia pendidikan.
Selama di Taiwan, saya merasa bahwa saya seperti sedang di Aceh. Kekerataban, rasa kekeluargaan yang terjalin di antara mahasiswa internasional maupun lokal, selalu menjadi bagian cerita tersendiri buat saya. Betapa menyenangkan mengenal dan mendalami banyak budaya dari berbagai mancanegara. Rasa syukur tak henti-hentinya saya ucapkan kepada-Nya ketika saya diberi kepercayaan untuk bisa sekolah di luar negeri, mendapatkan kesempatan beasiswa international, bertemu dan belajar dengan orang asing yang belum pernah kenal sebelumnya, mengenal metode baru dalam dunia pendidikan.
Setiap akhir semester, Allah seperti terus menerus memberi kejutan demi kejutan buat saya dalam bentuk angka-angka sempurna di lembar prestasi akademik seorang mahasiswa. Alhamdulillah Rabbku, Engkau menyempurnakan kebahagiannku, menutup semester demi semester mendekati angka sempurna ..I liked it. That’s a gift from God, that I never had before. Kebahagiaan lainnya, di sejumlah agenda kuliah, saya kembali diberi kepercayaan sebagai penghubung sebuah maskapai terkenal Indonesia (kantor pusat di Taipe) dengan pelajar Indonesia yang berada di Taiwan, dalam penjualan tiket khusus mahasiswa Indonesia Taiwan yang sudah berjalan hampir kurang 1 tahun 5 bulan. Dan yang lainnya saya dipercaya untuk magang di International Hospital TaichungRen-Ai Hospital sebagai Indonesia Services selama 5 bulan sebelum saya balik ke Indonesia, juli 2013 lalu”.
Di sisi lain, dengan segala keterbatasan yang saya miliki, saya terus berusaha membenahi bahasa inggris, bertahan demi cita-cita, akhrnya tahun 2013 bulan Mei saya lulus menyandang gelar Master saya dengan masa study 1 tahun, 8 bulan. Tuhan seolah-olah terus menerus menaburi saya dengan kebahagiaan dan kado-kado terindahnya. Something just happens when we believe. “Hidup adalah proses, hidup adalah belajar. Tanpa ada batas umur dan tanpa ada kata-kata menyerah dan putus asa. Ketika “jatuh” berdiri lagi, ketika “kalah” mencoba lagi, dan ketika gagal terus bangkit lagi. Never give up . Teruslah belajar dan belajar, Sampai akhirnya Allah berkata “telah tiba waktunya untuk kembali.” Maka berjuanglah sebanyak-banyaknya, Karena dari sana kita akan banyak belajar dan belajar, menjadi sosok yang lebih baik dan bermanfaat bagi sekitar. Selamat berjuang dan selamat bertebaran di muka bumi, yakinlah “man jadda wajadda”. “Jika apa yang saya dapatkan hari ini adalah sebuah keajaiban, maka keajaiban itu adalah bagian dari kerja keras” (Zaujatul Amna Afganurisfa, 2013)

Saturday, October 5, 2013

Ranup Lampuan Taiwan Menanti Mahasiswa Baru

OLEH MUSLEM DAUD, Ketua Ikatan Mahasiswa Aceh Ranup Lampuan di Taiwan, kandidat doktor pada Educational Measurement and Statistics, NTCU, Taiwan
ADANYA Pameran Pendidikan Tinggi (Higher Education) Taiwan Expo yang diselenggarakan pada 3 Oktober 2013 kemarin di Gedung Ali Hasjmy IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh, merupakan kesempatan baik bagi para calon mahasiswa/i untuk melanjutkan studi strata 1 (S1) dan pascasarjana S2 (magister), atau bahkan S3 (doktoral/PhD) ke Taiwan.
Pameran tersebut, seperti dilaksanakan sudah dua kali di Banda Aceh, bukan hanya memberikan informasi kepada pengunjung, tetapi juga memungkinkan para peminat melamar program studi di universitas-universitas terkemuka yang ikut pameran dimaksud.
Di samping itu, dengan ikut sertanya lembaga penyedia beasiswa maka peluang belajar gratis ke Taiwan semakin terbuka lebar. Sungguh ini merupakan kesempatan bagus dan tidak banyak negara yang melakukan penjaringan mahasiswa langsung seperti ini. Oleh karena itu, kerja sama Lembaga Peningkatan Sumber Daya Manusia (LPSDM) Aceh dan Elite Study in Taiwan (ESIT) serta Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry ini perlu diberi apresiasi setinggi-tingginya.
Sebagai sharing pengalaman, saya mengunjungi Pameran Pendidikan Taiwan sekitar Oktober 2011 yang waktu itu diadakan di Gedung AAC Dayan Dawood Universitas Syiah Kuala, juga atas kerja sama LPSDM Aceh dengan ESIT. Pada waktu itu saya langsung tertarik untuk melamar program studi di universitas tempat saya belajar kini. Dengan beberapa dokumen dasar yang saya bawa, pihak universitas tersebut pun dapat melihat keseriusan saya dan tertarik untuk meng-interview serta memproses lebih lanjut lamaran saya. Dan pada akhirnya saya diterima menjadi salah seorang mahasiswa di universitas mereka.
Kesempatan ini juga digunakan oleh teman-teman lain dan hasilnya pada tahun 2012 ada 32 mahasiswa Aceh yang berbarengan dengan saya berangkat ke Taiwan untuk menempuh pendidikan di berbagai program studi, baik untuk jenjang S2 maupun S3.
Keseriusan Pemerintah Aceh dan Departemen Pendidikan Taiwan yang diwakili oleh ESIT untuk menjaring putra-putri Aceh menjadi calon mahasiswa ke Taiwan, telah memberikan inspirasi bagi Ikatan Mahasiswa Aceh Ranup Lampuan di Taiwan yang didukung oleh para alumni untuk mengadakan beberapa sosialisasi pendidikan Taiwan beberapa minggu lalu di Aceh (pertengahan Agustus sampai pertengahan September 2013). Beberapa lokasi kegiatannya adalah Fakultas Teknik Universitas Malikussaleh (16 Agustus); Pusat Bahasa Universitas Syiah Kuala Banda Aceh (18 Agustus); Pusat Studi China IAIN Ar-Raniry (5 September); FKIP Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh (7 September); Perguruan Tinggi Al-Hilal Sigli, dan Badan Kepegawaian Kabupaten Pidie (9 September).
Di samping itu, dengan dukungan penuh salah satu radio swasta, pada tanggal 28 Agustus, Ranup Lampuan Taiwan telah pula melakukan live talkshow untuk menyebarkan informasi pendidikan Taiwan serta beasiswa-beasiswa yang tersedia. Apa yang mahasiswa dan alumni lakukan selama ini merupakan kegiatan sukarela yang didanai secara mandiri oleh rekan-rekan yang terlibat dalam kegiatan tersebut.
Adapun bahan-bahan sosialisasi didukung penuh oleh ESIT dan Office of International Affairs (OIA) National Chiao Tung University dan OIA National Taichung University of Education, Taiwan. Terima kasih setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah menyukseskan kegiatan sosial tersebut.
Besar harapan kami, apa yang dilakukan mahasiswa dan alumni pada masa liburan tersebut akan bersinergi dan memberikan kontribusi positif bagi terjaringnya calon-calon mahasiswa baru yang akan melanjutkan studi ke berbagai universitas di berbagai kota di Taiwan.
Sekadar informasi, Ikatan Mahasiswa Aceh Ranup Lampuan di Taiwan yang didirikan tahun 2006/2007, sekarang memiliki anggota lebih dari 100 mahasiswa yang tersebar di tujuh kota: Taipei, Hualien, Keelung, Zhongly, Hsinchu, Taichung, dan Tainan. Jadi, di mana pun calon mahasiswa diterima, dipastikan akan ada saudara-saudari kita yang menunggu, menjembatani kepentingan sosial budaya, dan membantu mahasiswa baru asal Aceh beradaptasi di Taiwan. Jadi, gunakanlah kesempatan emas ini sebaik-baiknya dan kami menunggu Anda di Negeri Formosa. 
Tulisan ini juga dipublis di Serambi Indonesia

Tuesday, October 1, 2013

Gambar Mengerikan pada Rokok Taiwan

OLEH FAISAL ANWAR, penerima beasiswa dari LPSDM Aceh, mahasiswa program Magister di National Chiayi University- Taiwan
TAIWAN adalah negeri yang memiliki perhatian besar terhadap kesehatan. Ini dapat dilihat dari keseriusan pemerintahnya dalam “menjinakkan” para perokok.
Rokok, sama seperti halnya di Indonesia, juga diperjualbelikan di Taiwan. Namun demikian, tidak semua orang diperbolehkan membeli rokok secara bebas di sini. Orang-orang yang diperbolehkan membeli dan menikmati rokok hanyalah yang sudah dewasa atau berusia 18 tahun ke atas. Para kasir di setiap swalayan akan melihat dan menanyakan apakah si pembeli sudah berusia 18 tahun ke atas atau belum. Mereka tidak hanya memikirkan keuntungan belaka dengan “mengobral” rokok kepada semua orang. 
Rokok di Taiwan tidak ada yang dijual secara eceran, semua rokok dijual per bungkus dan hanya tersedia di swalayan-swalayan. Sebungkus rokok di Taiwan sangatlah mahal dibandingkan dengan sebungkus rokok di negeri kita. Per bungkusnya berkisar 70-80 NT, sekitar Rp 23.800-Rp 27.700 (tergantung dari merek rokok yang dibeli) dengan isi 16 batang.
Untuk menumbuhkan kesadaran para perokok tentang arti penting kesehatan, Pemerintah Taiwan memasang gambar-gambar penyakit yang disebabkan oleh rokok di setiap bungkus rokok. Mulai dari paru-paru hitam, gusi hitam, gigi yang kuning dan berlubang hingga gambar janin yang rusak disebabkan asap rokok.
Langkah pemerintah tidak hanya sampai di situ. Pemerintah juga mensterilkan tempat-tempat umum dari pecandu rokok. Seperti bandara, stasiun, terminal, bus, kafe, dan lain-lain. Pemerintah Taiwan  mengatur sanksi tegas berupa denda sebesar 10.000 NT (Rp 3.400.000) bagi siapa saja yang tetap melanggar.
Bagi para mahasiswa perokok, merokok di Taiwan menjadi “penjara”. Mereka hanya diperbolehkan merokok di taman sekitar kampus dan tidak boleh berkeliaran sambil menenteng rokok. CCTV di setiap pojok asrama siap mengintai gerak-gerik mereka dan alarm asap di setiap kamar siap berbunyi ketika mendeteksi asap. Sanksi yang sama juga berlaku bagi mahasiswa apabila mereka melanggar.
Keseriusan dan ketegasan Pemerintah Taiwan sangat membuahkan hasil. Kita tidak akan melihat perokok di tempat-tempat umum dan kampus. Udara yang kita hirup pun segar dan bebas dari asap berbau tembakau yang menyembunyikan banyak penyakit.
Tentu ini berbeda jauh jika dibandingkan dengan negeri kita, khususnya Aceh yang menjadi “surga” bagi para pecinta si kulit putih sepanjang 9 cm dan “nereka” bagi pecinta kesehatan. 
Di nanggroe kita tercinta akan sangat mudah kita temukan orang merokok di tempat-tempat umum seperti di bus, labi-labi, warung kopi, terminal bahkan mushalla. Ironisnya si perokok terkadang cuek terhadap ibu hamil, wanita, atau anak-anak yang berada di sekeliling mereka yang juga menjadi “perokok” tanpa filter.
Kita harus akui pemerintah kita masih lemah dalam mengawasi rokok dan pencintanya dan lemah pula kesadaran masyarakat kita akan arti kesehatan meski di setiap bungkus rokok sudah dicantumkan peringatan bahwa merokok itu dapat mengganggu kesehatan.
Oleh karena itu, kesadaran akan kesehatan harus kita tumbuhkan dari diri kita sendiri dan sedini mungkin sebelum penyakit menggerogoti paru-paru yang sudah Allah berikan kepada kita. Marilah kita hormati orang-orang yang tidak merokok dengan tidak merokok di sekeliling mereka. Pepatah Arab mengatakan, “Ahsihhatu taajun `alaa ru`usi ashihhaa`, laa yarahaa illa l-mardha” (Kesehatan itu adalah mahkota di atas kepala orang-orang yang sehat, tidak ada yang bisa melihat mahkota itu kecuali mereka yang sakit).