Thursday, June 28, 2012

Formosa dan Diorama Sang Pemimpi



Oleh : Feizia Huslina, Studied Environmental and Ecological Studies at National Dong Hua University, Hualien-Taiwan

Aku adalah seseorang yang ingin menggapai mimpi untuk melanjutkan pendidikan. Aku pun mencari informasi beasiswa dengan giat karena sangat tidak mungkin untuk memakai biaya sendiri. Setelah menunggu beberapa waktu, aku berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Taiwan. Aku sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa ternyata Taiwan adalah takdirku, masa depan yang telah dihadiahkan Tuhan untukku. Dengan memanjatkan segenap do’a, aku bulatkan tekadku untuk memulai perjalanan itu.

Malam itu adalah tonggak awal perjuanganku di bumi Formosa, Taiwan. Tepat pada awal Ramadhan 2011, aku dan teman-temanku tiba di sebuah kota yang bernama Zhongli, sebuah kota dengan beberapa toko perbelanjaan yang berjajar di sepanjang jalan. Suasana malam dengan kilauan cahaya lampu yang menghiasi kota itu, mengingatkanku pada cerita-cerita mafia Hongkong yang sering kulihat di televisi. Beberapa mobil dan motor masih gencar melewati jalanan itu untuk meramaikan malam. Para pejalan kaki juga masih lincah untuk menapaki trotoar penyeberangan. Hingga akhirnya aku tiba di depan sebuah hotel. Dari penampakan luarnya, aku membayangkan tempat itu pasti dihuni oleh muda-mudi yang sedang menikmati malam dengan sukacita dan ditemani suasana temaram lampu warna-warni. Segera kusingkirkan semua pikiran aneh yang menggelayut di kepalaku. Penyelenggara beasiswa pasti memberikan fasilitas yang aman dan cocok bagi kami. Aku hanya merasa lelah yang teramat sangat dan ingin segera merasakan empuknya kasur yang hangat.

Tepat dini hari di lantai 14 hotel itu, aku dan teman-teman dikejutkan oleh suara ketukan pintu. Petugas hotel mengisyaratkan bahwa makanan sahur telah tersedia. Sesaat aku tertegun, karena setahuku, sulit sekali untuk mendapatkan makanan halal di Taiwan karena kebanyakan berasal dari bahan dasar daging babi. Aku terkejut, karena makanan itu tampak asing sekali bagiku. Aku melihat kue dadar seperti martabak beserta saus berwarna cokelat kehitam-hitaman dan roti berbentuk lonjong memanjang seperti cakue, kue jajanan khas Bogor. Aku bahkan tak berselera melihatnya dan rasa laparku perlahan hilang seperti ditelan bumi. Aku menanyakan kepadanya, apakah makanan tersebut mengandung sesuatu yang terkait dengan babi. Dan dia langsung meyakinkanku bahwa makanan tersebut aman untuk dikonsumsi. Namun, aku masih merasa ragu dan takut. Di sisi lain, aku tidak mempunyai bekal makanan lain untuk sahur. Bismillah, akhirnya aku memakan sedikit makanan itu seraya memohon ampun pada-Nya jikalau aku salah. Duhai Rabbul Izzati, inilah cobaan pertamaku, aku harus kuat.

Keesokan paginya, sebuah bis mengantarkan aku dan teman-teman menuju tempat pelatihan bahasa mandarin. Cuaca dingin walaupun setahuku saat itu adalah musim panas serta rasa lelah yang masih melanda tidak menyurutkan langkah kami untuk segera memulai hari di bumi Formosa. Chung Yuan Christian University adalah tempat dimana aku dan teman-teman akan menjalani pelatihan selama satu bulan. Aku patut bersyukur dapat bertemu dengan guru-guru yang sangat ramah, pintar dan sabar. Bahasa mandarin yang mulanya kuanggap sulit, perlahan begitu indahnya bermain di alam pikiranku. Sistem penyampaian materi yang disajikan sangat memudahkan kami untuk cepat memahaminya.

Sebaliknya, kami juga merasakan ketidaknyamanan ketika berada disana. Aku terusik dengan keadaan toilet yang tidak menyediakan air dan hanya mengandalkan segulung tissue yang bertengger di dinding. Bisa dibayangkan, setiap harinya aku harus membawa sebotol air mineral yang kosong sebagai wadah untuk diisi air. Bau tak sedap juga kerap menusuk hidungku. Dan malangnya, keadaan seluruh toilet di Taiwan memang seperti itu. Masyarakat setempat memang tidak terbiasa menggunakan air untuk bersuci. Maha suci Engkau ya Allah yang telah memberikanku selaksa nikmat Islam sehingga aku tahu bagaimana caranya menyucikan diri.

Hari pun kian bergulir semakin cepat. Bulan Ramadhan yang pada awalnya terasa begitu hampa, perlahan kurasakan lebih bermakna. Apalagi ketika melaksanakan shalat tarawih berjamaah di hotel yang kami tempati. Alhamdulillah, ruang lobi hotel yang sempit dapat kami sulap menjadi tempat yang nyaman untuk melaksanakan sholat. Keharuan pun menyeruak di dalam kalbu, ketika aku mendengar dan meresapi setiap ayat-ayat Qur’an yang dilantunkan. Aku pun menyadari bahwa rasa ukhuwah itu begitu mengalir hebat di ruang batinku ketika berada jauh di negeri orang.

Mencari menu berbuka puasa juga menjadi tantangan tersendiri bagi kami. Alhamdulillah, setelah bertanya kesana kemari, akhirnya kami menemukan sebuah warung Indonesia yang menjual makanan halal. Menunya bermacam-macam seperti nasi putih atau kuning dengan opor ayam, sayur nangka dan sambal teri tempe. Kesulitan mencari makanan ketika sahur akhirnya tergantikan oleh lezatnya menu berbuka puasa. Aku percaya bahwa dibalik kesusahan, pasti ada kemudahan.

Di kota itu, terdapat sebuah masjid bernama Longgang yang memberikan sejuta kenangan. Masjid yang biasa didatangi oleh orang-orang muslim Cina, Arab, Pakistan dan mahasiswa-mahasiswa khususnya dari Indonesia selalu memberikan aura ketentraman yang luar biasa bagiku. Suara azan yang syahdu serta ucapan-ucapan salam yang sudah lama tidak kudengar begitu lembut memasuki relung jiwaku. Berbagai jenis makanan berbuka puasa dari Taiwan dan Indonesia dapat kunikmati disana. Bahagia sekali rasanya dapat menikmatinya sembari melihat anak-anak muslim cina bermata sipit saling berlari dan berkejaran di halaman masjid. Pemandangan yang membuatku semakin merasakan indahnya ukhuwah di negeri yang konon memiliki minoritas kaum muslim. Kebiasaan di masjid tersebut yang mengharuskan setiap orang untuk membawa pulang makanan yang berlebih dan melarang keras untuk menyisakannya juga membuatku merenung. Sebuah hal yang jarang aku temui di negaraku.

Ramadhan pun berakhir di penghujung Agustus 2011 dan hari raya Idul Fitri akan tiba. Aku mengiba, karena tidak bisa berada di tengah keluarga. Namun, kerinduan itu terobati karena aku dapat melaksanakan sholat Idul Fitri pada sebuah masjid di pusat kota Taichung yang dapat ditempuh selama 3 jam dari kota Zhongli, dimana kami bernaung saat itu. Masjid besar Taichung adalah salah satu dari enam masjid yang terdapat di Taiwan. Pagi hari yang cerah, sedikit mendung dan diiringi gerimis-gerimis kecil menemani kami dan jamaah lain menghadap-Nya. Iringan dzikir menyebut asma-Nya menyatukan hati kami dalam keharuan bersama.

Sesaat setelahnya, kami tiba di rumah seorang teman muslim dan disuguhi dengan lezatnya menu lebaran seperti lontong, opor ayam, beserta kue-kue yang memenuhi meja makan. Sejurus kemudian, kami langsung menikmatinya dengan sangat lahap layaknya orang yang kekurangan gizi dan sudah lama tidak memakan masakan lezat.

Pada waktu itu, kami juga mengunjungi beberapa tempat menarik seperti Asia University dan beberapa tempat bersejarah lainnya. Bahkan aku beserta teman-teman melanjutkan perjalanan menuju Taipei dan mengitari tempat-tempat wisata seperti Taipei 101, masjid besar Taipei dan tempat-tempat perbelanjaan. Dan hanya ungkapan syukur dan bahagia yang terbersit di benakku saat itu.

Tidak terasa satu bulan terlewati sudah dan pelatihan mandarin telah berakhir. Aku beserta teman-teman harus berpisah menuju universitas masing-masing. Rasa haru dan kehilangan yang amat mendalam menyelimuti diri pada detik-detik perpisahan itu. Dan perasaan itu tak terbendung lagi ketika wajah-wajah dan kebersamaan itu hilang bersama jejak langkah menuju ke tempat yang baru.

Kota penjelajahanku selanjutnya adalah Hualien yang terletak di sebelah timur Taiwan dan dapat ditempuh selama 4 jam dari ibukota Taiwan yaitu Taipei. Disana, aku akan menjalani aktivitas perkuliahanku di sebuah daerah bernama Shoufeng. Aku sempat terhenyak karena ternyata kampusku luas sekali. Ketika memasuki gerbang pintu masuk, beberapa jenis pohon seperti pinus dan cemara berdiri dengan gagahnya menyambut kedatanganku. Aura kesejukan dari gunung merasuk, walau matahari masih menyilaukan terik panasnya.

Memulai hari pada tempat yang memiliki nilai budaya dan agama yang berbeda memang bukan perkara yang mudah. Malangnya, tuan rumah pertama yang coba menggodaku adalah anjing yang merupakan hewan kesayangan masyarakat setempat selain babi. Aku hanya pasrah menyadari bahwa selama dua tahun ke depan kehidupanku pasti dipenuhi berbagai tantangan seperti ritual penyucian (sama') dan hal-hal sulit lainnya.

Ketika pertama tiba, ingin rasanya aku makan sayur, ikan, ayam atau daging, namun rasanya tidak mungkin. Alhamdulillah, pada akhirnya aku menemukan warung yang menjual sayur, ikan dan bahan-bahan masakan lainnya sehingga aku bisa memasak sendiri. Di luar dugaan, ternyata kesibukan kuliah menyita waktuku. Keadaan memaksaku untuk membeli makanan yang berbahan dasar sayuran di kantin kampus. Namun, sahabat seorang temanku mengatakan bahwa semua makanan tersebut menggunakan babi sebagai penyedap. Astaghfirullah, dan akhirnya  kejadian itu membulatkan tekadku dan teman-teman untuk selalu memasak sendiri sesibuk apapun kegiatan kami.

Di sisi lain, masyarakat setempat bahkan mahasiswa lokal sering aneh melihat pakaian kami yang menutupi seluruh tubuh dan memakai jilbab. Tatapan mereka begitu menghujam dari atas kepala hingga ujung kaki kami, seakan ingin bertanya, namun sepertinya bibir mereka kelu, Aku sadar bahwa kebanyakan dari mereka tidak bisa menggunakan bahasa Inggris sedangkan pengetahuanku tentang bahasa Mandarin juga sangat dangkal. Sebagian dari mereka merasa simpati dengan penampilan kami, ada juga yang menganggap aneh bahkan mencibir. Hal itu mungkin disebabkan oleh ketidaktahuan mereka terhadap Islam. Bahkan sepengetahuanku, hanya ada aku, teman-teman, beserta beberapa orang pekerja dari Indonesia yang beragama Islam di sana.

Salah seorang dosenku juga pernah menanyakan perihal mengapa aku dan teman-teman selalu meminta izin untuk sholat pada waktu siang dan petang. Dia bertanya apakah kami melakukannya pada dua waktu itu saja. Aku mengatakan kepadanya bahwa kami melakukannya lima waktu dalam sehari. Raut wajahnya berubah seketika dan menanyakan bagaimana bisa aku berinteraksi dengan Tuhan sesering itu. Setelah kejadian tersebut, episode-episode pertanyaan sejenis itu pun kerap menghampiriku. Profesor pembimbingku adalah salah seorang yang ingin mengetahui banyak mengenai Islam. Pertanyaan-pertanyaan seperti alasan memakai jilbab, tidak memakan babi dan merayakan Natal sering dilontarkan kepadaku. Aku coba menjelaskannya berdasarkan pemahamanku. Namun kusadari, ternyata aku harus lebih banyak membaca untuk menemukan jawaban yang lebih tepat baginya. Dan tanpa disengaja, aku bertemu dengan salah satu pengurus masjid di Taipei. Dia memberikanku sebuah Al-Qur’an versi mandarin, beberapa buku pedoman tauhid, artikel, dan buku-buku keislaman lainnya. Allah memang telah menuntunku agar dapat memberikan buku-buku tersebut kepada orang-orang yang membutuhkan pengetahuan tentang Islam. Dan di saat ini, aku bersyukur bahwa ternyata jalan yang Allah pilihkan untukku menuaikan banyak hikmah yang sangat berguna untukku dan orang-orang di dekatku. Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.

0 comments:

Post a Comment