Thursday, December 20, 2012

Kenapa Harus ke Luar Negeri?


OLEH AMNA AFGANURISFA, Mahasiswa Magister Psikologi Asia University, Taichung-Taiwan 
Uthlubul Ilma Walau Bishin.” (Carilah Ilmu Sampai Ke Negeri Cina). Bagi orang muslim, kata-kata ini tidaklah janggal dan asing. Inilah bunyi sebuah hadist dari  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan dengan negeri tersebut,  karena negeri China adalah negeri yang sangat jauh sekali dari negeri Arab.
Hal ini merupakan seruan dan anjuran agar kita mempunyai keinginan belajar dan mencari pengetahuan walaupun tempatnya jauh dan asing bagi kita. Belajar di luar negeri adalah usaha untuk meraih masa depan yang lebih baik. Kita menyadari bahwa masa depan seseorang akan sangat dipengaruhi oleh pendidikannya. Dengan belajar di manca negara ini kita akan mendapatkan pengalaman dan wawasan global, wawasan yang lebih luas.
Kenapa harus keluar negeri? Bukankah Negara kita (Indonesia) memiliki universitas-universitas andalannya? Kalau di negara sendiri kita memiliki berpuluh-puluh universitas kebanggaan? kenapa mesti jauh-jauh keluar negeri?
Yah..ini lah kalimat yang selalu menggelitik pemikiran kita, kenapa kuliah dan tinggal di luar negeri menjadikannya sebagai “ajang bergensi bagi mereka yang sedang dan sudah pernah tinggal di luar negeri.
Sejumlah pertanyaan lainnya adalah :”bukankah kita harus mencintai dan melestarikan budaya dan sikap nasionalisme kita? Kalau semua putra bangsa pindah untuk kerja, tinggal dan liburan ke luar negri (Indonesia) bukankah itu menambahkan vis negara yang mereka tuju? lalu dimana letak nasionalisme putra-putra Indonesia yang selalu di agungkan mereka?
Inilah sederetan pertanyaan yang selalu menggelitik sebagian pemikiran mereka-meraka yang memikirkan kenapa banyak pelajar Indonesia berbondong-bondong keluar negeri hanya untuk bekerja, belajar dan liburan.
Indonesia merupakan negara kelima terbesar di dunia dikarenakan daerahnya yang luas, juga memiliki keindahan dan kaya akan budaya. Akan tetapi, jika dibandingkan dari segi kuantitas Indonesia memiliki angka yang lumayan mengiris hati para putra-putrinya. Laporan dari sebuah situs dunia (berdasarkan QS World University Ranking dan OECD), universitas-universitas di Indonesia tidak ada yang masuk rangking 200 universitas dunia, selain itu dikatakan juga bahwa kualitas pendidikan tinggi di Indonesia masih tertinggal.
Sebagai putri Indonesia setelah menempuh pendidikan 1.5 Tahun di Taiwan, jika saya harus membandingkan ketika saya menempuh ilmu psikologi di sebuah universitas ternama di Indonesia, harus saya akui secara objektif bahwa kualitas pendidikan tinggi di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan apa  yang sedang saya jalani sekarang di Negara Taiwan ini.
Bagi saya pribadi, setelah lebih kurang 1,5 tahun di Taiwan, banyak pengalaman, serta bertambahnya wawasan saya. Hal ini telah memperkaya akan wawasan saya baik tentang dunia, pendidikan dan juga termasuk tentang negara Taiwan. Adapun beberapa alasan yang bisa saya rangkaikan di antaranya:
1. Untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Beberapa aspek di mana universitas di Indonesia masih tertinggal, menurut saya adalah ketersediaan infrastruktur pendidikan, kualifikasi dosen, keterhubungan universitas dengan industri, alat-alat penunjang sarana dan prasarana sekolah yang sangat lengkap.
Belum lagi profesionalisme dosen dan mahasiwa, menjadikan cerita tersendiri bagi saya, yang membuat saya kagum dan takjub akan sifatnya yang sangat bersahaja, bersahabat, dan juga jadi motivator bagi saya pribadi dan teman-teman kuliah lainnya ketika kami hampir menyerah dengan dunia master ala luar negri ini.
2. Untuk memperoleh pengalaman hidup di luar negeri.  Inilah salah satu hal yang sangat saya suka, pengalaman hidup di negeri orang. Suka, duka dan canda-tawa  kuliah selama di luar negeri, ini akan menjadikan pengalaman yang sangat berharga bagi saya. Dan sisi pengalaman berharga lainnya, yaitu pertama, memiliki teman-teman sekelas berasal dari berbagai mancanegara. Hal ini sangat jarang ditemui di universitas di Indonesia di mana proporsi mahasiswa internasional sangat rendah.
Kedua, culture, berinteraksi dan mengalami langsung hidup dengan budaya yang berbeda, tinggal di negara yang berbeda dengan Indonesia dan berinteraksi dengan orang-orang dengan latar belakang berbeda. Dunia ini sangat luas, ada lebih dari 200 negara. Betapa sempitnya pengalaman dan wawasan kita kalau seumur hidup kita hanya tinggal di Indonesia dan bergaul dengan orang Indonesia.
3. Belajar bertahan dan Bertuhan. Poin ini terdengar klise, namun inilah yang saya dapatkan. Ketika saya memilih Republik Cina ini sebagai tempat tujuan saya kuliah, saya jauh dari keluarga yang berada di ujung Sumatera (Aceh). Saat masalah menghampiri dan kangen akan keluarga, di saat inilah saya belajar bagaimana saya bertahan demi kelangsungan pendidikan saya.
Cina juga dikenal dengan negara tak bertuhan dalam artian kebanyakan masyarakat Cina adalah atheis, tidak percaya akan adanya Tuhan, minoritas muslim dan dikelilingi oleh orang-orang internasional lainnya yang memiliki keyakinan berbeda dengan saya.
Dengan kondisi seperti ini, ALLAH SWT, menguji kita semua, apapun kondisinya agar senantiasa kita tetap berada dan selalu ingat kepadaNYA, pemilik semuanya, termasuk apa yang saya miliki hari ini. Ini semua hanya pinjamanNya, bersyukur, bertahan hidup dan tidak pernah melupakan-NYa.
Belajar, bekerja, liburan serta mencari pengalaman di luar negeri bukanlah sebuah ajang gengsi dan pamer, tapi melainkan lebih kepada mencari nikmat Allah yang tersebar di muka bumi. Carilah dan lihatlah betapa pelukis agung itu telah melukis dengan sempurna di setiap belahan dan sudut bumi-Nya.
Saya merasa semua orang, termasuk orang Indonesia, berhak mendapat pendidikan terbaik. Miskin dan kaya semua berhak atas ilmu Allah. Orang miskin tidak boleh kuliah itu hanya perkataan orang pesimistis. Semua orang bisa kuliah asal mau berjuang mendapatkan haknya.
Catatan ini juga dipublish di atjehpost(online)

0 comments:

Post a Comment