Tuesday, March 19, 2013

Menghargai Nyawa dengan Ambulans

OLEH Dr WIRA WINARDI, Mahasiswa Program Magister Taipei Medical University, melaporkan dari Taiwan

SIRINE ambulans meraung-raung memecah kesunyian Kota Taipei, ibu kota Taiwan. Bukan sekadar bunyi tanpa arti, melainkan sinyal bagi banyak pihak yang berkepentingan. Bagi keluarga calon pasien, raungan itu adalah secercah harapan atas perawatan segera familinya yang sedang ditimpa musibah. 

Bagi para pengendara di lintasan yang dilewati ambulans, itu artinya mereka harus dengan cepat memberikan jalan bagi ambulans untuk dapat berlalu tanpa halangan, sekalipun dalam kondisi macet.

Bagi rumah sakit terdekat, raungan itu berarti para petugas IGD harus bersiap-siap menatalaksana calon pasien. Segala tindakan diambil secepat dan seefisien mungkin guna meminimalisir kesakitan yang dialami calon pasien tersebut.

Ilustrasi di atas adalah hal yang lumrah terjadi di Taipei. Bukan karena tingkat kesakitan atau kecelakaan yang tinggi, melainkan karena sigapnya petugas medis dalam memberikan pelayanan.

Bagi pemerintah kota dengan luas lima kali lipat Banda Aceh ini, penghargaan atas kehidupan manusia adalah mutlak dan hal itu dipahami benar oleh mayoritas masyarakat. Keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat menjadikan pelayanan yang diberikan tanpa batas dan diskriminasi. Salah satunya yang paling penting adalah ambulans.

Pemerintah Kota Taipei berhasil mengintegrasikan sistem ambulans yang aksesnya dapat mencapai seluruh kota dalam hitungan menit. Sistem ini memungkinkan setiap warga mendapatkan layanan medis awal sesegera mungkin. Apalagi, setiap ambulans dibekali peralatan memadai serta paramedis yang terlatih, sehingga pemberian perawatan awal dapat dilakukan dengan cepat, tepat, cermat, dan efisien.

Menariknya, Pemerintah Taiwan bersama pihak universitas juga sukses mengintegrasikan teknologi IT dan pelayanan kesehatan khususnya ambulans. Sejak tahun 2011, pemerintah mengaplikasikan teknologi wireless censor system ke ambulans yang terdapat di Taiwan. Ini adalah sistem sensor tanda vital tubuh yang mencakup tekanan darah, denyut jantung, kadar oksigen darah, kondisi luka/cedera, bahkan catatan elektrokardiografi (EKG) pasien. 

Alat yang ditanamkan pada ambulans ini terhubung ke server komputer rumah sakit yang dituju menggunakan teknologi internet guna mengirimkan data tanda-tanda vital yang diperlukan. Para dokter di rumah sakit tujuan dapat memantau kondisi calon pasiennya secara real time. Hal ini memungkinkan dokter segera mempersiapkan segala sesuatu yang penting bagi perawatan awal sang calon pasien jauh sebelum ia sampai ke IGD rumah sakit yang dituju. 

Prinsip penatalaksanaan yang cepat, tepat, dan cermat membuat kasus kecacatan akibat kecelakaan dan penyakit dapat diminimalisir di kota-kota di Taiwan. Secara teoretis dan kajian klinis, banyak kasus penyakit yang memerlukan perawatan segera dalam masa periode emas (golden period) guna menyelamatkan nyawa maupun mencegah kecacatan. Periode emas adalah rentang waktu yang jika pengobatan dilakukan dalam waktu tersebut, maka penyembuhan yang optimal masih memungkinkan untuk dicapai serta mengurangi risiko cacat bahkan kematian. Sebutlah penyakit stroke dan serangan jantung. Dua penyakit yang disebut-sebut sebagai pembunuh utama ini butuh penatalaksana-an yang harus diberikan dalam hitungan jam bahkan menit. Semakin terlambat penatalaksanaannya maka risikonya juga kian besar.

Dengan minimalnya angka kecacatan itu berarti produktivitas masyarakat dapat dipertahankan dan biaya perawatan lebih lanjut dapat dihindari. Yang lebih penting lagi, pemerintah telah dengan sungguh-sungguh menjalankan prinsip memanusiakan manusia. 

Memang, jika ditilik dari kacamata negara dalam memandang persoalan, seolah ambulans tampak seperti persoalan yang sepele atau sederhana. Isunya jauh tertimbun di bawah persoalan lain yang dianggap lebih penting. Namun, satu nyawa juga adalah kehidupan, seperti bunyi ayat Quran berikut ini,”...dan barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan seluruh manusia.” (QS 5:32)

Tetapi bukankah menelantarkan satu nyawa warga juga disejajarkan dengan menelantarkan nyawa seluruh manusia? Betapa eloknya jika kita orang Aceh mengadopsi prinsip tersebut ketika memberikan pelayanan kepada publik, khususnya pelayanan kesehatan. Sebab, bukankah setiap kehidupan begitu berharga? 

Tulisan ini juga dipublish di Serambi Indonesia (online)

0 comments:

Post a Comment