Monday, January 14, 2013

Bus di Taichung, Kok Bisa Gratis?

MUSLEM DAUD, penerima sharing beasiswa Universitas Pendidikan Taichung (NTCU) dan Pemerintah Aceh, Taichung. 

SAAT ini saya telah menjadi mahasiswa program doktor di Universitas Pendidikan Negeri Taichung (NTCU) Taiwan, dengan program studi Evaluasi Pendidikan dan Statistik. Sejak datang ke kota terbesar ketiga di Taiwan ini beberapa bulan lalu, banyak saya temukan hal menarik, baik dalam dunia pendidikan, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah bus kota yang tidak dipungut bayaran alias gratis.

Bus kota kok bisa gratis? Barangkali Anda tak percaya dan. Itu jugalah yang ada di pikiran rekan-rekan saya di provinsi lain di Taiwan ketika saya sampaikan hal ini. Kebanyakan mereka menyatakan hal itu tak mungkin terjadi, karena yang punya bus akan bangkrut. 

Beberapa kawan penasaran dan ingin membuktikan sendiri. Makanya pada Hari Raya Idul Adha lalu, banyak rekan saya yang datang ke Taichung untuk membuktikannya. Ternyata, benar. Bus kota di Taichung memang gratis. 

Calon penumpang hanya disyaratkan membeli kartu bus kota seharga kira-kira Rp 30.000 dan dapat dipakai selamanya. Secara teknis, kartu tersebut digunakan untuk naik dan turun bus kota dengan sistem digitalisasi yang langsung terhubung dengan computer center dinas perhubungan dan si pemilik armada.

Uniknya, bus kota gratis tersebut melayani seluruh jalur yang ada untuk semua jam kerja, mulai pukul 6.30 pagi hingga 10.30 malam. Hal ini berbeda dengan beberapa kota lainnya seperti di Singapura, Malaysia, atau Australia yang hanya menggratiskan beberapa jalur turis/pariwisata atau hanya dilakukan pada jam-jam tertentu saja. Jalur-jalur dimaksud seperti dari pusat kota menuju pantai atau dari pusat kota menuju museum, atau sekadar berkeliling kota (loop bus). 

Di samping itu, hampir bisa dipastikan penumpangnya adalah para turis atau masyarakat yang hanya ingin jalan-jalan atau memang rumah mereka dilalui moda trasportasi tersebut. Dengan demikian, jelas sekali perbedaannya dengan keberadaan bus kota di Taichung yang berlaku untuk semua jalur dan jam kerja.

Sementara itu, armada bus yang melayani rute-rute yang bagus dengan tingkat emisi buang rendah, ber-AC dan dilengkapi monitor tentang informasi halte yang akan dilalui serta dikemudikan oleh sopir berpakaian seragam yang rapi. Kondisi armada yang baru lebih menjadi daya tarik di mana penataan kursi dan spatial penumpang yang sangat lapang. Dilengkapi pula dengan sistem hidrolik yang bisa membuat badan bus miring, sehingga memudahkan penumpang naik dan turun dari armada tersebut di halte tujuan. 

Kondisi ini menjadikan bus sangat nyaman bagi semua lapisan masyarakat, mulai dari anak-anak hingga manula, pekerja atau mahasiswa. Ini sangat berbeda dengan gambaran rata-rata bus kota di Jakarta seperti Mayasari, Kopaja, metromini, dan lainnya. Di samping itu, bus-bus tersebut umumnya berbadan besar seukuran bus yang biasa melayani rute Banda Aceh-Medan.  

Lalu pertanyaannya kok bisa gratis? Setelah saya lakukan serangkaian observasi dan himpun jawaban, ternyata ini memang salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi kemacetan lalu lintas. Di Taichung sangat banyak mobil pribadi dan sepeda motor yang memadati jalanan, sehingga kemacetan tak dapat dihindari, apalagi di musim hujan yang memperlambat jalannya mobilisasi kendaraan bermotor.

Sebelum diterapkan kebijakan ini, dilakukan dialog antara pengusaha dan pemerintah yang salah satu keputusannya adalah tidak memungut bayaran untuk penumpang yang berpergian dalam jarak 8 km. Pemerintah menyubsidi pengusaha bus untuk menutupi defisit karena penumpang yang digratiskan itu.

Sebagai penumpang yang bepergian lebih dari 8 km, tentunya dapat turun dan naik bus lain dengan rute yang sama untuk sampai ke tujuan. Setelah diterapkan kebijakan untuk menggratiskan bus kota, banyak masyarakat memilih untuk menggunakan bus kota sebagai sarana transportasi mereka untuk berbagai keperluan di dalam kota, baik untuk pergi ke kantor, mengantar anak ke sekolah, pergi sekolah, pergi belanja, dan lain-lain. Mahasiswa Indonesia pun terbantu dengan kebijakan ini, baik untuk pergi kuliah ataupun pergi ke masjid yang letaknya agak jauh dari universitas masing-masing.

Hasil lain yang sangat tampak tidak ada lagi kemacetan di kota berpenduduk sekitar 3 juta jiwa ini. 

Melihat kemacetan lalu lintas Kota Banda Aceh sekarang ini, layaklah jika pemerintah memikirkan kiat untuk menurunkan tingkat kemacetan dengan mengadopsi cara Taichung ini.

Tulisan ini juga dipublish di Serambi Indonesia (online)

0 comments:

Post a Comment