Monday, July 2, 2012

Realitas Sikap Pragmatisme di Aceh

Oleh: Azhar Mahmud, Master student of Biological Sciences and Technology, National University of Tainan, Tainan-Taiwan.
Pragmatisme merupakan salah satu istilah yang mungkin asing bagi masyarakat namun realitanya sangat mendominasi kehidupan masyarakat Aceh dewasa ini. Seringkali kita dengar ungkapan ”kita mesti realistis!” Bahkan lebih parah lagi diantara mahasiswa aktivis pergerakan mulai lancar melafalkan ”idealisme telah mati, pragmatisme adalah kebutuhan zaman.” Sepintas kalimat tersebut terasa ringan diucapkan, namun memiliki pengaruh yang sangat mendasar.

Pragmatisme berasal dari bahasa yunani "pragma" yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practise). Isme berarti ajaran, aliran, paham. Dengan demikian, pragmatisme berarti ajaran/aliran/paham yang menekankan bahwa pemikiran itu mengikuti tindakan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pragmatisme berarti kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham/doktrin/gagasan/ pernyataan/dsb) bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia. Sedangkan pragmatis berarti bersifat praktis dan berguna bagi umum, bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan), mengenai atau berkenaan dengan nilai-nilai praktis. Karena itu, pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah faedah atau manfaat. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme "benar" jika membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar jika berfungsi atau berorientasi pada kemanfaatan.

Ide tersebut merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad 20.Pragmatisme dirintis di Amerika Serikat oleh Charles S. Pierce (1839-1942) yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952). Munculnya paham ini tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ajaran/paham lainnya pada abad Pertengahan (renaissance), yaitu ketika terjadi pertentangan yang tajam antara gereja dan kaum intelektual. Pertentangan itu menghasilkan kompromi: pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), sebagai asas yang menjadi pondasi Kapitalisme.

Pragmattisme merupakan pemikiran cabang kapitalisme. Hal ini tampak dari perkembangan sejarah kemunculan pragmatisme yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari empirisme. Empirisme adalah paham yang memandang bahwa sumber pengetahuan adalah empiri atau pengalaman manusia dengan menggunakan panca inderanya. Dalam konteks ideologis, pragmatisme berarti menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan. Kekeliruan ide ini dapat ditinjau dari tiga sisi. Pertama, pragmatisme mencampuradukkan kriteria kebenaran ide dan kegunaan praktisnya. Padahal kebenaran ide adalah suatu hal , sedangkan kegunaan praktis ide itu adalah hal lain. Kebenaran suatu ide diukur dari kesesuaian ide itu dengan realita. Sedangkan kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide itu sendiri. Jadi, kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia.

Kedua, pragmatisme menafikan peran akal manusia, menetapkan kebenaran sebuah ide adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedangkan penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah identifikasi naluriah. Memang, identifikasi naluriah dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam memuaskan hajatnya, tetapi tidak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Artinya, pragmatisme telah menafikan aktifitas intelektual dan menggantinya dengan identifikasi naluriah. Dengan kata lain, pragmatisme telah menundukkan keputusan akal pada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi naluriah.
Ketiga, pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subjek penilai ide-baik individu, kelompok, maupun masyarakat- serta perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki pragmatisme baru dapat dibuktikan menurut pragmatisme itu sendiri setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Ini jelas mustahil dan tidak akan pernah terjadi. Oleh karena itu, pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri.

Bahaya pragmatisme
Pragmatisme pada akhirnya bersifat destruktif dan menyebabkan inkonsistensi pada pelaku/penganutnya. Sikap pragmatis cenderung menempuh segala cara untuk mencapai kepentingannya dengan mengabaikan prinsip-prinsip kebenaran. Secara otomatis, sikap pragmatis ini tidak akan memberikan kontribusi apapun dalam menyelesaikan problematika kehidupan, justru sebaliknya akan mendatangkan bahaya secara permanen yang mampu merusak nilai-nilai kebenaran secara sistematis.

Dalam ranah kehidupan publik yang terjadi dewasa ini di tempat kita khususnya di Aceh, pelaku pragmatisme politik berarti mereka hanya melihat kepentingan jangka pendek yang menguntungkan diri dan kelompoknya tanpa memperdulikan nasib Aceh secara jangka panjang dan berkelanjutan. Bermanfaat atau menguntungkan sesaat bukan berarti benar, tetapi hanya sekedar memuaskan hawa nafsu. Di sinilah sikap plin-plan dan tidak punya pendirian sangat kentara terlihat. Begitu kemanfaatan jangka pendek hilang, mereka akan mencari kemanfaatan lain. Akibatnya, persoalan utama yang dihadapi masyarakat tidak akan pernah terselesaikan. Lagi-lagi, rakyat jelatalah yang menjadi korban. Pendekatan Politik hanya sebagai alat untuk melestarikan kepentingan elit-ellitnya saja dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Fenomena itu di Aceh berlangsung sangat lama dan sistematis.

Ditandatanganinya nota kesepahaman (MoU) antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia pada tahun 2005 menjadi babak baru untuk menghentikan peperangan, dengan demikian Acehpun mendapatkan berbagai ruang untuk menentukan perbaikan nasib yang lebih baik, misal Aceh berhak mendirikan partai lokal. Kehadiran partai lokal misal salah satunya Partai Aceh yang merupakan bentukan pejuang-pejuang Aceh mendapatkan sambutan hangat dari publik, sambutan ini begitu fenomenal. Pada saat yang sama kita melihat dengan jelas banyak pihak merapat dengannya, kalaulah mereka semua memikirkan untuk perbaikan nasib Aceh alhamdulillah, tetapi bila semua itu hanya sebatas politik keuntungan politik, maka lagi-lagi rakyat yang menjadi korban dengan sikap pragmatisme ini.

Dalam konteks yang lebih luas ada partai-partai Islam yang rela mengorbankan idealisme Islam demi kepentingan kekuasaan. Suara Islam yang sebelumnya digemakan dalam kampanye lenyap begitu saja saat virus pragmatisme menjangkiti partai-partai tersebut. Deal-deal yang muncul hanyalah siapa memperoleh apa. Perbedaan ideologi, paham, platform, visi, dan misi tidak lagi diperhatikan. Partai Islam bisa bergabung dengan partai-partai yang telah terbukti berkhianat sekalipun tanpa rasa berdosa dengan dalih sama-sama memperjuangkan perbaikan. Oleh karena itu, sikap pragmatisme politik bisa mencederai agama yang menjadi dasar eksistensi partai-partai Islam. Sebagai contoh sikap partai Islam yang tengah ’kerasukan’ virus ini adalah saat berbicara tentang wanita menjadi presiden. Haramnya wanita menjadi presiden/gubernur/walikota/bupati dipropagandakan untuk mencegah naiknya calon dari lawan politiknya. Namun, saat situasi politik berubah dan tidak ada pilihan lain kecuali wanita, dibuatlah pembenaran-pembenaran untuk menerima wanita sebagai pemimpin. Alasannya sama, yakni kemaslahatan ummat. 

Iklim tersebut juga kerap terjadi di Aceh bahkan tidak sedikit generasi-generasi Aceh yang punya prinsip demikian. Tidak sedikit generasi sekarang yang dulunya aktivis mahasiswa berpendapat kalau prinsip seperti waktu mahasiswa maka tidak bisa berbuat apa-apa untuk kemajuan dan kebenaran. Hasilnya nyaris tidak terlihat lagi mereka yang terlibat didalam sistem kekuasaan "mau menyuarakan bagaimana seharusnya yang pantas demi kebenaran". 

Hemat saya, bagaimanapun kondisi Aceh kekinian banyak mengalami perubahan-perubahan yang mendasar walaupun masih terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam hal membangun perubahan memang tidak mudah, tidak sedikit personal atau pihak yang menentang, mempropaganda, dan berusaha menciptakan iklim instabilitas, kondisi demikian seyogianya mampu menyadarkan rakyat dan pemimpinnya untuk bertindak dan berusaha memperbaikinya bersama generasi- generasi Aceh yang masih punya komitmen, ikhlas dan tidak pragmatis. Mudah mudahan kita semua akan menuju kepada hal yang lebih baik dan dilindungi oleh Nya

0 comments:

Post a Comment